04 ▪ Merasa Bersalah

4.9K 875 58
                                    

"Kemaren ke tempat bimbelnya ternyata sama Avram, ya?"

Kepala Karin mendongak kecil mendengar pertanyaan itu. Mengapa Aji tiba-tiba bertanya begitu, padahal kemarin sore mereka masih bertemu karena cowok itu yang menjemputnya dari tempat bimbel. Namun daripada berbohong, Karin memilih menjawab dengan anggukan. "Sekalian. Kan tempat bimbelnya deket sama rumah dia."

Jawaban santai itu membuat Aji berusaha menekan kekesalannya. Serius, Aji tak suka menjadi cowok yang posesif seperti ini. Demi apa pun, semua orang yang mengenalnya tahu bahwa 'let it flow' adalah gaya kesehariannya. Pun sejak awal berpacaran dengan Karin, Aji selalu mematri dalam otaknya tak akan menjadi cowok menggelikan dengan membatasi apa pun yang dilakukan pacarnya. Namun masalahnya, jika sudah menyangkut cowok bernama Avram ini, ego Aji sebagai cowok selalu memantik naik tanpa diminta.

"Oh. Tapi kemaren pas aku jemput, kok nggak cerita kalo dianter sama dia?" tanya Aji. Jika tadi tak sengaja mendengar Avram dan teman-teman cowok itu sedang membahas cara pendekatan yang dilakukan Avram dengan Karin, mungkin Aji tak akan tahu soal ini.

"Nggak penting juga ah, Ji," balas Karin sambil lalu. Kemudian meminum teh manisnya. "Nanti malah ribut lagi. Kamu kalo bahas dia bawaannya sensi terus."

"Kalo udah tahu gitu, kenapa masih deket sama dia, sih?"

Karin menarik napas. Mulai lelah dengan sikap aneh Aji jika menyinggung soal Avram. "Aku deket sama dia karena satu kelas, Ji. Suka belajar bareng juga," jelasnya. "Kayak kamu deh, deket juga kan sama temen cewek di kelas kamu? Nggak ada masalah, kan?"

"Nggak ada masalah karena aku nggak suka mereka dan mereka juga nggak suka sama aku, Rin." Aji mulai malas menghabiskan makanannya.

Disinggung begitu, Karin tiba-tiba mulai merasa kesal. "Tahu darimana kamu kalo salah satu dari mereka nggak suka sama kamu?" protesnya. Jelas-jelas Giva—yang cukup dekat dengan Aji, menyukai cowok itu.

Pertanyaan itu membuat sebelah alis Aji terangkat.

"Kamu itu, suka banget bercanda, Ji. Sama cewek pun kamu kadang begitu. Nggak nutup kemungkinan ada yang tertarik sama kamu karena hal itu." Karin berhenti sesaat. Menyadari kalau kalimatnya mulai melantur karena mengingat soal Giva. Astaga! Mengapa pembahasan mereka jadi ke mana-mana, sih?

Mata Aji menyipit, tak suka. "Ini maksudnya gimana?" tanyanya. "Kenapa jadi bahas aku, padahal tadi kita lagi bahas kamu."

Karin membuang napas malas. "Aku nggak suka sama Avram, Ji. Oke?"

"Dia itu masih suka sama kamu. Paham?"

"Rasa suka dia bukan urusanku," balas Karin, sedikit ketus. "Aku nggak bisa paksa dia berhenti suka sama aku. Yang penting aku nggak bales perasaan itu. Ngerti, kan?"

Aji mendengus keras. "Dulu, kamu juga nggak suka sama aku, kan? Tapi lama-lama bisa jadi suka. Yakin kalo kamu terus biarin dia deket kamu, perasaan kamu nggak bakal berubah?"

Pertanyaan itu membuat rasa kesal Karin berubah menjadi marah. "Nggak percaya banget berarti kamu sama aku," desisnya. Kedua mata Karin sudah menajam tak suka.

Sayangnya, emosi Aji juga ikut tersulut. Seperti pertengkaran mereka sebelumnya, Aji membiarkan lagi egonya menang. Hanya saja, memilih untuk menekannya dengan geraman rendah. "Perasaan orang itu, bisa berubah-ubah, Rin. Sekarang, kamu mungkin sayangnya sama aku. Tapi kalo kamu terus biarin dia deket sama kamu, nggak menutup kemungkinan kalo perasaan itu bisa berubah."

"Kamu tuh—"

"Apalagi kamu nggak biarin dia tahu kalo kamu udah punya cowok; aku." Aji memotong perkataan Karin dengan tandas.

Far Away [Completed] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang