The Coldest Ikhwan

105 14 3
                                    

Written by : Ghaziyazhr

Hanya setiap sarapan Rafif dan keluarganya dapat berkumpul selebihnya sibuk dengan urusan masing-masing. Lebih tepatnya Rafif yang menghindar dan berusaha menyibukkan diri. Dulunya, sarapan pagi adalah hal yang paling ditunggu Rafif dan kakak perempuannya−Rafiqa. karena sebelum berangkat sekolah, bunda akan memasak berbagai olahan buah dan sayur kesukaan mereka. Tapi kebahagiaan itu sirna saat bunda memilih jadi wanita karir. Bundanya merasa uang dari ayah kurang, karena saat itu perusahaan ayah sedang collaps. Kemudian ketika perusahaan ayah kembali ke sediakala, bunda tidak mau lagi menjadi ibu rumah tangga. Ia sudah mencintai pekerjaan barunya sebagai designer. Kumpul keluarga menjadi kegiatan yang jarang mereka lakukan, mengingat kedua orang tua yang workaholic. Tahun lalu Rafif masih bisa tertawa dan bebas bercerita dengan Rafiqa. Kakaknya itu selalu menguatkan Rafif, memintanya husnudzhon dan memahami bahwa orang tua sibuk bekerja itu untuk mereka berdua. Tapi ternyata, orang yang menyemangatinyalah yang lebih membutuhkan semangat.

Rafif menunduk dan diam saja. Bukan karena tak berani angkat bicara, tapi karena ia khawatir bundanya akan menangis, untuk kesekian kalinya. Kini Rafif sudah terbiasa dengan kursi kosong disampingnya, dan juga kemana arah topik pembicaraan ini. Topik yang selalu berulang setiap sarapan pagi. Layaknya kaset rusak, memekakkan indera telinganya.

"Kamu mau sampai kapan begini, Fif?" Tanya wanita paruh baya yang sudah berhenti bekerja itu.

"Lupakan masa lalu Fif. Yang sudah terjadi yasudahlah." Ucap Ayah menimpali.

"Kakak ngga akan suka kalau kamu seperti ini nak." Lanjut bunda lirih.

Rafif masih terdiam kaku di kursinya.

"Rafif Alvian Putra, jawab bunda!" bentak ayahnya.

"Aku takut yah, nda. Gimana kalau aku nanti tidak bisa menjaga istriku, seperti aku yang ngga bisa jaga ka-" Ucapan Rafif dipotong bundanya.

"Maafkan dirimu nak! Jangan karena kejadian itu, kamu jadi takut menikah."

"Maaf. Aku berangkat ke kampus dulu Yah, Nda. Assalamu'alaikum."

Maaf lagi-lagi aku menghindar. Rafif membatin.

***

"RAFIF! Seorang perempuan bergamis lebar berlari menyusulnya. Terengah-engah menyesuaikan langkah miliknya dengan langkah lebar milik Rafif.

Rafif menautkan alisnya. Ia memandang ke arah lain dengan wajah datar tanpa ekspresi seperti biasanya.

"Yaa Allah, dari tadi dipanggil. kamu ngga dengar?!" Ucap Fathiya menyesuaikan napasnya.

"Apa?" Balas Rafif seadanya. Ini yang tidak Fathiya sukai dari sosok Rafif, sikap cueknya pada lawan jenis terlalu berlebihan. Maka tak salah kalau teman-temannya menyebut Rafif 'The Coldest Ikhwan' atau 'Ice Prince-nya Lembaga Dakwah Kampus'. Tapi walau seperti itu, fans Rafif dari kalangan akhwat malah semakin membludak. Kata mereka, ikhwan semacam Rafif itu langka, bemar-benar menjaga pergaulannya dengan lawan jenis. Tapi hal itu tidak berlaku bagi Fathiya, ia merasa Rafif terlalu menutup diri. Itulah yang instingnya sebagai mahasiswi psikologi katakan. Bahkan dengan teman-temannya yang ikhwan Rafif jarang tertawa, paling-paling sekadar senyum. Kalau dengan ikhwan saja sikapnya begitu, apalagi dengan yang akhwat. Cueknya minta ampun. Seolah orang asing.

Harusnya seorang aktivis dakwah seperti Rafif bisa membuat orang-orang di sekitarnya merasa nyaman dan tak merasa terpojokkan dengan wajah dingin minim ekspresi miliknya itu. Tapi tentunya kalau ramah pun harus tetap dalam koridor syariat.

"Dipanggil kak Fadhil ke sekretariatan, tadinya dia mau manggil sendiri. Tapi orangnya kebelet pipis, makanya nyuruh adiknya. Saya jelaskan kalau-kalau kamu salah paham." Jelas Fathiya, membawa-bawa nama kakaknya. Fadhil Immanul Haq, kakak laki-lakinya yang dua tahun lebih tua dan sedang menjabat sebagai ketua umum Lembaga Dakwah Kampus.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 01, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

The Coldest IkhwanWhere stories live. Discover now