My Friends Were Wear A Mask

520 80 17
                                    

Bukan berarti orang-orang yang selalu mengikutimu adalah temanmu.

Aku butuh waktu yang cukup lama untuk dapat menyadari hal pahit ini.

Sejak aku kecil aku sudah mengharapkan kelak nanti aku dapat mempunyai teman yang banyak. Mengingat aku sendiri adalah anak tunggal, jadi itu wajar kalau aku juga punya angan-angan seperti itu.

Ingatanku tentang teman pertamaku tidak terlalu jelas, apalagi ingatan itu sebelum aku mendapatkan quirkku ini. Lagipula, semua orang pasti akan kesulitan untuk mengingat apapun ketika mereka berumur di bawah empat tahun, kan?

Apapun ingatan itu dulu, ada satu hal yang aku yakini dapat membuatku ingat akan pengalaman berteman di dalam hidupku. Tentu saja hal itu adalah disaat quirkku akhirnya bangkit.

Aku ingat, saat pertama kali aku menunjukkan quirkku kepada orang lain. Saat itu aku akhirnya dapat menjadi pusat perhatian di kelas di TKku dulu.
Aku dapat mengingat hampir setiap pujian yang banyak kuterima dari guru-guru TK dan anak-anak yang lain saat itu.

Saat itu aku sangat bahagia. Hampir setiap hari di masa TK aku habiskan dengan perasaan senang. Aku ingat kalau saat itu aku tak pernah menghabiskan masa TKku dengan sendirian, pasti selalu ada anak lain yang mendekatiku dan mengekor di belakangku. Entah itu di sekolah ataupun ketika aku bermain di rumah.

Salah satu faktor kenapa aku sangat menyukai quirkku adalah karena kemampuan ini dapat mewujudkan mimpi masa kecilku. Aku akhirnya dapat punya teman banyak, itulah pikirku. Namun, semakin lama waktu berlalu ada situasi yang sedikit berbeda dalam kehidupan pergaulanku ini.

Ketika aku SD, ada beberapa anak yang mengatakan kepadaku kalau aku tidak akan keren jika terus menjadi teman dari anak ini atau anak itu. Mereka juga pernah mencoba menjauhiku ketika mereka berhasil mepergokiku masih berteman dengan anak-anak yang mereka sebutkan.

Saat itu aku jujur merasa takut. Aku benci mengakui perasaan memalukan ini, tapi itulah kenyataannya. Aku sadar kalau aku akan kehilangan lebih banyak teman-temanku kalau aku tidak melakukan sesuatu. Pada akhirnya saat itu aku memutuskan untuk melakukan pengorbanan. Saat itu aku menyakini bahwa kehilangan satu teman itu lebih baik daripada sepuluh teman.

Kejadian pengorbanan ini akhirnya kulakukan berulang kali, sampai-sampai aku merasa terbiasa melakukannya. Aku terlambat menyadarinya kalau tindakanku yang berawal dari kenaifan yang kumiliki dulu justru membuatku mendapatkan karakter yang kurang disukai oleh banyak orang. Namun, saat itu aku tidak peduli. Lagipula, aku masih mempunyai banyak teman jadi aku tak memperdulikan hal itu.

Aku akhirnya dapat menyadari kenyataan yang sebenarnya dari kehidupan pertemananku ketika aku menginjak kelas tiga SMP.

Peristiwa saat itu juga menjadi salah satu ingatan yang tidak akan bisa aku lupakan seumur hidupku.

Saat itu aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku juga tidak tahu bagaimana aku bisa berakhir ke dalam situasi seperti ini. Namun, ada satu hal yang pasti. Saat itu aku sendiri. Teman yang selama ini selalu lolos dari metode pemilihanku meninggalkanku sendirian di sini.
Meninggalkanku untuk berjuang menyelamatkan diriku dari maut sendiri.

Di sela-sela pikiran kacauku saat itu, aku sempat berpikir. Kenapa aku sendiri disaat seperti ini? Kenapa mereka meninggalkanku? Apa aku salah kepada mereka? Apa aku salah memilih untuk menjadikan mereka sebagai temanku?

Disaat itu aku sadar bahwa ketakutan masa kecilku sudah lama menjadi kenyataan. Sejak dulu aku telah sendirian.

Anak-anak yang kuanggap temanku itu berhasil menipuku selama ini dengan topeng. Tanpa kusadari mataku terasa basah ketika mengingat hal ini lagi.

Just My SelfWhere stories live. Discover now