Latte 12

136 21 10
                                    

Kelabu menggantung diatas sana. Tanah basah nan lengket menghampar seluas mata memandang. Hembusan angin begitu dingin hingga serasa menusuk kulit. Hujan sudah reda, namun seperti belum tertumpah semua, kelabu begitu menakutkan di atas sana.

Helaan nafas Tasya masih dapat terdengar ditengah hiruk pikuk suara curug. Tasya melanfkahkan kakinya kedalam air berniat membersihkan kakinya dari tanah basah yang menodai betisnya.

Mungkin karena banyak melamun, Tasya menginjak batu berlumut hingga ia terpeleset. Tasya kaget, berusaha menstabilkan keseimbangan tubuhnya agar tidak terjerembab ke dalam air. Namun beruntung ada seseorang yang menarik hoodie-nya sehingga Tasya sedikit terbantu dan tidak jadi jatauh ke dalam air. Lehernya sedikit tercekik karena si penolong menariknyaa ke belakang. Dengan wajah cemberut, Tasya menoleh kebelakang.

"Ehh kalo nolong kira-kira dong, makasih udah nolong gue. Tapi maaf bantuan lo bisa bunuh gue kalo gini caranya" Alwin langsung melepaskan pegangannya di hoodie Tasya dan memasukkan tangannya ke saku hoodie yang ia pakai.

"Trus gue harus gimana? Harus dramatis kaya di sinetron? Trus kita tatap tatapan lama akhirnya jatuh cinta? Gitu?"

"Ihh nggak gitu juga" Tasya duduk di batu besar, diikuti Alwin.

"Lo lagi patah hati ya? Suram amat mukanya" Alwin tersenyum sinis

"Sotau lu"

"Kalo mau cerita, cerita aja. Gue udah biasa ko dengerin curhatan orang. Tapi kalo lo nangis, jangan nyender di bahu gue, ntar ingusnya nempel. Ihhh jijik"

"Yaah padahal gue udah niat nangis nangis di bahu sandarable lo trus buang ingus disitu" tasya pura-pura memasang mimik wajah kecewa

"Yaudah mau cerita gak?" Tawar Alwin lagi

Tasya merasakan handphonenya bergetar. Lalu ia mengecek siapa yang menelponnya, setelah tau bahwa Firman yang menelponnya, handphonenya dimasukkan kembali kedalam tas kecil yang ia bawa

"Firman pacar kamu? Ko nama kontaaknya pake Pak, udah om om?" Alwin tergelak sendiri.

"Dia itu guru disekolah gue"

"Serius guru? Trus kenapa jam segini nelpon, dia suka sama lo ya?"

"Mana gue tau" Tasya mengedikkan bahu tak acuh
Alwin tidak menanggapi Tasya lagi. Ia lebih memilih memperhatikan crew yang sedang mengatur peralatan mereka untuk photoshot kali ini, sedangkan Tasya memperhatikan riak air yang mengalir dengan tenangnya. Kadang Tasya iri, kenapa air bisa setenang dan sesabar itu.
Tak lama kemudian, Alwin dan Tasya dipanggil Dewa. Mereka langsung bersiap untuk memulai photoshot nya.

*****

"Assalamu'alaikum"

"Wa'alaikumussalam, eh Firman mari masuk" Rima membuka pintu. setelah memastikan firman duduk, Rima pamit kebelakang sebentar untuk mengambilkan minuman. sambil menunggu Rima kembali, Firman mencoba menelpon Tasya. Sudah panggilan ke tiga, namun Tasya tak kunjung menjawab panggilannya.

Firman menghembuskan nafasnya kasar 'apa kamu seterganggu itu sama saya?'

Rima muncul dari dapur membawa nampan berisi dua cangkir teh hangat. Rima meletakkan teh itu di meja lalu iapun ikut duduk dikursi dan memulai pembicaraan.

"Ada apa nak Firman? Tumben main kesini kan Tasya nya juga belum pulang"

"Gak ada apa-apa ko tante, tadi kebetulan saya lewat sekitar sini, yaudah saya mampir aja dulu"

"Oh iya, nak Firman maaf ya, tante gak bisa paksain Tasya buat..." Rima menggantung kalimatnya sambil melirik Firman ragu. Rima yakin, Firman pasti tau apa yang Rima maksud meskipun ia tidak menuntaskan kalimatnya.

Firman tersenyum maklum "iya, gapapa ko tante, saya ngerti. Saya yakin Lambat laun Tasya juga akan menyadari kehadiran saya". Firman tampak berpikir sejenak "oh iya tante, apakah Tasya masih berpacaran sama Sam?"

Rima tampak terkejut. Seketika sorot matanya berubh sendu "tante bingung bagaimana caranya ngomong sama Tasya. Setau tante, Tasya belum putus dari Sam. Tapi kemarin sore ada kiriman paket untuk Tasya. Emang ada apa Firman nanya gini?"

"Hehe gapapa ko tante, pengen tau aja. emm Isinya apa tante? Siapa yang ngirim?"

"Isinya... Isinya undangan pernikahan Sam sama..." Rima mengetuk-ngetuk nampan tandaa ia sedang berfikir "aduh tante lupa siapa namanya. Dan disana juga tidak tercantum siapa pengirimnya"

"Kira-kira Tasya udah tau belum ya tan?"

Rima menggeleng sebagai jawaban bahwa ia tidak tau "Tante minta tolong ya Firman, apapun yang terjadi gaboleh ninggalin Tasya sendiri. Tante khawatir sama dia. Dia itu kelihatannya aja tegar, kuat tapi hatinya lembut banget. Dia rapuh"

"Iya tante. Insyaallah saya akan selalu ada buat Tasya. Walaupun Tasya bukan jodoh saya nantinya, saya akan nganggap Tasya sebagai adik kedua saya. Karena saya sayang Tasya, bukan terobsesi untuk memiliki dia"

"Makasih ya nak Firman, tante percaya sama kamu"

Rima tersenyum, sesak di dadanya sedikit berkurang, karena ada seseorang yang siap menemani putrinya dalam keadaan apapun. Rima sungguh kecewa pada takdir, bagaimana bisa ia begitu tega menggariskan kisah pilu yang bertubi-tubi kepada Tasya.

Rima hanya bisa berdoa supaya Tasya menjadi pribadi lebih kuat, lebih tangguh. Dan ia akan mendapat pendamping yang terbaik. Tidak ada lagi seseorang yang berperan seperti Dana Wardhana di kehidupannya kelak.

*****

"Kamu ngapain ngajak Tasya ketemuan?" Annya berseru marah ketika melihat Sam

"Kan kamu yang bilang aku harus jelasin semuanya" Sam memijit pangkal hidungnya. Ia sudah bosan berdrama seperti ini. Ia ingin mengakhiri semuanya.

"Gaperlu. Semuanya udah jelas. Aku udah kirim undangan pernikahan kita ke rumahnya!!!"  Annya duduk di meja kerja Sam

"Gila kamu ya!!! Jangan samakan Tasya sama Dewa. Dewa mungkin saja bisa langsung ngerti, bisa langsung nerima kenyataan ini. Tapi Tasya terlalu berharga untuk kamu perlakukan seenaknya begini!!!" Bentak Sam

"Kamu mulai berani bentak aku, cuma gara-gara bocah ingusan itu? Oh god yang benar saja" Annya tersenyum meremehkan

"Perlakuan aku ke kamu tergantung bagaimana perlakuan kamu sama Tasya. Kalau kamu berani mengganggunya, kamu akan tau apa yang bisa aku lakukan sama kamu. Selama ini aku sudah begitu sabar ngadepin kamu. Jangan salahkan aku, jika suatu hari nanti kesabaran aku udah habis sama kamu" Sam menatap Annya dengan tatapan mengintimidasinya

"Oke, aku sih gak masalah. Kalo kamu macam-macam sama aku, aku tinggal ngadu ke mama, lalu boooom perusahaan kamu bangkrut seketika. Jadi, kamu jangan temui dia. Batalkan janji ketemuan yan udah kalian rencanakan" Annya tersenyum seperti mereka sedang membicarakan hal tak penting. rahang Sam mengeras, kepalan tangannya begitu kuat hingga buku jarinya memutih. Sam takbisa berbuat apa-apa lagi. Jika sudah begini, ia terpaksa harus menuruti apapun keinginan Annya. Karena ini juga merupakan kesalahannya. Dulu.

"Sekarang, Waktunya aku periksa kandungan. Kamu harus nganter aku. Gaada penolakan. Gaada wajah cemberut kaya gini" Annya meraih wajah Sam dan menarik bibirnya membuat lengkung senyuman.

Dengan terpaksa, Sam pun mengantar Annya ke dokter kandungan.





🥀

Voment nya ya nak😊
Peluk gereleng dari Mama🤗

MatchalatteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang