03 ▪ Ungkapan Jujur

5K 943 52
                                    

Sebenarnya, Aji tak menginginkan banyak hal. Hanya ingin Karin merevisi permintaan cewek itu soal mereka. Agar perannya bisa genap jika saja cowok-cowok di sekolah tahu soal mereka.

Namun nyatanya, Karin tetap bertahan pada pendirian. Bahkan setelah Aji berusaha menahan diri untuk bersikap tak seperti biasa, Karin masih juga tak paham bahwa ada yang mulai aneh dengan mereka.

Demi apa pun, Aji menyayangi Karin. Perasaannya terasa kian membesar entah karena apa. Aji memiliki banyak keinginan untuk membuat senyum di wajah cantik itu. Hanya saja, rasa tak sukanya selalu muncul tiap kali Karin bersikap seakan-akan tidak tahu sedang didekati—dengan terus membiarkan cowok lain itu mendekat.

Itu ... membuat Aji marah. Egonya sebagai cowok tak suka jika ada cowok lain yang mendekati pacarnya. Jangan bilang menggelikan, karena begitulah naluri kaum adam jika apa yang sudah dianggap kepunyaannya, diusik oleh orang lain.

"Woy!"

Aji sedikit terperanjat saat merasakan tepukan di bahunya. Kepalanya lalu menoleh dan mendapati Giva sedang mengulas senyum lebar, kemudian duduk di sampingnya. Mereka mau mulai latihan siaran untuk jam istirahat besok.

"Bengong aja sih lo. Kenapa? Mikirin utang?"

Tertawa kecil, Aji menanggapi dengan kibasan tangan. "Gue orang kaya, sih. Sukanya ngutangin bukan ngutang."

"Ngutang apa kutang?"

Aji terbahak mendengar candaan itu. Aji mengenal Giva saat baru mulai bergabung di ekskul radio saat kelas sepuluh. Awalnya, Aji hanya coba-coba karena tidak ada ekskul gaming di sekolahnya. Namun setelah bergabung dan mendapati kalau anggota yang sejak awal hanya lima belas orang ini cukup absurd dan sanggup menerima kekonyolannya, Aji mulai menyukai ekskul radio. "Sableng emang lo," balasnya, masih dengan tawa.

Ada alasan lain juga mengapa Aji bisa cukup dekat sampai suka bercanda dengan Giva. Sejak awal, Aji tahu kalau Giva adalah satu-satunya cewek yang cukup dekat dengan Karin. Dulu, Aji berpikir kalau sudah bisa berteman dengan Giva, saat nantinya Karin menjadi pacarnya, dia tak perlu lagi mengulangi siklus belajar masuk pada dunia pertemanan Karin. Karena setidaknya, dia sudah kenal dan berteman dengan sahabat cewek itu. Toh, Giva juga termasuk cewek yang asik. Supel, dan kadang sama gila dengan dirinya.

"Dikasih topik siaran apa kita?"

Aji memberikan dua lembar kertas soal topik siaran mereka. "Pacaran nggak direstuin temen."

Mendengar dan membaca topik itu membuat Giva tertawa geli. "Si Nala bikin topik nggak ada yang lebih penting apa, ya? Masa iya nggak direstuin temen," cibirnya, menyebut nama anak angkatannya yang memang bertugas mencari topik siaran mereka.

Ikut tertawa, Aji menimpali sambil lalu. "Tapi katanya, lebih nggak enak kalo pacaran nggak direstuin temen, Va."

"Kenapa?" Kening Giva mengerut.

"Kalo nggak direstuin orangtua, pas pacarannya gagal, jarang pasti orangtua yang ghibah-in. Coba kalo temen, yakin udah jadi bahan ghibah sambil dikasih ceramah habis-habisan. Dengan embel-embel, 'gue udah bilang dari dulu jangan sama dia'."

Giva terkekeh. "Lagi curhat ya, Pak," sindirnya geli. Membuat Aji tertawa kecil.

"Nggak, sih. Itu kan, kata orang. Kalo menurut gue, lebih nggak enak nggak direstuin orangtua-lah! Lo bayangin aja, pacaran tapi mesti diem-diem biar nggak ketauan ortu. Sedih gila." Aji membalas sambil menyiapkan audio mixer yang akan mereka pakai.

"Ya elah, Ji. Kayak lo udah punya cewek aja, sih." Giva menimpali dengan canda, sambil membaca pesan-pesan yang masuk pada media sosial radio NaxFM—nama radio sekolah mereka, terkait topik siaran mereka besok.

Far Away [Completed] ✔Where stories live. Discover now