BAB III (Part 1)

846 123 12
                                    

Waktu terus bergerak maju. Tidak terasa sudah satu minggu aku dan Dirga mempersiapkan ulang tahun Luna. Itu tandanya satu minggu juga aku dan Gema saling membisu. Sejak Gema meninggalkanku di gazebo taman sekolah pekan lalu, aku semakin tidak respek padanya. Pertama kalinya dalam hidupku merasakan penyesalan yang begitu luar biasa karena harus bertemu dengan cowok seperti Gema.

Pesan dari Gema memenuhi ruang obrolan di Line-ku. Tidak ada satu pun yang kubalas. Bahkan ketika di sekolah, aku coba menghindar sebisa mungkin agar tidak bertemu dengan Gema. Lagipula, selama satu minggu ini para anggota OSIS sedang super sibuk, setidaknya aku aman.

Persiapan ulang tahun Luna sudah sekitar 75 persen. Bang Aksa setuju perpustakaannya kami pinjam untuk merayakan momen bahagia itu. Kue sudah dipesan. Aku pun sudah menyiapkan kado untuk Luna. Hal yang paling membahagiakan adalah aku dan Dirga semakin dekat karena hal ini. Mungkin terdengar sangat aneh, tetapi tidak bisa kupungkiri lagi bahwa aku menyukai Dirga. Ya, aku menyukai sahabatku itu selayaknya perempuan menyukai laki-laki, lebih dari sekadar sahabat. Mungkin bisa dikatakan jatuh cinta.

Bagaimana tidak, Dirga selalu membuatku merasa aman dan nyaman ketika di sampingnya. Hanya dalam sepekan saja bersama dia, aku sudah merasa sangat bahagia. Bukan, perasaan itu muncul bukan sejak seminggu lalu. Perasaan itu ada sejak pertama kali aku mengenal Dirga. Perasaan itu hidup dan semakin tumbuh karena Dirga bisa menjadi orang yang selalu ada untukku. Asal tahu saja, aku masih menganut kepercayaan bahwa kenyamanan bisa menumbuhkan cinta semakin besar.

Ingatanku kembali memutar kejadian selama tujuh hari ke belakang. Terekam jelas bagaimana Dirga begitu sabar menenangkan emosiku saat kesal kepada Gema. Dirga juga sering mengajak makan es krim blueberry kesukaanku. Tentu saja, Dirga juga tidak pernah absen mengajakku mengunjungi perpustakaan mini milik bang Aksa.

"Hayo, daritadi senyam senyum sendiri bayangin apa?" Luna menepuk pundakku, membuyarkan imajinasiku tentang Dirga.

"Luna, hobi kok bikin orang kaget," jawabku kesal.

Luna tertawa lebar. "Lagian kamu pagi-pagi udah bengong terus senyum-senyum sendiri, ngeri 'kan mirip orang gila di dekat komplek rumahku."

Aku mengerucutkan bibir sambil mendorong pelan lengan Luna. Sahabat baikku ini memang hobi sekali membuat orang kesal, tetapi justru itulah yang dirindukan banyak orang. Kejahilan dan sifat periang yang dimiliki Luna membuatnya mampu dengan mudah berbaur dengan siapa saja. Wajar saja kalau dia mempunyai banyak teman, bahkan dari sekolah lain.

"Oh iya Ri, beberapa hari kemarin kak Gema nyariin kamu, tapi kamu selalu udah pulang duluan. Setiap hari buru-buru pulangnya, kamu lagi nggak ada masalah, 'kan?" Luna duduk di sebelahku dengan wajah yang mendadak berubah serius.

Aku terdiam, bingung harus menjawab apa. Kalau aku bilang kemarin-kemarin pergi dengan Dirga, Luna pasti akan bertanya lebih banyak. Aku tidak pandai berbohong, tetapi aku juga tidak mungkin menjelaskan yang sebenarnya. Tidak mungkin 'kan aku bilang sedang menyiapkan kejutan untuk ulang tahunnya. Bukan kejutan namanya kalau diceritakan.

"Ri?" Luna masih menunggu jawabanku denga raut wajah penuh tanya.

"Eh anu, eng‐- enggak ada masalah kok, aku cuma mau pulang lebih cepat aja, lagi sibuk belajar masak sama mama," jawabku dengan sedikit gugup.

Luna menatapku lekat-lekat. Mungkin dia kurang percaya dengan jawabanku. Sebisa mungkin aku bersikap natural, berusaha sekuat tenaga memasang mimik wajah yang meyakinkan. Aku hanya bisa berharap dalam hati, semoga Luna tidak membombardirku dengan banyak pertanyaan lainnya.

"Oh, kukira kamu lagi ada masalah sampai harus timbul tenggelam kayak sinyal gebetan," respons Luna dengan santai.

Aku menghela napas lega. Ternyata memberi kejutan orang lain itu sulit ya. Harus pandai berbohong, harus mahir mengalihkan perhatian, dan segala tetek bengeknya. Sepertinya aku tidak berbakat dalam hal itu. Baru berbohong sedikit saja tadi aku sudah gugup. Beruntung Luna tidak curiga.

"Hai ladies, kalian lagi gosipin aku ya? Jadi orang tampan itu susah ya, di mana-mana ada yang ngomongin." Dirga tiba-tiba muncul dengan senyum sumringah.

"Tampan? Kayaknya om Bams lebih ganteng daripada kamu deh," cibir Luna.

Dirga merengut. Aku dan Luna saling pandang, lalu tertawa terbahak-bahak. Dirga mengalihkan obrolan ke topik lain. Diam-diam aku mencuri pandang ke arah Dirga yang sedang bercerita penuh semangat. Dirga benar-benar tipe pacar idaman. Dia perhatian, ceria, humoris, dan tentu saja menyamankan. Aku tersenyum tipis. Dirga, sepertinya aku mulai menyayangimu, tetapi bukan sebagai sahabat. Tidak apa-apa 'kan?

*****

Aku melangkahkan kaki menuju parkiran motor. Dirga sudah menunggu di sana. Hari ini agenda kami adalah mencari pernak pernik tambahan yang bernuansa Detektif Kindaichi. Agak sulit mencari sepertinya, apalagi aku tidak suka baca komik. Menonton pun aku hanya suka Doraemon. Dirga juga tidak mengenal banyak dunia anime Jepang, tetapi katanya dia sudah mencari berbagai informasi tentang Detektif Kindaichi.

Di kejauhan, lebih tepatnya di koridor dekat lapangan basket, Gema sedang berjalan dengan dua orang temannya. Aku mempercepat langkah dan sebisa mungkin menyembunyikan wajahku agar tidak terlihat oleh Gema. Setengah berlari aku menuju motor Dirga, lalu menyambar helm dan memakainya.

"Kenapa, Ri? Kayak habis dikejar-kejar hantu," tanya Dirga dengan tatapan heran.

Aku langsung duduk di boncengan motor Dirga. "Lebih seram dari hantu, monster, atau apapun yang seram seram. Buruan jalan, yuk!" sahutku cepat.

Dirga hanya menggaruk kepalanya, kemudian memakai helm dan langsung memacu motornya. Di tengah perjalanan, ponselku bergetar. Ada panggilan masuk, nomor tidak dikenal. Aku ragu-ragu untuk menerimanya. Kuputuskan untuk mengabaikan panggilan telepon itu, lagipula tidak akan terdengar kalau kuterima sekarang.

Aku dan Dirga sampai di tempat yang menjual beragam ornamen unik. Sebenarnya di tempat itu tidak tersedia benda-benda yang berkaitan dengan Detektif Kindaichi. Namun, kami dapat memesan sesuai desain yang diinginkan dengan syarat gambar yang dibutuhkan sudah disiapkan oleh pembeli. Hal ini lebih baik, daripada harus memesan lewat toko online karena waktu pengirimannya lebih lama dan diskusinya lebih sulit.

Ponselku bergetar kembali, panggilan dari nomor yang sama. Aku menerima dengan ragu, "Halo, ini siapa ya?"

"Lusa kita diskusi lagi di gazebo sekolah, jadi luangkan waktumu, saya tunggu pulang sekolah, terima kasih dan selamat siang." Hanya kalimat itu yang kudengar di telepon.

Aku berdecak kesal ketika panggilan telepon sudah diakhiri. Tanpa basa-basi, tanpa menyebutkan nama, dan tanpa sapaan. Langsung tancap gas berbicara ke inti masalah, lalu mengakhiri tanpa menunggu jawabanku. Sudah dapat dipastikan siapa yang meneleponku barusan. Siapa lagi kalau bukan Gema.

"Siapa yang telepon?" tanya Dirga, "langsung bete gitu wajahmu."

"Sales kartu kredit, nggak penting," ucapku ketus sambil berlalu.

Anugerah Patah Hati [COMPLETE] ✔Where stories live. Discover now