|24| Refleksi

12.2K 1.6K 60
                                    


|24| Refleksi









Hembusan angin sore terasa lebih hangat hari ini, selain karena matahari yang masih memberi sedikit kehangatan di penghujung  hari, langit juga terlihat amat biru jauh dari awan. Beberapa toko kelontong di kawasan perumahan sudah mulai tutup. Padahal baru pukul empat sore dan jalan di sekitar kompleks terlihat sedang ramai-ramainya. Anak-anak yang bermain kelereng atau sekedar bersepeda di sore hari, para ibu muda yang berdiri di sudut mengawasi sang buah hati, juga para lansia yang berjalan pelan untuk relaksasi cukup untuk membuat kompleks perumahan ini jauh dari kata lengang.

Dan, Pesona masih mengamati semua keramaian itu sampai kakinya berada di pintu sebuah rental buku yang juga berfungsi sebagai tempat nongkrong ala-ala cafe. Langkahnya mengekori Lanti yang berjalan di depan. Tempat ini lumayan sepi, jika dibandingkan dengan keramaian di luar, letaknya yang berada di tengah-tengah perumahan mungkin yang membuat cafe ini tidak terlalu ramai. Apalagi bentuk bangunannya yang menyerupai rumah hunian biasa, membuat cafe ini membaur dengan bangunan lain di sekitarnya. Agak tersamarkan.

Padahal jika ditilik dari konsep yang ditawarkan, mestinya Cafe ini ramai. Sayangnya kurangnya minat baca pada anak-anak  mungkin juga jadi salah satu faktor yang membuat tempat ini jadi sepi pengunjung.

Pesona menarik napas panjang saat melihat siapa yang telah menunggu di meja dekat bartender. Ini waktunya untuk menghadapi kenyataan. Oke, Pesona tidak akan menyesali keputusannya mengiyakan permintaan Lanti tadi. Walaupun awalnya, Pesona dibuat terkejut dengan kedatangan Lanti yang tiba-tiba, ditambah permohonan wanita itu untuk mengobrol dengannya, juga dengan pria yang duduk di kursi depan sana. Toh, pada akhirnya mereka juga akan tetap bertemu dan menyelesaikan semuanya.

"Ha-hai, Sona." Sapaan Akbar terdengar amat sangat canggung.

Entah ke mana perginya kepercayaan diri pria itu.

Pesona memilih menjawabnya dengan anggukan pelan sebelum menyusul Lanti untuk ikut duduk. Pesona memilih tempat duduk yang paling jauh dari dua orang itu. Meskipun kenyataannya meja bundar yang mereka tempati sama sekali tidak mampu memangkas jarak.

Akbar mengangkat tangan hendak memanggil pelayan, "Kamu mau pesan apa, Na?" Akbar menatap sebentar daftar menu yang diberikan oleh pelayan sebelum mengangkat dagu, menatap Pesona. "Masih suka Hazelnut Latte? Itu aja yah."

Lagi-lagi Pesona hanya mengangguk, meski sebenarnya dia tidak terlalu suka dengan kenyataan bahwa Akbar masih ingat dengan minuman kesukaannya. Apalagi ia mengucapkannya di hadapan Lanti. Pria itu bertindak seolah-olah ia sangat mengenal Pesona, hal yang sangat Pesona benci karena benar adanya.

Setelah pelayan beranjak dari meja mereka, Lanti yang sedari tadi diam saja terdengar menghembuskan napas berat. Wanita yang biasanya banyak bicara itu terlihat berbeda. Pesona tidak sangsi dengan hal itu, kenyataannya mereka memang sedang tidak berada dalam keadaan baik-baik saja yang memungkinkan untuk mengobrol seperti biasanya.

"Minggu depan, kami akan pindah ke Jakarta." Ucap perempuan itu akhirnya setelah terdiam lama.

"Mas Akbar pindah tugas di sana. Dan aku memutuskan untuk ikut." Lanjutnya.

Pesona tidak tahu harus merespon seperti apa. Dia tidak kaget mendengar mereka akan pindah ke ibu kota. Toh, dari dulu karier Akbar bisa dibilang cemerlang, jadi tidak heran jika dia dipindahkan ke kantor kejaksaan pusat di Jakarta.

Lanti berdeham, "Aku- maksudku kami, ingin menyelesaikan semuanya sebelum pergi."

"Gak ada yang perlu diselesaikan."

Lanti mengernyit, "Kamu sadar, kan Na. Nggak ada kata baik-baik di antara kita setelah kejadian itu."

"Iya."

Refleksi (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang