PART - DUA PULUH SEMBILAN

4.3K 283 0
                                    

Kim sudah siap dengan baju brokat putih dan rok selututnya saat ia sibuk mencari sesuatu di kamarnya. Sore ini ia akan menghadiri acara pentas seni di sekolah Nez.

“Kim kamu mencari apa?” tanya Bima yang sedari tadi memperhatikan istrinya yang nyaris memberantakkan seluruh isi kamar.

“Aku mencari jam tanganku. Aku lupa menaruhnya dimana.” Kim masih hilir mudik di seluruh ruangan dan membuka semua laci yang ada di kamar.

“Jam yang mana?” tanya Bima. Kim menoleh pada Bima. “Jam yang kamu berikan di ulang tahun pernikahan kita.” Jawabnya yang membuat Bima langsung mengernyitkan dahi.

“Kim, bukankah kamu sudah memecahkannya lima tahun yang lalu?” sahut Bima.

“Aku? Memecahkannya?” Kim mencoba mengingat – ingat peristiwa itu namun tidak mengingatnya. Bima berjalan mendekati istrinya dan memegang kedua sisi pundaknya.

“Nanti aku belikan lagi jam tangannya ya. Sekarang kamu bersiap katanya tadi mau ketemu klien.” Kim mengangguk lalu berjalan menuju sofa dan mengambil tasnya. Ia melangkah keluar kamar dan meninggalkan Bima yang masih menatapnya dengan penuh tanya. Seingatnya, Kim bukanlah tipe wanita yang mudah melupakan sesuatu. Apakah tekanan yang selama ini ia rasakan membuatnya jadi seperti itu?

Kim menyalakan mesin mobilnya hendak menuju ke butik untuk mengambil barang lalu mengantarnya pada pemesannya. Ia menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang menembus jalanan Jakarta di hari sabtu ini.

Sesampainya di butik ia langsung mengambil barang dan kembali ke dalam mobil untuk mengantarkannya pada kliennya. Mereka sudah berjanji untuk bertemu di rumah kliennya siang ini. Ia menyalakan mesin mobilnya menuju rumah kliennya yang cukup jauh, sehingga ia berharap tidak akan macet di jalan nanti.

Dua jam berlalu sejak ia berangkat dari butik tadi dan hingga sekarang, ia belum juga sampai di rumah kliennya. Baru beberapa hari yang lalu ia pergi kesana bersama Wynda namun entah kenapa ia tidak juga menemukan jalan kesana. Ia bahkan terus saja berputar – putar di jalan yang sama sejak satu jam yang lalu, hingga peluh tampak di keningnya meski air conditioner mobil cukup dingin. Kim menghentikan mobilnya di pinggir jalan karena ia mulai merasa pusing. Ia menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi mobil. Tangannya memijat – mijat kepalanya yang pusing sekali. Ia bahkan mulai merasa sangat berkeringat. Ia lalu meraba – raba tas nya mencoba mencari handphonenya untuk meminta pertolongan.

“Halo.” Ucapnya saat telepon mulai tersambung. “Bisakah kamu menjemputku?”. Kim melihat – lihat di sekitarnya untuk mencari tahu ia sekarang sedang berada dimana lalu mengatakannya pada orang yang tengah ia telepon. Setelah telepon tertutup, Kim menyandarkan kembali kepalanya pada sandaran kursi dan mulai memejamkan mata. Ia benar-benar tidak tahu apa yang sedang ia alami sekarang.

-00-

Bima duduk di kursi penonton dengan gusar. Sejak satu jam yang lalu, ia terus saja mengecek jam tangannya. Sekarang sudah pukul 5 sore dan sebentar lagi Nez akan tampil di panggung bersama teman – temannya, namun istrinya tidak juga muncul. Tadi pagi, mereka berjanji untuk langsung bertemu di sekolah Nez saja, namun hingga satu jam pentas seni dimulai, Kim tidak juga muncul. Ia juga tidak mengangkat teleponnya meski Bima sudah berkali – kali meneleponnya. Perasaan cemas mulai menggelayutinya. Ia takut kalau sesuatu terjadi pada istrinya karena menurut Wynda, Kim sudah keluar dari butik sejak pukul 11 siang dan ia tidak pernah sampai di rumah kliennya. Bima mencoba sekali lagi menelepon istrinya dan hanya terdengar nada sambung.

Pembaca acara pentas mengumumkan kalau kelas Nez akan tampil, sehingga Bima meletakkan handphonenya dan mengambil kamera. Ia siap untuk mengabadikan momen penampilan putri semata wayangnya. Nez berjalan memasuki panggung bersama sekitar sepuluh orang teman sekelasnya. Sejak awal, Nez sudah memandang ke arah Papanya dan melihat Papanya seorang diri. Saat itu juga ekpresi wajahnya berubah. Ia lebih banyak cemberut dan lupa dengan nyanyian yang harus ia nyanyikan. Dan sesaat kemudian, Bima melihat putri kecilnya menangis di atas panggung. Bima dengan serta merta meletakkan kameranya dan berlari menuju panggung. Ia langsung menggendong putrinya dan meminta maaf pada guru kelas Nez serta semua wali murid yang melihatnya. Ia membawa putrinya keluar dari ruangan pentas setelah mengambil barang – barangnya dari kursi penonton.

SAUDADE [Complete] [SEGERA TERBIT]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora