Episode Tiga Belas

225 3 0
                                    

"Sahar, kapan kau akan mengatakan tentang perjodohan itu pada si Zal?"

Pak Jufri bertanya pada Apak yang sedang menikmati kopi di sudut jalan kota Mina. Saat itu sore hari, mereka baru saja selesai melempar jumrah wustha' di hari kedua.

"Nantilah, kalau ada waktu yang pas akan kukatakan. Tapi kau jangan berharap akan mendapat jawabannya langsung. Biarkanlah ia memikirkannya dulu. Nanti pelan-pelan aku akan mempengaruhinya."

Pak Jufri mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum senang. Ia kemudian menyeruput kopinya dengan nikmat.

"Sampai sekarang, aku dan si Zal seperti memiliki jarak, Jufri." Apak memulai curhatannya.

"Maksudnya?"

"Iya, meskipun hubungan kami baik, sikap si Zal juga baik, tapi aku merasa ada sesuatu yang ia simpan ketika berkomunikasi denganku. Seperti tidak plong."

"Apa karena kejadian sepuluh tahun lalu? Ketika kau memutuskan untuk menikahi si Nur?"

Apak menghela nafas panjang. Tangannya memainkan gelas plastik kosong bekas kopi. Matanya memandangi tanah di bawahnya dengan tatapan kosong.

"Bukan hanya karena aku menikah lagi, tapi sepertinya karena tamparan itu juga. Si Zal seperti menyimpan dendam itu sampai sekarang."

"Dendam? Tak mungkinlah! Anak itu kan belajar agama. Dia pasti tau bagaimana harus bersikap pada bapaknya."

"Mungkin bukan dendam, tapi apa ya namanya ... Sikapnya padaku sopan, berusaha tidak membuatku marah. Penurut. Tapi aku tetap merasa kalau ia melakukannya dengan kaku seperti formalitas saja. Bukan seperti seorang anak kepada bapaknya." Apak meremas gelas kosongnya. "Ah, entahlah. Mungkin ini hanya perasaanku saja!"

"Mudah-mudahan itu hanya pikiranmu saja karena kalian kan cukup lama tidak bertemu. Tiga tahun! Jadi mungkin sikapnya kaku seperti itu." Pak Jufri memegang bahu Apak. "Doakan saja yang terbaik buat anakmu, Sahar. Doa orang tua pada anaknya sangat mustajab. Apalagi di tanah haram ini. Tempat dimana doa-doa kita akan diijabah."

"Iya. Pastinya semua anak-anakku selalu kudoakan untuk kebaikan mereka. Terutama si Zal yang kuharapkan dapat menjadi orang yang faqih dalam ilmu-ilmu agama."

Nasehat dari pak Jufri cukup menghibur Apak, meski perasaan resah itu masih tersisa di hatinya. Biar bagaimanapun, ia merasa telah melukai hati anak-anaknya tentang pernikahan itu. Terutama Rizal sebagai anak pertama yang sudah beranjak remaja. Pastinya ia memiliki penilaian tersendiri melihat situasi saat itu, meskipun adik-adiknya cenderung tidak mempermasalahkan hal tersebut.

"Sahar, besok hari terakhir kita melempar jumrah kan? Bagaimana sesudah itu, sebelum kembali ke penginapan di Mekkah, kita ke Jabal Rahman? Kalau yang lain tak mau, kita saja berdua. Minta temani Si Zal kalau kebetulan dia tidak lagi bertugas." Ucapan Pak Jufri mengagetkan lamunan Apak.

"Iya. Boleh. Kau atur sajalah besok!"

"Kata orang, Jabal Rahmah salah satu tempat mustajab untuk mereka yang ingin mencari jodoh. Nanti saya berdoa khusus untuk si Rahma supaya mendapat jodoh seperti Si Zal, hehe ...." Pak Jufri terkekeh senang. Apak hanya tersenyum melihat kebahagiaan yang terpancar dari senyum sahabatnya.

Semua orang tua pastinya akan selalu berharap yang terbaik untuk anak-anaknya. Meski kadang orang tua tak pandai bersikap baik, namun di setiap rintihan doanya selalu terselip doa-doa kebaikan untuk mereka. Tak ada pamrih yang diharap. Hanya pengharapan agar kehidupan anak-anaknya diberikan keberkahan, kebaikan, dan kemuliaan di dunia dan akhirat.

Sayang, terkadang tak semua hal ini dapat dipahami oleh para anak. Yang mereka lihat hanyalah bentuk kemarahan dan keegoisan orang tua saja. Apa mungkin ini semua hanya bentuk gap komunikasi yang kerap terjadi antara generasi muda dan generasi tua?

ADA CINTA DI HAJAR ASWADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang