11. The One Outside the Frame

839 45 5
                                    

Hari ini panas, jadi Toska tidak merasa perlu mengenakan mantel. Lagi pula ia lebih suka kalau orang-orang memperlakukannya seperti biasa alih-alih kabur begitu melihatnya seakan ia adalah wabah penyakit. Bisa-bisa Angie juga berpikir demikian. Ada topi anyam dan beludu di masing-masing tangannya sekarang. Ia belum beranjak dari foyer karena bingung memilih. Toska hendak memanggil pelayan untuk dimintai pendapat ketika seseorang berseru keras dari atas.

"Boater! Di Utara panas!"

Toska mengangkat wajah ke arah suara. Matanya menyipit melihat anak berusia enam belas tahun, mengenakan celana hitam pendek dan kemeja putih yang dilapisi mantel kelabu, duduk berseluncur di railing tangga putar tanpa takut jatuh. Rambut hitam ikalnya menari di udara ketika ia meloncat turun, mendarat dengan mulus di depan Toska. Anak itu membungkuk dalam-dalam seakan ada penonton tak terlihat yang memberi tepuk tangan.

"Kalau kau jatuh, aku cuma akan tertawa, Lilly," Toska memperingatkan.

"Tapi aku tidak jatuh!" Lilac tergelak. Ia menghampiri Toska dan merangkul lengan kakaknya. Sebelah matanya dikedipkan dengan nakal. "Mau ke Utara bersama Angie, kan?"

"Kak," Toska meralat. Ia melesakkan topi beludru di tangannya ke kepala Lilac dan memakai topi anyam sesuai pilihan Lilac. "Dia lebih tua tiga tahun darimu. Panggil dia Kak. Rasanya aku seperti punya adik lelaki." Ia memegang kedua bahu Lilac dan memutarnya ke kanan dan kiri sambil menggelengkan kepala.

Mungkin karena tumbuh hanya bersama saudara laki-laki, Lilac jadi bertingkah kelelakian. Adiknya itu bahkan memotong rambut hitam ikalnya jadi sependek bahu—Lilac ingin memotong habis, andai tidak takut dimarahi. Kadang-kadang Toska merasa geli melihat bagaimana Lilac berusaha menirunya atau Ash. Mulai dari gaya berpakaian, gaya bicara, juga ikut-ikutan meminjamkan orang lain uang sakunya. Orangtua mereka tidak mencegah yang terakhir karena berpendapat semua anggota keluarga Effendi memang harus terlibat dalam bisnis keluarga, tak peduli jenis kelaminnya.

"Aku menjahitkanmu beberapa gaun, kan?" Toska bertanya. "Nina yang membuatkan. Tak suka?"

"Rasanya aku seperti punya kakak perempuan," Lilac balas mengolok. "Gaunnya bagus, aku suka, tapi dipakai berkebun nanti rusak kena duri mawar. Lalu Kakak akan rewel. Itu kan mahal."

"Siapa suruh memakainya saat berkebun?"

Lilac hanya meringis. Ia berkelit melepaskan diri dan mundur beberapa langkah. Matanya berkilat di bawah bayang-bayang topi. "Kakak mengajak Kak Angie ke Utara?"

"Kenapa tanya-tanya? Mau ikut? Tak usah, ya."

"Siapa juga yang mau ikut orang pacaran? Baik-baiklah kalian, biar aku punya keponakan baru."

Dari kawan-kawannya, gurauan semacam itu hanya akan diabaikan oleh Toska. Namun mendengar dari mulut adiknya membuat Toska jadi gelagapan. "Kami cuma akan menonton kembang api. Kau ini anak gadis tapi pikirannya selalu mesum." Ia menggulung lengan kemeja, menghampiri Lilac yang sudah berlari kabur ke tangga sambil tertawa. Topinya jatuh ke lantai.

"Tidak ada orang mau nonton kembang api sampai menginap di hotel. Mau apa lagi selain rendezvous? Aku tahu semuanya! Hey, aku mendukung Kakak! Aduh, aduh!" Lilac menjerit-jerit saat tertangkap dan dijitak. Ia berusaha meloloskan diri sambil memegangi ubun-ubun. "Jahat sekali!"

"Sakit?" Toska masih mencekal lengan adiknya, mencubit pipi gadis itu main-main. "Kebanyakan baca majalah tak bermutu, otakmu jadi kotor. Cari pacar sana yang bisa kau jahili."

"Semua lelaki takut pada Kakak. Aku bisa apa?"

"Bagus, kan? Aku membantumu menyeleksi lelaki pengecut. Mana terima kasihnya?"

"Daripada terima kasih, aku punya permintaan. Requaesita."

"Apa?"

"Aku mau keponakan perem—"

Toska menjitak kepala Lilac sekali lagi, lalu berjalan turun untuk mengambil kopernya. Terlalu dini membicarakan soal keponakan atau semacamnya. Membuat Angie tidak sungkan padanya saja butuh usaha setengah mati.

Lilac mengusap-usap kepala dengan kedua tangannya. Ia mengejar Toska. Mantel abu-abunya berkelepak di belakang seperti sayap. "Tidak boleh memukul kepala! Bahaya! Kuadukan nanti pada Ibu."

"Adukan saja. Akan kubilang siapa yang mengambil buku-buku porno dari gudang. Biar kau dilempar ke biara. Suster Lilac Effendi! Ha!"

"Kama Sutra itu sastra, bukan pornografi!" Lilac berseru penuh semangat. "Lagi pula semua buku di gudang punya Ayah. Aku cuma merapikannya saja."

"Merapikan sambil membacanya." Toska berhenti di dasar tangga. Ia menoleh heran. "Eh? Dari mana kau tahu buku mana yang kumaksud?"

"Tak hanya itu. Aku juga tahu apa yang Kakak hitung," Lilac berkata pongah, "serta apa yang hendak Kakak lakukan di Utara."

Sekarang barulah Toska berhenti untuk menatap adiknya lebih serius. "Kau membaca catatanku? Dan mengerti isinya?"

Lilac buru-buru naik dua anak tangga agar mudah kabur. "Aku mengerti apa yang ingin Kakak lakukan," ulangnya tenang, "Menurutku kemungkinan suksesnya kecil."

"Jelas saja kemungkinan berhasilnya kecil. Itu kan belum selesai dihitung," sahut Toska heran. Catatannya ia sembunyikan dalam ensiklopedia di ruang baca, tapi hanya sebentar saja sebelum ia pindah ke dalam kamar. Jika Lilac tahu dan sampai membacanya, itu berarti adiknya menghapal tata letak setiap buku di rumah sehingga perubahan sekecil apa pun tampak jelas. Ia menggaruk kepala. "Kau benar-benar mengerti isi catatanku?"

"Jangan meremehkan cuma karena aku perempuan."

Toska tidak pernah meremehkan adiknya. Ia tahu gadis itu lebih cerdas dari siapa pun di rumah ini. "Siapa yang bicara soal gender? Yang membuatku heran cuma karena ... " Toska mengangkat bahu. "Kau tidak berkomentar apa pun. Apa Ibu juga tahu?"

"Entahlah. Yang jelas, aku tidak memberitahu siapa pun. Lagi pula, cuma kebetulan saja aku membaca catatan Kakak. Posisi buku berubah. Ensiklopedia menggembung. Peta di atas rak gulungannya tidak rapi. Karena penasaran, aku mencocokkan semuanya." Lilac menatap Toska dengan wajah sok. "Penonton tak perlu banyak berkomentar."

Itu berarti Lilac tidak akan ikut campur. Toska lebih tenang sekarang. "Kalau ada apa-apa padaku, kau bisa melanjutkan rencananya?"

Lilac menggeleng tegas. "Aku sudah memutuskan untuk tidak terlibat. Pusing."

"Cukup adil."

"Jadi, apa yang ingin Kakak lakukan dengan Pim? Oh ya, ada orang lain lagi yang mengejar dia. Mereka berniat meringkus Pim duluan dan memanfaatkannya untuk menyerang kita." Lilac turun lagi dengan ringan begitu melihat kakaknya tidak marah. Ia berjalan mengelilingi Toska dengan kedua tangan bertaut di punggung. "Kakak pasti tahu siapa orangnya."

Toska mendesah pelan. Ia memang tahu. Ada dua pihak lain yang mengincar Pim selain dirinya. Salah satunya adalah Ash.

"Paing menemui Kak Ash kemarin, membawa berkas dari kejaksaan. Kurasa mereka akan mencari kambing hitam untuk Karkun. Namun kalau Pim ditemukan duluan oleh pihak lain, bukankah rencana kalian akan gagal?"

"Lalu? Apa yang kau inginkan, Lilly? Katamu tak ingin terlibat, kenapa memberitahuku semua ini?"

"Memberitahu apa? Semua yang kusampaikan, Kakak juga sudah tahu." Lilac meringis. "Aku cuma penasaran bagaimana nasib Pim nanti. Lebih cepat bertanya pada Kakak daripada menebak-nebak. Sebab menurut perkiraanku, Kakak akan menemukannya lebih cepat dibanding orang lain."

"Kenapa penasaran dengannya? Dia bukan kasidmu."

"Memang bukan." Lilac mengangkat bahu. "Masalahnya, dia membuat kasid-kasidku resah dengan omong kosongnya. Aku cuma berpikir dia harus dapat hukuman yang pantas, jangan dilepas begitu saja. Berikan padaku. Biar kuurus."

"Ada apa dengan obsesi semua orang pada Pim?" Toska tertawa. Ia meraih koper di lantai dan membawanya pergi keluar. "Yah, aku akan mengecewakanmu," katanya. "Aku ke Utara cuma untuk lihat kembang api."

"Pelit!" Lilac memungut topi beludru hitam yang terjatuh di lantai dan memakainya. "Hati-hatilah, Kak. Aku serius."

***

Cages: The Mafia's BrideWhere stories live. Discover now