|10| Refleksi

18.1K 2.2K 95
                                    


|10| Refleksi


Mungkin menjadi hal yang sangat langka melihat Pesona duduk bergabung dengan mahkluk berjenis kelamin laki-laki. Apalagi di waktu matahari sudah tenggelam dan langit dalam keadaan gelap. Tapi sepertinya hari ini adalah pengecualian bagi gadis itu. Melihat mata penuh binar Maya membuat Pesona tidak tega untuk mengajaknya pulang.

Pesona melirik ke arah Raffi yang tengah mengobrol dengan Maya. Tanpa memperdulikan kepala lain yang ikut bergabung di meja ini, mereka berdua asik tenggelam dalam suatu obrolan. Mereka seakan tidak mengizinkan orang lain untuk ikut menyumbang kata dalam percakapan mereka. Bukan dengan kata, tapi keengganan Pesona dan yang lain untuk ikut menimbrung adalah karena keintiman pandangan mata mereka berdua.

Sebenarnya bisa saja Pesona pamit pulang sendiri, dan membiarkan Maya melanjutkan kencannya dengan Raffi. Tapi... Sekali lagi Pesona melirik Raffi kemudian mengembuskan napas panjang. Dia masih belum terlalu percaya dengan pria itu. Ayolah, mereka baru berpacaran kurang dari sebulan. Apalagi mereka masih berstatus 'Pacaran' status ini belum bisa menjamin Raffi tidak akan berbuat yang tidak-tidak pada Maya. Walaupun harus Pesona akui, Raffi termasuk ke dalam salah satu pria berkepribadian baik yang pernah ditemuinya. Tapi tidak ada salahnya untuk berjaga-jaga.

Menghela napas Pesona memilih mengaduk hazelnut latte miliknya. Hari ini untuk pertama kalinya ia meminum dua cangkir hazelnut latte dalam waktu sehari. Biasanya Pesona hanya meminum minuman ini sesekali. Hanya ketika ia sedang meeting dengan penulis atau saat ia mendapat bonus dari novel yang jadi best seller. Kebiasaan menghematnya membuat Pesona jarang mengeluarkan uang untuk membeli minuman yang menurutnya mahal. Tapi berhubung hari ini Maya bertanggung jawab dengan keberadaannya di Caffe ini, maka cangkir ke-dua Hazelnut latte yang ia minum harus dibayar oleh Maya atau Raffi. Terserah saja, siapapun di antara mereka berdua.

"Kenapa, bosan?"

Pertanyaan yang dilontarkan untuknya membuat Pesona terhenyak sejenak. Ia lalu menoleh pada Laga yang baru saja menanyakan hal itu padanya.

Pesona menggeleng. "Nggak. Cuma capek aja." Jawabnya jujur.

Laga tersenyum tipis mendengar jawaban jujur Pesona. "Kerjaan lagi numpuk?"

"Yah, lumayan. Lumayan bikin tulang rontok maksudnya."

Kali ini Laga tertawa kecil, membuat Pesona ikut menarik sudut bibirnya untuk menciptakan satu lengkungan tipis.

"Kayaknya selama kita jadi budak korporat, beban kerja gak bakalan jauh-jauh." Ujar Laga.

"Makanya jadi Bos, biar gak dihimpit beban kerja yang gila-gilaan."

Laga tergelak. "Aku gak bakat jadi bos besar. Mungkin orang-orang bakal bilang aku aneh, tapi yah dari dulu aku emang gak ada niatan jadi bos besar."

Entah kenapa, Pesona terkekeh mendengar ucapan Laga itu. Kok bisa yah?

Laga mengangkat alis. "Kamu setuju kalau aku aneh?"

"Gak kok." Ujar Pesona kalem. Bola matanya berputar menatap langit-langit sebelum berakhir ke Laga. "Mungkin ini kebetulan. Dari dulu aku juga gitu. Malah cita-citaku dari dulu emang kepingin kerja dibalik kubikel. Gak ada niatan juga duduk di singgasana bos."

Laga diam menatap Pesona sejenak, lantas menahan senyum. "Kok samaan. Kebetulan apa jodoh nih?"

Tertawa pelan, Pesona melipat tangan di atas meja. "Takdir mungkin."

"Kalau pekerjaanmu sekarang sama kayak impianmu, terus kenapa kata Maya kamu malah kerja keras dan banting tulang buat cari uang. Bukannya seharusnya santai aja gitu, toh ini impian kamu." Komentar Laga penasaran.

Refleksi (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang