52. Cemas.

7.5K 549 54
                                    

Hujan yang kian deras membuat suasana di Apotek Asyfa semakin sepi. Tak ada seorang pun yang datang ke apotek, dan itu membuat semua pekerja bisa berleha-leha sedikit. Meski beberapa dari mereka ada yang sibuk mencatat dan merapikan barang sambil berbincang ringan.

Gemuruh petir bersahutan selaras angin kencang yang menerpa, membuat daun-daun dari pohon turun ke jalan. Dewi memperhatikan ke luar dengan pandangan takut. Ia tak takut petir, tapi ia takut dengan hujan angin. Dewi hanya berdiri di belakang etalase sambil memperhatikan ke jalanan dengan tatapan ketakutan.

Dan matanya menyipit saat melihat sebuah angkot berhenti di seberang jalan. Menurunkan seorang wanita berperawakan mungil tanpa payung menyeberang jalan.

"Mbak Naya," gumam Dewi. Ia yakin orang itu Inaya, Dewi kenal postur tubuh itu.

"Bu, Bu Tina?" Dewi memanggil. "Mbak Naya, Bu."

Semua orang yang ada di ruang pelayanan sontak saja melihat ke arah yang Dewi maksud. Mereka semua terkejut, pasalnya Inaya berjalan menuju apotek tanpa memakai payung atau pelindung apa pun.

"Panggil Mas Zaidan," titah Tina yang langsung dibalas anggukan oleh Dewi.

Ia bergegas mengetuk pintu ruang apoteker. "Mas Zaidan?"

Tak lama kemudian pintu itu terbuka menampilkan Zaidan lengkap dengan kacamata bertengger manis di hidungnya. "Ada apa?"

"Anu, Mbak Naya," Dewi melirik ke belakang. Membuat Zaidan ikut menatap ke arah yang Dewi maksud.

Zaidan kaget saat melihat Inaya hampir mencapai pintu apotek dengan tubuh basah kuyup. Tanpa banyak bicara, Zaidan segera keluar kemudian menghampiri Inaya.

"Inaya?"

"Mas Zaidan," ucap Inaya lirih.

Zaidan bisa melihat betapa kacau penampilan Inaya sekarang. Gamis biru langit yang membalut tubuh menggigil itu basah kuyup dan kotor di beberapa bagian.

"Kamu kenapa? Kenapa bisa sampai basah kuyup dan kotor begini?"

Inaya tak menjawab, ia malah menunduk sambil terisak di depan Zaidan.

Zaidan menyentuh bahu Inaya. "Inaya ada apa?"

Dan saat itu lah Zaidan sadar, ada bekas kemerahan di pipi Inaya. Zaidan baru akan membawa Inaya masuk ke apotek namun Inaya memegangi tangannya. Inaya menolak untuk masuk.

"Kamu kedinginan Inaya, ayo masuk."

Kilatan dan gemuruh petir semakin membuat Inaya gemetar. Tangannya yang dingin tak lepas dari genggaman Zaidan, tapi dadanya terlalu sesak untuk bicara.

"Sakit, Mas." Isakan Inaya semakin menjadi, hanya satu kata yang mewakili perasaanya saat ini. Iya, sakit. Ia benar-benar merasa sakit di sekujur tubuhnya. Bahkan rongga dada Inaya rasanya penuh sesak dengan rasa sakit. "Sakit."

"Apa yang sakit?"

Tak ada sahutan.

"Kamu mau pulang?" tanya Zaidan melembut.

Inaya hanya mengangguk.

Ibu jari Zaidan perlahan bergerak mengusap lelehan air mata yang bercampur air hujan di pipi Inaya. "Kita pulang sekarang. Tunggu sebentar."

***

Selama perjalanan pulang, Inaya tak berhenti menangis. Namun tak ada satu kata pun yang keluar dari bibir Inaya. Itu membuat Zaidan bingung setengah mati. Apa yang terjadi dengan Inaya sampai tubuhnya sekacau ini.

Sesampainya di apartemen, Zaidan tidak langsung menyerbu Inaya dengan banyak pertanyaan. Ia justru menyuruh Inaya untuk mandi lebih dulu. Dari luar, meski sepertinya Inaya berusaha menyamarkan suara tangisan dengan menyalakan shower keras-keras. Tapi Zaidan masih bisa mendengar isakan itu.

Shadow [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang