Latte 18

137 16 3
                                    

Hari abu-abu. Tak ada setitik pun warna biru dilangit. awan hitam menghampar sepanjang mata memandang. Pelajaran pertama hari ini sebenarnya bukan jadwal Firman, namun karena pak Hartono tidak hadir, Firman dengan sukarela menggantikan pak Hartono untuk mengajar di kelas Tasya. Hal itu sukses membuat mood Tasya semakin menurun. Seakan semesta beserta isinya berkonspirasi memperkeruh suasana hati Tasya.

"Layu amat lo" tegur Asri

"Hmm"

"Kenapa sih?"

"Sam nikah hari ini"

"Lah ngapain difikirin? Dia udah bukan siapa-siapa lo juga"
Asri sangat benci topik ini. Yang ditinggal nikah Tasya, tapi Asri yang gerah tiap denger nama Sam. Rasanya ingin ketemu trus mutilasi cincang cincang si Sam depan Tasya. Asri tau, selebar apapun senyum Tasya selalu ada kilat kesedihan di matanya.

"Nggak difikirin, cuma kefikiran aja" Tasya bangkit dari duduknya, melangkah keluar kelas diikuti Asri.

Asri mengikuti Tasya tanpa banyak bertanya. Sebenarnya bukan hanya tentang Sam yang menghuni alam fikiran Tasya, tapi tentang perceraian kedua orangtuanya juga. Meskipun Tasya yang terang-terangan menyuruh Rima bercerai, namun tak dapat dipungkiri bahwa ia juga terluka. Keluarga idaman yang selama ini ia harapkan tak akan pernah terwujud. Keluarganya sudah tak utuh lagi. Ia lebih memilih orang lain daripada keluarganya.

Etah mana yang lebih menyakitkan dari bait kisah hidupnya ini. Apakah ketika orangtuanya bercerai atau karena Dana lebih memilih Sarah? Rasanya semuanya menyakitkan. Tak benar-benar ada kebahagiaan dalam garis hidup Tasya.
Langkah Tasya berhenti di ujung koridor buntu. Haaaaah ia menghela nafas, ia tidak sadar bahwa ia telah berjalan cukup jauh. Kepalanya mendongak, menatap ruang antara langit dan bumi yang mulai dihiasi rintik.

Bel tanda waktu istirahat berakhir telah berbunyi. Bukannya bergegas menuju kelas, Tasya malah duduk di kursi yang dekat dari tempatnya berdiri.

"Laah ko malah duduk?" Tanya Asri

"Laah lu ngapain disini?" Tasya masih tetap mengunci pandangannya pada rintik hujan yang tengah menghujamkan diri ke bumi.

"Ngikutin lo lah, gimana sih" Asri duduk disamping Tasya. Diperhatikannya wajah Tasya dari samping. "Kalo ada masalah, bilang aja sama gue. Gue siap dengerin apapun itu. Gue gak yakin sih bisa ngasih solusi untuk setiap masalah lo, tapi gue yakin beban di hati lo sedikit berkurang"

Tasya sangat bersyukur punya sahabat seperti Asri. Walaupun sedikit segrek, tapi Asri juga bisa menjadi motivator dadakan bagi Tasya. Tapi Tasya rasa, masalah orangtuanya ini ia belum bisa menceritakannya pada Asri.

"Gak ada apa-apa ko, gue lagi gaak mood ngapa-ngapain aja. ke kelas sono lu, mau ngikut bolos bareng gue?"

"Males ah bosen liat sibotak, materinya juga pasti masih yang kemarin. Udah satu semester belum kelar juga bahas materi itu"

"Emang gak ada materi lain kali"

"Yaah masa satu semester materinya itu itu aja. Penjelasannya juga malah bikin ngantuk"

"Yang bagian bikin ngantuknya sih bener banget"

"Ehhh gue baru pertama kali ke bangunan ini. Ko sepi?"

"Sama, gue juga. Bangunan ini kana udah gak dipake, dulu ada siswi yang bunuh diri katanya." Sebenarnya Tasya hanya bercanda, namun Asri sangat mudah diboho sehingga ia percaya-percaya saja.

"Ihhh jangan disini deh mabalnya, takut gue. Merinding tuh liat" Asri memperlihatkan bulu tangannya yang berdiri. Awalnya Tasya enggan berpindah dari tempat itu, namun karena jengah akan rengekan Asri, Tasya pun menyetujui untuk berpindah tempat ke perpustakaan.

MatchalatteDonde viven las historias. Descúbrelo ahora