|8| Refleksi

18.9K 2.3K 35
                                    


|8| Refleksi



"Beneran gak apa-apa kalau nunggu di sini dulu?"

Laga mengangguk yakin.

"Kalau gitu aku ke Dyah dulu."

Setelah itu Laga membiarkan Pesona kembali ke halaman depan untuk membantu Dyah mengajar anak-anak membaca. Sesaat setelah Pesona turun dari undakan tangga menuju ke halaman, Laga lalu memutuskan duduk di kursi yang ada di teras rumah.

Pandangan Laga mengitari setiap sudut yang dapat dijangkau matanya. Menurut Laga suasana di tempat ini sangat nyaman. Bahkan baginya tidak masalah jika harus menunggu Pesona hingga petang. Suara teriakan dan tawa anak-anak itu setidaknya bisa menetralisir lelah Laga setelah seharian mendengar suara keyboard dan mouse yang ditekan. Senyum dan wajah lugu mereka mampu menjernihkan mata Laga setelah lama menyorot layar monitor untuk memperhatikan kode dan angka.

Mengundur janji mereka untuk anak-anak itu sama sekali bukan masalah bagi Laga. Walaupun sebenarnya tadi kedatangannya ke sini hanya untuk menjemput Pesona lalu pergi ke rumah makan yang pesona sebutkan dalam pesan yang ia kirim. Tapi ternyata rencana mereka tidak bisa direalisasikan, karena tiba-tiba salah satu teman Dyah harus pulang untuk memenuhi panggilan dari kantornya. Karena Pesona tidak tega meninggalkan Dyah sendiri, maka jadilah Laga sekarang menunggu Pesona sampai teman Dyah kembali. Hari Minggu memang tidak ramah bagi semua orang.

Tapi sekali lagi ini bukan masalah bagi Laga. Sejak pertama menginjakkan kaki di sini dan disuguhi pemandangan yang... Entahlah, Laga sulit menjelaskannya. Jujur saja ada rasa hangat saat melihat gadis itu tertawa bersama anak-anak. Laga serasa menemukan sisi lain dari gadis itu. Bagaimana Pesona yang lebih sering memasang wajah datar dan judes, bisa berubah jadi hangat dan penuh tawa saat bermain bersama anak-anak.

Pandangan Laga kembali ke halaman depan. Di sana Dyah dan Pesona membantu anak-anak untuk membaca bacaan dari buku yang mereka bagikan. Laga salut dengan kedua gadis itu, di zaman sekarang jarang ada wanita muda yang mau memperhatikan nasib anak-anak jalanan. Ada beberapa tapi tidak banyak, sisanya terlalu sibuk dengan karir atau berpose di depan layar handphone.

"Boleh ikut duduk di sini?"

Laga mempersilahkan saat seorang pria berwajah indo yang mengenakan setelan kemeja dan celana bahan meminta izin duduk di sampingnya. Laga balas tersenyum saat pria itu tersenyum padanya.

"Relawan baru?" Tanya pria itu ramah.

"Bukan," Laga menunjuk Pesona yang masih ada di halaman depan. "Saya. temennya Pesona." sebenarnya Laga bingung harus menjawab apa. Ia dan Pesona tidak terlalu akrab untuk dikatakan teman. Tapi untuk kali ini mungkin tidak masalah jika ia mengatakan kalau mereka berdua Berteman, tidak menutup kemungkinan keesokan harinya mereka akan menjadi teman beneran, bukan?

Pria itu tersenyum penuh arti. "Ouuh, temen yah."

Paham dengan maksud pria itu, Laga buru-buru mengklarifikasi. "Literally, kita benar-benar temen. Bukan kayak yang kamj pikir."

Tertawa renyah pria itu lantas menepuk bahu Laga. "Santai bro. Lebih dari teman juga gak masalah." Pria itu Menatap ke arah Pesona beberapa detik sebelum kembali menatap Laga, dia menghentikan tawanya dan tersenyum tipis pada Laga. "Pesona baik. Kelihatannya aja judes. Tapi aslinya yah kayak yang kau lihat sekarang. Ramah sama anak-anak."

Laga menaikkan sebelah alisnya. Entah kenapa ada rasa aneh saat mendengar ucapan pria ini tentang Pesona. "Kamu kayak kenal banget sama dia." Ujar Laga yang membuat Pria itu kembali tertawa. Laga jadi bingung. Apa yang lucu dari kata-katanya barusan?

"Tenang bro. Kenalin Ganda, tunangannya Dyah." Kata Ganda mengulurkan tangan pada Laga yang dibalas Laga dengan jabat tangan dan senyum canggung. "Dan tenang saya bukan siapa-siapanya Pesona. Dia gak mau temenan sama saya." Sambung cowok itu di sela-sela tawanya.

Refleksi (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang