Chapter 1

252 13 15
                                    

Bandung,  28 February 2016

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bandung,  28 February 2016

Aku merindukanmu.
Dimana kau hari ini? Masihkah mengingatku?
Adakah hatimu merasakan apa yang sedang kurasakan?
Sudahkah kau pastikan?
Adakah sebersit rasa yang tertinggal walau hanya sepotong sisa kenangan?
Aku menunggumu. Cepat pulang. Sungguh aku rindu.

*****

Kei menutup buku hariannya. Seharian wajahnya murung, rambutnya digulung tak beraturan. Hatinya mendung seperti langit sore itu. Keinara nama lengkap wanita yang sedari tadi duduk melamun di lorong Panti Asuhan KASIH itu.

Sudah hampir 15 tahun Kei menunggu Gerry, sahabat kecilnya di panti asuhan itu. Mereka berpisah dikarenakan Gerry diasuh oleh sepasang suami istri dari Jerman dan dibawa pindah negara oleh orang tua asuhnya itu, sementara Kei menetap di Jakarta dan diasuh oleh orang tua asuhnya setelah 3 tahun kepergian Gerry. Setiap tahun di tanggal 28 February Kei selalu mengunjungi panti asuhan itu dan berharap suatu hari Gerry ada disana.

Semenjak kepergian Gerry, Kei tak pernah mendapati kabar apapun tentangnya. Kei sudah mencoba berbagai cara mulai dari mengiriminya surat sampai mencari tahu nomor telfon orang tua asuh dari Gerry tapi tak ada balasan apapun sampai detik ini. Sahabat kecil nya itu menghilang tak berjejak.
15 tahun kepergian Gerry tak ada yang berubah dari suasana panti itu, tetap hangat dan nyaman hanya Kei yang berubah menjadi sosok pendiam dan tertutup. Ibu Ratih pengurus panti sangat mengenal pribadi Kei sebelum kepergian Gerry dia seorang yang ceria dan mudah berbaur dengan siapa saja.

Ibu Ratih menatap dari jendela dan celingukan, matanya mencari wanita yang sudah berjam-jam lamanya duduk ditempat favoritnya itu dan belum ada menyapa dirinya sejak sampai ditempat itu, dia berjalan mendekati Keinara mencoba untuk menghiburnya.

"Kei. Makan dulu, ibu sudah menyiapkan ikan asam manis pedas kesukaanmu" Sapa ibu Ratih pada seorang gadis yang sedari tadi tak memperdulikan apapun yang ada disekitarnya.
"Kei nggak lapar bu. Nanti saja" Jawabnya dengan nada lesu.
"Kei, sampai kapan kamu akan menyiksa diri seperti ini? Sudahlah nak, semuanya sudah ditakdirkan oleh Sang Pencipta kelak akan ada waktunya kamu akan dipertemukan kembali dengan Gerry" Jawab ibu Ratih sambil mengelus rambut Kei yang kusut seperti tak terurus.
"Tapi bu, kapan? Kei kangen Gerry. Gerry apa kabar ya bu? Dia kangen Kei juga nggak ya?". Tanya nya lagi sambil membalikkan badannya dan menatap mata ibu Ratih.
"Kei. Ibu yakin Gerry juga merasakan apa yang sedang kamu rasakan saat ini, sabar sayang pasti nanti ada waktunya. Sekarang kita makan dulu yuk, mulai dari pagi kamu sampai disini dan sekarang sudah hampir jam 3 sore belum ada makanan apapun yang kamu makan". Ibu Ratih membujuknya.

Dengan langkah yang berat, Kei beranjak dari tempat duduknya dia mengikuti langkah kaki ibu Ratih sambil terus menunduk. Ibu Ratih menggandeng tangannya kearah ruang makan, dimeja makan sudah tertata rapi semua makanan yang sudah dimasak oleh ibu Ratih dan anak-anak panti yang juga menunggu mereka berdua untuk bersama menyantap masakan spesial ibu Ratih khusus dihari itu.
Kei duduk diam sambil memperhatikan semua adik-adik panti yang ada bersamanya duduk manis dimeja makan itu. Sesekali dia melemparkan senyum kearah mereka, semua makan dengan teratur dan tenang. Suasana itu selalu dirindukan olehnya, saat dimana Kei juga berusia seperti mereka melakukan hampir semua aktivitasnya bersama dengan Gerry dan anak panti lainnya tanpa memikirkan apapun yang ada hanya belajar, bermain dan tertawa bersama.

Tak lama usai memandangi mereka, air mata Kei menetes. Anak sungai di pelupuk matanya tak terbendung lagi. Pipinya basah, bibirnya bergetar. Dia mencoba mengendalikan perasaannya sambil sesekali menyeka air matanya dengan kasar memakai punggung tangannya. Makanan yang ada dihadapannya terasa hambar, tak lagi dinikmatinya. Dengan cepat dia melahapnya agar tak terlihat menangis dihadapan adik-adik panti.

Seusai makan bersama, Kei buru-buru pamit dengan semua keluarga panti. Ia meminta izin kepada ibu Ratih untuk kembali ke Jakarta agar tidak terjebak macet karna esok hari Kei harus kembali bekerja. Ibu Ratih dan seluruh anak panti ikut mengantarnya sampai ke halaman panti. Kei dijemput oleh mobil travel langganannya.

"Hati-hati dijalan Kei". Teriak ibu Ratih dari balik kaca mobil dan seluruh anak panti melambaikan tangan kearahnya.
Kei melemparkan senyum kearah mereka dan melambaikan tangannya lalu menutup kaca mobilnya.

Dijalan Kei masih tetap melamun, jiwanya masih tertinggal di panti. Dipasangnya earphone dan diputarnya lagu favoritnya. Sepanjang jalan matanya menatap foto bersama masa kecilnya dengan Gerry, sambil sesekali melihat keluar jendela memperhatikan keadaan jalan.

Kei sampai dengan selamat dan diantar tepat didepan rumahnya. Ia membayar biaya perjalanannya dengan sedikit berlarimemasuki rumah.

"Kei pulang". Sapanya sedikit berteriak
" Eh, anak mama sudah balik". Jawab wanita paruh baya dengan balutan piyama berwarna biru tua yang baru saja keluar dari kamar mandi, tangannya masih sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk. Dia orang tua asuh Kei yang sering dipanggil Tante Bel oleh tetangga sekitarnya.
"Ma. Kei langsung kekamar ya, Kei mau mandi terus istirahat". Jawab Kei dengan wajah lelahnya.
"Kamu nggak makan dulu sayang?" Tanya wanita itu lagi
"Nggak deh ma. Kei cape nggak nafsu makan, oh ya ma papa dimana? Kok nggak keliatan?" mata Kei celingukan mencari satu-satunya lelaki dirumah itu.
"Papa lembur sayang, katanya balik larut malam". Jawabnya lagi sambil sesekali menyisir rambut tebalnya yang masih basah.
"Oh. Iya deh ma, Kei kekamar ya. Selamat malam ma". Kei pamit dan mencium pipi wanita yang sudah membesarkannya itu.
"Selamat malam sayang, mimpi indah ya" balas wanita itu lagi dengan senyum hangat.

Seusai mandi, Kei langsung merebahkan tubuhnya diatas ranjang. Ia menatap langit-langit kamarnya, ada beberapa bola lampu dengan karakter bintang yang bercahaya sengaja ditempelnya untuk menghiasi kamarnya. Ia menatap lama lampu bintang itu sambil membiarkan fikirannya bercabang entah kemana. Matanya masih belum bisa terpejam padahal tubuhnya sudah lelah. Dimatikannya seluruh lampu dan tersisa lampu kamar yang redup, dipaksanya matanya untuk terlelap karna besok dia harus bangun pagi kembali bekerja dan sibuk dengan rutinitas biasanya.

*****

Semusim BerlaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang