01 ▪ Menahan Rasa

7.9K 1.1K 49
                                    

Berawal karena menikmati senyum cantik dari salah satu peserta MOS angkatannya, Aji akhirnya menemukan sosok yang mampu membuatnya memuja dengan begitu hebat. Ketika pernyataan cintanya hampir dua tahun yang lalu itu diterima oleh pujaannya, Aji berjanji dalam hati akan mendedikasikan rasa sayangnya untuk sosok itu. Hampir apa pun dilakukannya agar senyum cantik itu bisa dilihatnya dalam jejak yang lama.

Agar Karin Pramudita itu, selalu senang dan bahagia.

Bahkan kalaupun harus menyembunyikan status pacaran mereka di sekolah, Aji tak masalah. Awalnya. Sampai akhir-akhir ini, Aji mulai merasa gerah. Hampir kehabisan akal untuk membuat Karin paham bahwa sekalipun selalu memberi senyuman lucu dan tawa konyol, hatinya tetap tak suka setiap kali pacarnya itu tertawa bersama cowok lain.

Sebut Aji berlebihan. Tetapi Aji tak peduli. Karena siapa pun yang melihat gerak-gerik itu pasti tahu, jika cowok yang sejak dulu mengejar Karin itu masih menaruh harap pada cewek itu.

"Sedih nggak sih, Ji, pacaran tapi pake drama backstreet segala?"

Itu ejekan dari Arkan.

Ya, akhirnya, karena tak tahan selalu diejek dan dihina habis-habisan jika ketahuan sedang memperhatikan Karin dari jauh, Aji memilih menceritakan hubungannya dengan Karin pada dua sahabatnya—Arkan dan Nathan. Aji belum berniat menceritakan pada krucil-krucil di kelas XII IPA 1, karena yakin akan menjadi bahan ghibah sampai mereka lulus nanti. Walaupun memberitahu Arkan dan Nathan juga berpeluang hal yang sama, tapi setidaknya, Aji tahu kalau dua orang itu pasti tak akan melewati batas.

"Hampir dua tahun lho, Ji. Nggak enek apa lo?"

Tambahan lagi, dari Nathan. Kadang, Aji suka bingung apa yang melandasi mereka bisa bersahabat sampai hari ini. Mereka bertiga, jelas punya hobi yang berbeda. Apalagi Nathan, yang jelas dikenal sebagai cowok kurang ekspresif, tapi bisa sangat menyebalkan jika suda menghinanya atau pun Arkan.

"Kalo nggak pernah pacaran itu, diem aja, Than. Nggak usah ikutan. Menghina Aji bagian ini, biar gue aja."

Bukannya marah dengan kalimat Arkan, Aji justru terbahak. Apalagi saat mendengar Nathan sudah mengumpati Arkan dengan kesal.

"Lagian si Avram nggak bosen apa deketin Karin, ya? Udah ditolak berapa kali, tuh?" tanya Arkan, heran.

"Empat. Kali, ya. Karin sih, cuma cerita segitu aja pas gue tanya bulan lalu." Aji membalas sambil lalu, kemudian kembali memperhatikan Karin dan cowok bernama Avram itu.

"Lo nggak mau coba ngomong sama Karin?" Kali ini, Nathan kembali bersuara.

"Udah. Tapi jadinya riweh. Kemaren itu pertama kali gue ribut sama dia. Males banget kalo gitu lagi."

Arkan dan Nathan saling lempar pandang. Mencibir Aji karena sahabat mereka itu sudah masuk pada kumpulan kaum bucin abad terkini. Iyuh!

"Ya udah. Kalo gitu nggak usah dilihatin terus kayak mata lo mau copot gitu, dong!" sambar Nathan. Agak kasihan juga dengan wajah nelangsa yang sejak tadi ditunjukkan Aji. Begini nih, kalau mental anak SD sok-sokan pacaran.

Aji berdecak jengkel, saat melihat Avram mencondongkan tubuh ke arah Karin, yang entah sedang mengerjakan soal apa. "Sampah banget emang itu cowok! Gue samperin aja apa, ya?" kesalnya, sambil bangkit berdiri. Lalu bergantian menatap kedua sahabatnya yang masih diam di tempat. "Gue nggak ditahan?"

Kening Arkan dan Nathan mengerut, bingung.

"Justru kita emang dukung lo ke sana. Samperin. Bilang kalo lo cowoknya Karin. Daripada kayak banci cuma liatin dari jauh."

"Ayo, dong. Segini doang nih nyalinya gamers? Ah, payah. Dota doang lo jago, tapi jagain harga diri sendiri malah cupu." Nathan menimpali dengan senyum mengejek.

"Ampas lo berdua!" Aji memilih untuk berlalu dari kantin. Mood-nya semakin buruk karena dua cowok menyebalkan itu.

Berjalan ke kelas dengan suasana hati yang masih panas, Aji berusaha menarik napasnya. Aji tahu baru pacaran dulu, Avram masih suka mendekati Karin. Tapi Aji tak akan ambil pusing karena cowok itu tak pernah terlihat begitu intens mendekati. Biasanya hanya lewat chat yang selalu dikirim ke Karin. Dan Aji jelas tidak akan cemburu buta karena tahu Karin tak pernah membalas chat-chat itu.

Hanya saja, sejak sebulan yang lalu, cara Avram mendekati Karin mulai membuatnya jengah. Seolah cowok itu sangat paham bahwa kelemahan Karin adalah terlalu mencintai segala hal tentang kedokteran. Dan dengan iming-iming mimpi yang sama, Avram membuat Karin perlahan dekat dengan cowok itu. Sialan, kan?

Aji bukan jenis cowok pencemburu. Demi apa pun, Aji sangat mengharamkan cowok irasional yang suka mencemburui pasangan, apalagi mengingat dirinya yang masih berseragam putih-abu. Bukan menyepelekan hubungan pacaran di masa remaja ini, hanya saja, rasanya menggelikan jika terlalu menyematkan 'kepemilikan' padahal mereka masih dalam pencarian jati diri.

Nathan pernah bertanya waktu penjelasan itu diberikannya. Nathan bilang, 'Kalau gitu kenapa milih pacaran?'. Jawabannya sederhana, Aji masih memiliki ego remaja pada umumnya. Dia terlalu memuja Karin, dan menginginkan cewek itu berdiri sebagai pacarnya. Sesederhana itu.

Tapi untuk mengekang, Aji rasanya tak sanggup. Karena bukan itu tujuannya meminta Karin menjadi pacarnya. Hanya, Aji selalu saja harus berusaha keras menahan rasa tak suka jika melihat Karin bersama cowok lain, terutama Avram. Karena ternyata, menahan ketidak-sukaan itu terlalu lama, rasanya membuat hatinya semakin tak nyaman. Dan itu, menyebalkan.

×=×

"Kok, tumben diem aja?"

Aji menggeleng saat mendengar pertanyaan lembut itu. Memilih untuk memberikan helm kepada Karin. "Tadi ke sini jalan sendiri?" tanyanya.

'Ke sini' yang dimaksud Aji adalah parkiran basement supermarket besar yang jaraknya hanya beberapa meter dari sekolah mereka. Tempat inilah yang biasanya menjadi tempat janjian mereka jika ingin pulang bersama. Miris, ya?

"Iya. Tenang. Pasti aman, kok." Karin menjawab dengan senyum. Sama sekali tak menyadari maksud senyum sangat tipis yang diberikan Aji.

"Yuk, naik."

"Mau makan dulu nggak?"

Kepala Aji menggeleng. Dia sedang kesal, tapi tak bisa melampiaskannya. Ck!

Karin mengernyit kecil, melihat Aji yang pendiam seperti ini. "Serius kamu nggak apa-apa? Lagi sakit, ya?" tanyanya, sambil meletakkan telapak tangannya di dahi Aji.

"Nggak. Ayo, naik. Aku langsung anter ke tempat bimbel, ya?"

"Ji," panggil Karin, masih belum ingin naik ke atas motor Aji. "Serius kamu nggak apa-apa?" tanyanya. "Aku bikin salah? Kamu lagi marah sama aku?"

Yang begini ini bikin Aji jadi serba salah. Terakhir kali Aji mengiyakan pertanyaan itu, ujungnya adalah mereka beradu argumen cukup alot hanya karena Aji mengatakan tak suka dengan kedekatan Karin dan Avram. Kalau sekarang dilakukan lagi, kejadian yang sama pasti akan terulang. Dan Aji sangat tidak suka jika bertengkar dengan Karin. Aji tidak pandai menahan rasa. Jadi pasti akan meminta maaf lebih dulu karena tak suka melihat sedih di wajah Karin.

"Nggaklah. Mana bisa aku marah sama kamu. Kan?"

Dijelaskan seperti itu, sambil diberi senyum yang memunculkan lesung pipi kesukaannya, Karin kembali tersenyum. Naik ke atas motor Aji, lalu memeluk dari belakang. Mungkin, pacarnya ini hanya sedang kelelahan makanya menjadi lebih diam. "Kamu kalo lagi ada masalah, cerita sama aku, ya. Jangan disimpen sendiri," pesannya.

Aji menahan dengusannya saat mendengar kalimat itu. Senyum mirisnya tercetak sempurna. Entah karena dia yang terlalu bodoh dalam menyayangi, atau memang karena pacarnya ini yang tak ingin menyelami.

Masalahku cuma satu, Rin. Sayang banget sama kamu.

×=×

salam,
yenny marissa

03 Juni 2021

Far Away [Completed] ✔Where stories live. Discover now