Episode Sebelas

211 5 0
                                    

Sudah hampir dua minggu Aini berada di Mekkah. Dan selama itu juga ia melaksanakan rutinitas shalat berjamaah ke Masjidil Haram. Dari keenam teman sekamarnya—termasuk Dewi—hanya Bu Jum yang selalu setia mengikutinya ke Masjid. Aini bahkan lebih sering bersama Bu Jum ketimbang kakak perempuannya yang lebih memilih pergi beramai-ramai dengan para ibu teman sekamar mereka.

Diantara ketujuh anggota kamar, Aini dan Bu Jum memiliki kesamaan dalam hal disiplin waktu, kecekatan, kelincahan, dan komitmen yang tinggi pada ibadah. Sejak di Madinah, kesamaan sifat itu mulai terlihat. Dibanding lainnya, mereka berdualah yang paling awal siap menuju masjid. Ketika kelima temannya masih sibuk berdandan dan mematut diri di cermin, Aini dan Bu Jum sudah rapi dengan mukena mereka tanpa riasan wajah sedikit pun. Simpel dan praktis. Tak jarang mereka berdua lebih cepat menuju masjid meninggalkan teman sekamar lainnya.

Kini, dengan kondisi pemondokan yang berjarak lima kilometer ke Masjidil Haram—tak seperti di Madinah yang jaraknya hanya selemparan batu dengan Masjid Nabawi—ditambah cuaca yang sangat panas, kesamaan itu membuat mereka semakin dekat. Ketika kebanyakan rombongan Ar-Rahman lainnya memilih pergi ke masjid setelah waktu Ashar dan lebih suka beristirahat di kamar yang berpendingin udara sepanjang siang, Aini dan Bu Jum tetap semangat melaksanakan shalat wajib dan sunnah di Masjidil Haram.

Setiap pukul 3.00 dini hari, Aini dan Bu Jum sudah bangun dan bersiap-siap untuk pergi ke Masjidil Haram. Dengan segelintir jamaah haji yang juga menempati Hotel Shofa, mereka berangkat menggunakan tramco dengan membayar dua riyal. Sesampainya disana, mereka langsung shalat tahiyyatul masjid yang dilanjutkan dengan shalat tahajjud. Selesai shalat, mereka membaca al-Qur'an hingga waktu Shubuh tiba. Mereka kemudian akan pulang ke pemondokan setelah shalat Dhuha.

Sesampai di pemondokan, Aini dan Bu Jum biasanya mencuci bersama para ibu yang lain. Mereka akan kembali ke Masjidil Haram pukul 11.00 untuk shalat Dzuhur dan kembali ke pemondokan setelahnya. Mereka akan kembali lagi ke masjid pada pukul 3.00 sore, sebelum shalat Ashar, sampai selesainya shalat Isya. Begitu setiap harinya, dan mereka amat menikmati aktifitas itu.

Udara panas Mekkah yang amat sangat terik di siang hari tidak menjadi halangan Aini. Ia memang sudah meniatkan untuk beribadah secara maksimal selama di tanah suci. Apalagi ketika tahu dirinya akan berangkat haji tahun ini, Aini sudah mempersiapkan kesehatan dirinya secara maksimal di rumah dengan memperbanyak asupan buah, sayur, dan protein serta meminimalkan karbohidrat. Beruntung, ia mendapat teman satu rombongan yang juga memiliki niat yang sama, Bu Jum.

"Shalat di masjidku (Masjid Nabawi) lebih utama daripada 1000 shalat di masjid lainnya selain Masjidil Haram. Shalat di Masjidil Haram lebih utama daripada 100.000 shalat di masjid lainnya."

Kata-kata Rasulullah itu menjadi pijakan Aini. Namun beberapa jamaah mengatakan pada Aini dan Bu Jum, bahwa apa yang dilakukan mereka terlalu berlebihan mengingat cuaca panas yang bisa mengganggu kesehatan. Mereka beranggapan kalau shalat di pemondokan pun tetap mendapat pahala yang sama karena masih berada di tanah haram yang suci. Menurut mereka, shalat di pemondokan atau pun di masjid sama-sama memiliki keutamaan.

Tapi bagi Aini dan Bu Jum, mereka melaksanakan ibadah semaksimal yang mereka bisa lakukan. Dan sampai hari ini mereka bisa kuat melangkah di bawah terik matahari itu. Apalagi keberadaan mereka di Mekkah tidaklah lama. Mereka ingin selalu melihat Ka'bah dan berdekatan dengannya.

Dewi tidak sanggup mengikuti apa yang dilakukan Aini. Sedangkan Doni dan Arfan lebih memilih untuk ikut mengikuti jadwal rombongan jamaah laki-laki yang selalu berubah-ubah.

***

"Dip, dip ... dip, dip ... dip, dip ..."

Aini terbangun dan mematikan alarm yang berbunyi dari jam tangannya. Jam 3.00 waktu dini hari. Perlahan ia membangunkan Ibu Jum yang tidur di sebelah kanannya. Dalam hitungan detik, Ibu Jum membuka mata dan keduanya menelinap keluar kamar menuju ke kamar mandi untuk bersiap-siap. Sementara kelima anggota kamar lainnya masih terlelap dengan nyenyaknya.

Udara dini hari di Aziziah terasa dingin. Aini merapatkan jaket yang menutupi mukenanya. Dengan bergegas Aini dan Bu Jum melangkah ke tempat parkiran tramco. Suasana terasa sunyi. Hanya ada lima jamaah bapak-bapak dan satu ibu yang berada di dalam mobil. Tampak juga dua petugas haji yang masih muda mengawasi keadaan di sekelilingnya. Sementara supir tramco terus berteriak memanggil penumpangnya dengan bahasa Indonesianya yang pas-pasan.

"Haroom. Haroom ... dua riyal, dua riyal!!"

Beberapa saat kemudian mobil berjalan maju. Aini yang duduk di pojok kiri barisan kedua mengamati pemandangan yang mulai bergerak dari balik kaca mobil, melewati jejeran bangunan besar dengan lampu yang terang benderang. Kebanyakan dari bangunan itu adalah toko dan supermarket. Beberapa dari mereka terlihat buka dengan beberapa pengunjung yang duduk-duduk sambil menyeruput gelas di hadapannya.

Mekkah masa kini adalah sebuah kota modern. Kota dengan gedung-gedung bertingkat layaknya kota metropolitan. Banyaknya umat muslim yang terus berdatangan sepanjang tahun membuat pemerintahan Arab Saudi terus membangun dan memfasilitasi para pelancong religius ini dengan hotel dan penginapan yang sesuai standar internasional. Mekkah menjelma menjadi kota yang megah dan mewah.

Aini ingat kisah yang dibacanya di buku Sejarah Mekkah. Dahulu, Mekkah adalah sebuah daerah gurun yang kering dan tandus. Sebelum dibangun oleh Nabi Ibrahim dan Ismail, daerah itu sudah duluan didatangi oleh malikat Jibril dan Nabi Adam—utamanya tempat berdirinya Ka'bah. Ketika dibangun Ka'bah sebagai tempat peribadatan, daerah itu kemudian menjadi subur, makmur, maju dan berkembang. Persis seperti harapan Nabi Ibrahim ketika meninggalkan Siti Hajar dan Nabi Ismail disana. Kini, hampir tak terlihat lagi peninggalan-peninggalan bangunan Mekkah tempo dulu.

"Mba Aini, kita sudah sampai," suara Bu Jum yang duduk di sebelahnya membuyarkan lamunan Aini. Aini menengok ke arah Bu Jum, tersenyum, dan menyerahkan uang dua riyal dari kantung jaketnya pada Bu Jum. Dengan perlahan mereka keluar dari tramco dan mengikuti langkah orang-orang yang menuju ke dalam masjid, diiringi lantunan ayat al-Qur'an yang terdengar dari setiap sudut masjid dan sekitarnya.

Alin dan Bu Jum memasuki pelataran masjid yang penuh dengan tiang-tiang besar dan lantai marmer yang mewah. Dini hari itu Masjidil Haram terlihat penuh dan ramai. Mendekati waktu wukuf, Masjidil Haram dipenuhi oleh manusia dari berbagai penjuru dunia. Mereka menunggu waktu puncak ibadah haji itu dengan menghabiskan malam-malamnya di Masjidil Haram.

Seperti halnya Masjid Nabawi, Masjidil Haram pun terkenal dengan pintu-pintunya yang banyak dan kadang membingungkan para jamaah haji, khususnya dari Indonesia. Kesamaan bentuk dan interior pintu sering membuat para jamaah Indonesia tersesat. Sebenarnya masing-masing dari pintu memiliki nama. Aini mengingat beberapa seperti Bâb Shafa, Ali, Al-Fath, Marwah, Umrah, dan Abu Bakar Shidiq. Meskipun penamaan pintu ini ditujukan agar mudah dihapal para jamaah, tapi dalam kenyataannya para jamaah haji Indonesia lebih menyukai menghapal bentuk bangunannya, bukan namanya.

Ada banyak pintu di Masjidil Haram, tapi hanya ada empat pintu utamanya; Bâb King Fahad, King Abdul Aziz, Shafa Marwah, dan King Abdullah. Untuk Aini, ia biasa masuk lewat pintu Shafa Marwah karena sejalur dengan arah naik turun kendaraan yang ditumpanginya dari dan menuju Aziziah.

***

"Mba Aini, mau thawaf gak?"

Aini dan Bu Jum sedang di lantai dua masjid tempat melaksanakan Sa'i, berdiri memandangi lautan manusia yang berputar mengelilingi Ka'bah. Mereka baru saja selesai shalat Dhuha.

Aini dulu sempat bertanya-tanya mengapa Ka'bah harus diputari melawan arah jarum jam seperti itu. Dan ia menemukan jawaban yang cukup ilmiah dan masuk akal ketika browsing di internet. Bahwa setiap kehidupan di dunia ini selalu berputar melawan arah jarum jam untuk menjaga keseimbangannya. Dimulai dari perputaran bumi mengelilingi matahari, planet yang masing-masing berputar pada porosnya, peredaran darah yang bekerja siang dan malam, hingga pergerakan electon yang mengelilingi nucleus sebagai pusat atom secara terus menerus. Semua berputar melawan arah jarum jam untuk menjaga kestabilannya.

"Kayaknya rame banget ya, Bu. Gak seperti kalau kita thawaf di sore hari." Aini memandang ke depan dengan mengernyitkan kening.

"Iya, kalau abis Ashar kan masih panas. Jadi gak terlalu berdesak-desakan. Kalau pagi adem begini, ramenya minta ampun!" Bu Jum tertawa kecil.

"Nanti sore aja thawaf-nya, Bu. Setelah shalat Ashar. Seperti biasa."

"Oke deeeh!"

Bu Jum tersenyum dan menggelayut ke lengan Aini, seperti seorang ibu dan anak. Mereka kemudian melangkah menuju eskalator untuk pergi ke parkiran bus menuju pemondokan.

ADA CINTA DI HAJAR ASWADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang