I. The Matches of Hope : Permulaan Semuanya

548 87 10
                                    

Author POV

31 Maret 2019

           Dingin menyelimuti bagian Selatan kota Busan. Angin menerbangkan butiran butiran hujan yang jatuh dari langit. Meniup pelan rambut hitam ikal sebahunya. Berpayungkan dedaunan pohon ketapang, Shinhye menyembunyikan tubuhnya dari rintik hujan. Ia benci hujan. Ribuan tetes air yang jatuh dari langit menjadi musuh besar si ceroboh yang tidak pernah membawa payung ke kampus. Shinhye sudah sering diingatkan oleh Yonghwa untuk membawa payung ke kampus, mengingat permulaan tahun selalu datang disertai hujan deras di setiap harinya. Tapi dengan segudang alasan yang akan terus muncul menggantikan alasan lainnya, Shinhye tak pernah mau menuruti perkataan kekasihnya. Terlalu merepotkan bagi Shinhye jika harus membawa payung ke kampus karena tidak akan muat di tasnya. Berbeda dengan mahasiswa lain, Shinhye yang tidak tergolong mahasiswa rajin tidak suka membawa tas ransel punggung yang besar, dan lebih memilih tas selempang mini sebagai teman berpergiannya.

Senyum gadis itu terpancar saat ia melihat siluet seseorang yang tengah berjalan kearahnya. Itu Yonghwa. Laki – laki itu berjalan kearah Shinhye dengan payung putih ditangannya. Shinhye memasang wajah tak bersalah untuk ia tunjukan pada Yonghwa. Sudah keberapa puluh kalinya Yonghwa menjemput Shinhye yang tidak membawa payung, dan entah bagaimana laki - laki itu selalu dapat menemukan Shinhye dimanapun Sierra berada.

 “Kau cocok jadi cenayang...” ucap Shinhye saat Yonghwa sudah berdiri tepat dihadapannya.

 “Ya... Cenayang paling tampan di Korea.” ucap Yonghwa dengan wajah tersenyum.

 “Heol.. tingkat percaya dirimu terlewat batas tuan! Hahahaha...” Shinhye menanggapi ucapan Yonghwa dengan tawa.

 “Lain kali bawa payung Hyeya... Aku lelah harus menjemputmu terus.” keluh Yonghwa sambil memasang wajah kelelahannya.

 “Kau bilang lelah.. tapi pada akhirnya kau tetap menjemputku juga.” Shinhye mengalungkan lengannya pada lengan Yonghwa. Sedangkan Yonghwa hanya mendengus tak menjawab perkataan Shinhye.

 Mereka mulai berjalan beriringan ke tempat parkir. Kebetulan hari ini mobil Yonghwa di parkir dekat pintu keluar kampus, jadi tidak harus memutari kampus untuk dapat keluar dari dalam kampus.

 “Aku serius, Hyeya... Kau harus mulai terbiasa membawa payung sendiri. Tak selamanya aku dapat menjemputmu seperti tadi.” ucap Yonghwa sesaat setelah mereka memasuki mobil. Shinhye terdiam. Berusaha mencerna maksud dibalik kata – kata Yonghwa.

 “Memangnya kau akan pergi kemana?” tanya Shinhye.

 “Aku tak akan kemana mana... hanya saja terkadang ada hal – hal yang tidak bisa kita perkirakan. Kau harus terbiasa hidup tanpa bergantung padaku.” Shinhye menunduk mendengar ucapan Yonghwa. Ia tahu tidak seharusnya hidupnya bergantung pada orang lain, tapi Shinhye menyukai cara Yonghwa memperhatikannya. Ia merasa amat dicintai dengan segala perlakuan Yonghwa padanya.

 Bagi Shinhye, Yonghwa sudah seperti pelengkap untuk dirinya. Ia yang ceroboh, pelupa, dan cengeng menjadi sempurna dengan kehadiran Yonghwa. Mereka pertama kali bertemu di kelas mata kuliah umum bahasa korea, Mereka mengambil program studi yang berbeda. Yonghwa adalah mahasiswa seni musik, sedangkan Shinhye lebih memilih jurusan psikologi di Universitas Kyunghee. Saat itu Shinhye masih berada di semester satu, sedangkan Yonghwa berada di semester tiga. Ketidakberuntungan Shinhye membuatnya harus terpisah dengan teman – teman satu angkatannya dan terdampar di kelas yang berbeda. Ia tak mengenal siapapun di tempat itu. Ia juga tak tahu tipe dosen seperti apa yang harus ia hadapi, untuk berjaga jaga Shinhye memutuskan memakai kemeja pink dusty dan celana bahan putih sebagai outfitnya hari ini.

Sarat akan rasa gugup yang memenuhi rongga dadanya, Shinhye membuka pintu kelas perlahan. Hal pertama yang dilihatnya adalah pemandangan Yonghwa yang sedang memainkan biolanya dengan nada seringan kapas. Tubuh Yonghwa yang berbalut kemeja putih membuatnya terlihat seperti seorang malaikat. Celana jeans biru muda menambah nilai tambah untuk penampilan sempurna seorang Jung Yonghwa. Seolah tersihir, Shinhye diam mematung di tempatnya berdiri untuk beberapa saat hingga lagu yang Yonghwa mainkan selesai. Pandangan mereka saling bertemu, membuat Shinhye salah tingkah karena ketahuan memperhatikan Yonghwa yang sedang bermain biola. Masalahnya tidak ada orang lain disini yang dapat dijadikan alibi Shinhye untuk menghindari pembicaraan dengan Yonghwa. Saat ini Shinhye merasa seperti pencuri yang ketahuan mencuri. Akhirnya dengan keberanian yang tidak lebih besar dari ukuran biji jagung, Shinhye membuka pembicaraan.

The Matches of HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang