Ketika Cinta diuji

16.9K 1.3K 25
                                    

Kemarahan diawali dengan kegilaan dan akan berakhir dengan penyesalan.

- Ali bin Abi Thalib -


Bogem mentah mendarat tepat di pipi Alfian, ketika dia baru saja tiba di rumahnya setelah melakukan fitting busana pernikahan. Saat itu dia sedang merebahkan tubuh di atas sofa ruang keluarga. Namun, tiba-tiba seseorang datang langsung menyerang. Sontak dia terkejut dan langsung mengelus pipinya.

"Lo, kenapa tiba-tiba nonjok gue, No?" Alfian berseru dengan tetap mengelus-elus pipinya.

"Harusnya, lo mikir, Fi!" teriak Reno tepat di depan wajahnya, sambil mencengkram kerah baju saudara sepupunya itu.

"Beraninya lo nikahin Zizi, Fi!" ujarnya dengan mengeratkan gigi, setiap kalimatnya penuh dengan penekanan.

"Lepas dulu, No. Biar gue jelaskan!"

Kembali satu pukulan mendarat di pipi satunya lagi. Alfian terdiam, membiarkan Reno meluapkan amarahnya. Darah segar mengalir di sudut bibirnya. Belum sempat mengusap darah itu, Reno sudah menarik tubuhnya dengan bringas. Alfian masih tidak memberikan perlawanan.

Napas Reno memburu, dikuasai amarah yang meledak-ledak. Kedua matanya menatap tajam kepada Alfian. Seolah dia ingin menelannya bulat-bulat.

Kini tubuh pemuda berkacamata itu terbaring di atas lantai, dengan luka memar di beberapa bagian wajah. Sengaja dia tak memberikan perlawanan. Hingga Reno hentikan aksi beringasnya. Pukulan terakhir membuat tubuhnya terkulai beberapa saat. Reno lantas bangkit, pergi menuju dapur di rumah Alfian. Meninggalkan sepupunya seorang diri. Dia tenggak segelas air putih sampai tandas. Kedua tangannya bertumpu di atas meja yang terbuat dari keramik tempat Ira biasa menyimpan berbagai bahan masakan. Alfian datang meraih bahu Reno, sepupunya.

"Gue minta maaf, No," ujarnya begitu lirih.

Reno kembali menatap tajam ke arah anak dari adik ibunya.

"Lo kenapa gak ngomong dulu sama gue, haaah?" bentaknya kasar.

Alfian seka kasar wajahnya. Harus seperti apa dia beri penjelasan agar Reno mau mengerti.

"Lo sepupu gue, Fi. Lo andalan gue. Sekarang, lo khianati gue dengan menikahi Zizi. Wanita yang gue cintai ...!" Suara Reno kian melemah, dibarengi dengan isak tangis.

Pemuda berkacamata itu tak menduga kalau Reno akan semarah itu kepadanya. Dia tinggalkan Reno seorang diri, kembali menuju ruang keluarga sembari membawa es batu dan handuk kecil, lalu mengompres lukanya beberapa saat. Laki-laki itu kembali duduk dengan gusar. Satu tangan menahan kepalanya dengan telapak tangan menutupi wajahnya. Sementara satu tangannya lagi, memijat kepala. Alfian menyesali kebodohannya. Dia salah, karena tidak memberitahu Reno sebelumnya.

Nasi sudah menjadi bubur. Tidak ada yang bisa dia perbuat selain menunggu amarah Reno reda. Setelah itu baru berusaha untuk membuatnya mengerti.

Langkah kaki seseorang terdengar menuju ke tempat dia berada saat ini. Reno kembali dan segera duduk tepat di samping Alfian.

Suasana rumah begitu hening. Tidak ada orang lain selain mereka berdua. Reno duduk tegak dengan tangan dan jemarinya yang saling bertautan. Posisi duduknya menandakan adanya ketidaknyamanan pada dirinya. Napasnya masih memburu. Perlahan Alfian merangkul bahu sepupunya itu. Tak ada reaksi apa pun darinya.

"No ... gue minta maaf kalau menurut lo, gue salah."

"Lo tahu siapa Zizi?" nada bicaranya terdengar sinis dan penuh penekanan.

"Gue tahu Zizi itu mantan, lo. Dia mantan lo, No! Mantan! Apa salah gue nikahin dia?" jawab Alfian dengan tetap mengontrol emosinya.

"Lo boleh nikahin siapa aja! Mantan gue yang mana aja! Asal jangan Zizi. Please ... gue mohon!" Reno mengatupkan kedua tangannya.

Setelah Masa Lalu (Selesai)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora