PART 2

57.6K 1.4K 43
                                    

Mencoret-coret buku sketsa, aku berharap membawa alat lukisku. Bukan hanya buku sketsa sialan yang tak juga bisa meredam rasa frustasi berkepanjangan ini.

Hampir 48 jam semenjak itu, David menghilang bak tenggelam dalam samudra. Cari mati namanya jika aku menanyakannya pada Jacob. Lelaki itu mulai mempertanyakan sikapku yang semakin "dingin" katanya. Lalu aku harus bagaimana? Aku belum bisa berkonsentrasi pada hal lain, sebelum aku bertemu David dan membicarakan banyak hal padanya. Seperti, apa maksudnya melakukan hal semacam itu padaku, lalu meninggalkanku begitu saja. Tanpa kata, tanpa penjelasan, tanpa permintaan maaf. Oke, yang terakhir kurasa tidak perlu.

Seseorang mengetuk pintu kamar, membuatku menoleh dan mendapati kepala Jocob telah tersembul dari balik pintu.

"Hei," sapanya seraya membuka pintu lebih lebar dan melangkah masuk.

"Hei," menutup buku sketsa, aku tak mau siapapun melihat gambar David yang hampir sempurna. Jangan salahkanku, tanganku bergerak begitu saja untuk melukiskan wajah yang terus menghantuiku itu.

"Aku ingin mengajak...,"

"Sepertinya hari ini aku ingin istirahat," potongku cepat. Aku berdiri dan melangkah ke hadapan Jacob yang irisnya menggelap. "Dua hari berkeliling kurasa tenagaku terkuras habis." Lanjutku mencoba meyakinkan. Dua hari yang yang melelahkan fisik dan mental, sungguh.

Jacob tersenyum. Senyuman yang tak sampai ke matanya, lalu dia berbalik dan berdiri di hadapan pintu geser yang terbuat dari kaca. Yang menghantarkan langsung pemandangan pantai indah dari luar sana, ke kamarku.

"Aku tau kau tak pernah mencintaiku," gumamnya. Aku langsung melangkah kesisinya dan memotong apapun yang hendak keluar dari mulutnya.

"Oh, please, kita sudah membahas semua ini, Jacob. Aku menyukaimu, aku senang bersamamu, dan aku akan berusaha."

Jacob berbalik menghadapku. Dia kembali tersenyum, yang entah bagaimana senyumannya terasa menyakitkan jantungku. Mengangkat tangan, dia membelai wajahku dengan lembut. "Kau tau aku tak pernah memaksamu walau memilikimu adalah impianku. Jika dalam proses "mencoba" mencintaiku membuatmu tertekan, kau bisa pergi. Kebahagiaanmu adalah prioritasku, Rose."

Mataku memanas demi mendengar nada tulus yang terasa pahit itu. Apa yang aku lakukan? Meninggalkan dan menyakiti lelaki sebaik ini? Dengan apa Tuhan akan menghukumku nanti?

Mengerjap, aku memutuskan kontak mata dari pandangan menyedihkan milik Jacob. "Aku.... Aku...." Aku harus bicara apa? Aku bahakan tak tau apa yang aku inginkan. Tidak, aku tau! Aku menginginkan paman dari lelaki baik yang dengan sangat tulus mencintaiku. Apa yang aku lakukan? Bukankah itu akan berkali-kali lebih menyakitkan Jacob? Lagi pula.... tak jelas bagaimana perasaan David padaku. Sejauh ini, dia hanya menunjukan ketertarikan fisik.

"Jake...." aku menatapnya dengan pandangan memohon. Memohon untuk menghentikan semua obrolan ini. Aku sungguh tak tau harus bersikap bagaimana.

Dia meraih kedua tanganku, menggenggamnya lembut, namun pasti. "Aku tak tau apa yang akhir-akhir ini mengganggumu. Kuanggap kau tegang atau merasa ragu setelah bertemu keluargaku dan menyadari pertunangan itu akan benar-benar terjadi. Sekarang begini saja, selama berada di sini, kaupikirkan kembali, apa benar kau ingin pertunangan ini benar-benar terjadi. Jika tidak, aku akan mundur dan menunggumu hingga benar-benar siap."

Oh, Jacob, kau tak tau jika berada di tempat ini aku justru tak dapat berpikir dengan benar. Tapi alih-alih mengatakan apa yang ada di pikiranku, aku justru menghambur, memeluknya. "Kau tau, kau yang terbaik, Jacob. Bodoh jika aku melepaskanmu."

"Namun yang terbaik saja tak cukup untuk menggugah hatimu agar bisa mencintaiku bukan? Karena cinta tak butuh yang terbaik, namun butuh yang menbuatmu menjadi lebih baik."

HOT AFFAIR : Damn Love (Completed)Where stories live. Discover now