#2

5.2K 159 2
                                    

Waktu itu, asap mengepul di atas campuran Bihun dan Toge yang dilengkapi bumbu penyedap di atasnya. Kantin tidak pernah sepi pembeli, sekalipun ada beberapa pedagang yang menjual jajanan serupa. Rezeki manusia memang tidak pernah tertukar, kita bisa melihat kebesaran Tuhan hanya melalui tempat sekecil ini.

“Biasa, ya, Mbak?” tanya Mas Imin padaku, aku sedang duduk menunggu sambil lihat-lihat orang yang berlalu lalang di sekitar.

“Ya, Mas. Yang kayak biasa katanya. Pesanan Pak Hasan, katanya Mas Imin sudah tahu seleranya gimana.” aku menyahut.

Jadi, nggak sengaja setelah Mata Pelajaran Penjaskes selesai, aku selonjoran di tangga menuju kelas. Seseorang dari belakang menohok bahuku, oh ternyata dia adalah Pak Hasan, lelaki yang hari ini begitu kucintai. Hari itu aku nggak begitu kenal dia. Aku cuma tahu kalau namanya Hasan. Hasanudin Ridwansyah.  Guru Biologi di sekolah. Pantas nggak kenal, wong aku anak Ips. Dia tanya siapa namaku dan kelas apa.

“Irrana 11 Ips 3, Pak.” kujawab.

“Boleh minta tolong? Tolong pesankan Bakso mas Imin, ya! Bilang aja disuruh pak Hasan. Kayak biasa.”

Siswa mana yang sanggup menolak? Aku terlalu segan untuk sekadar bilang, ‘Aduh, Pak! Beli aja sana ke kantin sendiri. Saya baru selesai olahraga, nih! Capek!’ aku berani taruhan rasanya nggak akan ada yang berani bicara begitu.

“Sudah, Mbak!” Mas Imin menyodorkan mangkuk Mi Won Cap Ayam Jago yang di dalamnya sudah terkandung kuah Bakso dengan segala kenikmatannya.

“Kata Pak Hasan, uangnya nanti, ya.”

“Nje. Rapopo, Mbak.” walau sudah belasan tahun menjadi pedagang paling legendaris di sini, logat daerah asalnya tak pernah padam. Pernah sesekali bicara Bahasa Sunda, tapi kedengarannya jadi aneh.

Dan jadilah aku kurir pengantar Bakso untuk pak Hasan. Mengetuk pintuya langsung dan bertemulah kami dalam satu ruangan yang dipenuhi buku-buku tebal sekaligus patung Tengkorak di samping meja kerjanya.
“Makasih, ya, Irrana.”

Aku hanya senyum kemudian pamit. Setelah dari sana, aku mendapati diriku seperti kerasukan. Entah Roh macam apa yang merasuki diri ini, rasanya aku jadi tidak bisa berpaling dari lelakiitu. Laki-laki yang beraroma sangat lelaki, suara baritonnya mantap di telinga, juga wangi aroma Cokelat yang begitu maskulin menusuk hidungku. Oh no! Bangun Ira!

Harus kuakui, sejak percakapan pertama kami berkat Bakso Mas Imin itu, aku jadi memiliki perhatian khusus untuk Pak Hasan. Dia masih terlalu muda untuk dipanggil duda, kira-kira usianya masih dibawah tiga lima. Tadinya aku nggak begitu tertarik mengikuti perkembangan terbaru dari guru-guru di sekolah. Mulai dari Bu Sukma yang cuti melahirkan, Pak Santos yang pinjam uang Koperasi untuk daftar kuliah anaknya, atau tentang Bu Endah yang  mau umroh. Semua berita itu kudengar dari teman-teman saja, konon katanya dinding pun punya telinga, dia bisa mendengar dan menyapaikannya lewat angin. Aneh. Seolah ruang guru memiliki informan khusus yang ditugaskan untuk menyebarkan semua berita yang ada, semua berembus dengan sendirinya dan begitu kencang. Namun, di antara angin-angin yang sibuk memberi kabar itu, tak satupun dari  mereka yang mengabarkan tentang siapa Pak Hasan. Dia nggak begitu terkenal di sekolah, padahal cukup karismatik jika dibandingkan dengan guru yang lain. Sampai aku harus browsing sendiri untuk mengetahui siapa dia. Untuk pertama kalinya aku membuka web sekolah dan mencari biodata para guru, selanjutnya, kutemukan foto Pak Hasan, aku klik dan muncullah semua profilnya. Termasuk kapan dia ulang tahun sampai nomor handphonenya. Kucatat nomornya dan kusimpan di kontakku . Aku merasa terlalu antusias untuk sesuatu yang tidak normal. Rasanya, ratusan balon hati sedang malayang-layang di kepala, membawa setengah akal sehatku ke langit untuk bersenang-senang ke dalam istana khayalan.

Ah!

Apa artinya ini? Mengapa aku merasa sedang hidup dalam atmosfer baru. Atmosfer bernama Hasan. Guru Biologi yang nggak pernah ngajar di kelas. Haruskah aku pindah ke Ipa? Jika Pak Hasan bisa menguraikan bagaimana Zigot terbentuk, bisa kah dia menjabarkan bagaimana cinta terbentuk? Bagaimana kah bentuk hati yang sedang kasmaran? Bagaimana? Oval? Elips? Atau justru tak berbentuk? Abstrak! Menyebar ke seluruh tubuh hingga memengaruhi otak.

“Terus, udah gitu gimana?” Ayuni semakin membrondongiku dengan ribuan pertanyaan seputar Hasan. Aku jadi semakin semangat  bercerita, dan tentunya sambil senyum-senyum.

“Gimana apanya lagi?” aku mengeluarkan Buku paket Geografi dari dalam Tas, membuka halaman 28 sesuai perintah Sang Ketua kelas. Katanya Bu Meida nggak masuk. Yes!

“Itu gimana Pak Hasan nembak kamunya? Kayak anak Abg gitu nggak sih, Ra? Pakai Cokelat atau Bunga gitu nggak?” Ayuni bicara pelan-pelan.

Aku tertawa. Ayuni kira ini FTV apa? Nggaklah Ayuni, Mas Hasan nggak begitu.

“Jadi gimana?” Ayuni mengulang pertanyaannya, karena tak kunjung mendapat respons dariku.

Jadi, 14 September 2017 dia memanggilku ke ruangannya. Tepat di hari ulang tahunnya ke 33, dia mengungkapkan perasaannya. Perasaan yang bagi dirinya terlalu aneh untuk dirasakan di usianya yang tak lagi bujang.

“Kamu pasti bingung kenapa kamu saya panggil ke sini? Kamu boleh bertanya apa saja pada saya kecuali satu hal.” katanya hari itu.
“Apa itu?”

“Jangan bertanya mengapa saya mencintai kamu. Sungguh, saya tidak pernah berhasil menemukan jawabannya.”

Jika ada puncak keterkejutan manusia paling dahsyat, maka itulah waktunya untukku.

“Bukannya seorang guru memang tidak perlu alasan kenapa dia mencintai muridnya, kan? Bukan begitu?” aku berusaha bersikap seolah apa yang Pak Hasan katakan bukanlah sesuatu yang harus kutanggapi serius.

“Saya mencintai kamu sebagai seorang wanita, bukan sebagai murid!” aku mengernyit kemudian menoleh. Apa bapak sudah gila? Hah? Dasar nggak sopan! Dasar cabul! Rasanya ingin aku berteriak begitu, tapi yang aku lakukan saat itu hanya senyum dan berterima kasih.

“Hahaha ... bapak ini bisa aja. Udah, ah, jangan bercanda terus, Pak! Saya mau ke kelas lagi.”

“Irrana, saya serius!” tatapan tajam matanya membuatku melunak. 

“Saya nggak tahu harus bilang apa.” aku berdiri dari kursiku, sopan santunku sudah hilang dimakan gugup. Suasananya benar-benar nggak nyaman. Sebuah perasaan canggung yang nggak tahu arahnya kemana.
“Maaf jika saya lancang. Maaf jika ungkapan perasaan saya membuat kamu merasa tidak nyaman. Saya nggak akan memaksa kamu menerimanya, saya hanya ingin kamu tahu saja, kalau saya menyukaimu.” ucapnya sebelum aku keluar dari ruangan itu.
Jikalau benar atmosfer lain yang merasuk dalam jiwaku selama ini adalah perasaan cinta, lalu apakah Hasan pemilik cinta itu? Jika iya, bagaimana aku bisa menerimanya?

“Terus terus?” Ayuni makin antusias. Aku sudah sampai pada soal nomor lima, sementara dia belum mengerjakan apa-apa.

“Ya ... hari itu aku sok jual mahal dululah. Lagian kalau lihat mukanya, jadi canggung nggak enak gitu. Keesokan harinya baru deh, aku mendatangi ruangannya lagi. Terus aku bilang mau.” mataku setengah melamun, masih terbawa sensasi pada hari itu.

“Terus?”

“Terus kita jadian.”

“Sampai hari ini?”

“Sampai hari ini!”

“Oh may gaaaadhhh ... keren banget, sih, lo, Raaaaa ... bisa dapetin cowok kayak Pak Hasan. Aaaaaa gue juga mau dong.” begitulah Ayuni, dia selalu heboh dengan caranya sendiri. Matanya yang bulat selalu membuatku takut ditelan hidup-hidup, apalagi kalau dia sedang marah, ingin kucongkel saja rasanya matanya sampai keluar. Pembawaannya yang selalu riang dan nggak takut apa pun, membuat siapa pun betah berlama-lama di dekatnya. Sekilas, kalau dia lagi senyum, mirip seperti Syifa Hadju di film A (Aku, Benci, dan Cinta) tapi cuma sekilas, sih.

“Hari ini dia mau bertemu ibuku.” aku menambah rasa histeris Ayuni.

“Melamar?”

“Ih, bukan!”

Khusus hal yang ini, nggak aku ceritakan pada Ayuni. Jangan dulu. Nanti saja kalau sudah ada hasilnya. Aku masih menunggu lampu Hijau dari ibu.

“Iya, nggak apa-apa.” balas Ayuni pengertian, ketika kukatakan aku nggak bisa menjelaskannya sekarang.

***

Ayla Hitam yang masih cicilan milik Mas Hasan terparkir selamat di halaman rumahku. Sebelum pulang sekolah aku sudah menelfon Mang Uus agar nggak usah jemput. Mas Hasan menjinjing banyak bawaan untuk ibu. Aku bilang, ibu suka Mangga Aromanis, ibu suka Durian setengah mateng, juga suka Martabak Ketan. Maka sore tadi, sebelum bubaran sekolah, kami mencarikan semua kesukaan ibu dengan harapan agar Mas Hasan diberikan tempat di hati ibu, walau hanya setitik.

“Mas ... ” kutahan tangannya sebelum keluar dari Mobil.

“Jangan takut! Kalau nanti ibumu marah, nggak apa-apa. Yang penting saya sudah menunjukkan niat baik saya datang ke sini. Saya nggak mau Kucing-Kucingan terus, Ra. Sudah enam bulan loh kita begini. Lagi pula saya sudah biasa berseteru dengan wali murid. Bukankah kamu juga murid saya?”

“Murid aja, nih?” aku senyum.

“Murid istimewa. Murid yang akan saya nikahi nanti.” dia senyum, senyumnya nular, aku jadi ikutan senyum. Kuaminkan ucapannya dalam hati. Aamiin. Kemudian kami turun, dan bersiap menemui ibu.

Genggaman tanganku menguat kala kaki kami tinggal beberapa langkah lagi menuju pintu. Aku benar-benar takut. Sementara Mas Hasan kulihat tenang-tenang saja, mengetuk pintu, mengucap salam, dan mencium tangan ibu. Aku bisa membaca wajah ibu, dia tampak kaget melihat Mas Hasan datang.

“Ini Mas Hasan, Bu!” aku memperkenalkan, meski dengan perasaan was-was.
Meski nggak begitu terlalu setuju dengan hubungan ini, tapi toh ibu tetap mempersilakan Mas Hasan duduk. Mereka duduk berhadapan dan membiarkanku masuk kamar, tanpa boleh mengetahui apa yang sedang mereka bicarakan. Aku sempat protes, tapi Mas Hasan mengangguk ke arahku, pertanda bahwa aku harus setuju dan yakin semuanya akan baik-baik saja.  Demi lancarnya negosiasi asmara antara Mas Hasan dan ibu, akhirnya aku setuju untuk masuk ke dalam. Merapat pada lemari tinggi pembatas antar ruang tengah dan ruang tamu. Menajamkan pendengaran agar bisa mengetahui apa yang mereka bicarakan. Semoga lancar, ya, Mas! Aku bantu doa dari sini. Semangat!

“Jadi ini yang namanya Hasan?” aku mendengar ibu memulai lebih dulu, membuka percakapan menjelang senja yang hampir temaram.

“Betul, Bu!” meski tegas, tapi dalam pendengaranku yang samar, aku bisa membaca ada getaran di suara Mas Hasan. Dia gugup juga rupanya.

“Sudah berapa lama berhubungan dengan Ira?” ibu menerima bungkusan yang dibawa Mas Hasan, “Oh terima kasih. Maaf merepotkan.” lanjutnya.

“Sudah berjalan enam bulan, Bu.”

“Oh, sudah lumayan lama ya ...” ibu menopangkan kaki kanannya ke atas lutut sebelah kiri.

Mas Hasan senyum.

“Hasan ini katanya duda. Betul?”  ibu bertanya lagi. Aku merasa ibu terlalu to the point, jujur aku takut sekali ketika ibu mulai menyeret-nyeret status perkawinan Mas Hasan.

“Betul, Bu!” jawab Mas Hasan.

Ibu mengangguk-angguk pertanda mengerti. Kemudian ada jeda antara ibu dan Mas Hasan. Semua tenggelam dalam kalutnya masing-masing.

“Ira masih harus sekolah yang tinggi. Dia nggak butuh cinta yang main-main.” sekonyong-konyong ibu melontarkan kalimat yang aneh. Firasatku mengatakan, sinyal buruk akan segera terjadi.

“Saya nggak main-main, Bu. Justru tujuan saya datang kemari adalah untuk meyakinkan ibu mengenai keseriusan hubungan saya dengan Ira.”  balas Mas Hasan mantap. Di balik postur tubuhnya yang tegak dan emosinya yang tenang itu, dia sedang menyimpan ribuan rasa takut. Mas Hasan benar, dia memang sudah terbiasa menghadapi wali murid yang siswanya bermasalah, tapi ibuku bukan wali murid biasa, juga masalah kami bukan masalah biasa.

Akankah Mas Hasan tetap tenang melawan gejolak di dadanya? Hati dan wajahnya tak pernah selaras, dia pandai menutupi apa yang bisa kulihat. Di hadapanku, dia selalu gagal bersandiwara.

“Tentunya sebagai seorang guru, Pak Hasan yang terhormat lebih paham. Untuk saat ini, saya hanya ingin Ira fokus pada studynya saja.”

“Tepat sekali! Saya memahami porsi pendidikan bagi anak se-usia Ira sekarang. Untuk itu, maka izinkan saya agar bisa bersama-sama Ira. Selain kebahagiaan, saya janji akan memberikan pelayanan terbaik untuk pendidikannya. Saya mohon! Izinkan saya membuktikan pada ibu, bahwa saya adalah lelaki yang tepat untuk Ira.” Mas Hasan merapatkan kedua telapak tangannya di dada.

Ibu menatap sinis, “Kamu pikir kamu ini siapa? Kamu pikir saya tidak bisa mengurus pendidikan Ira sendiri?”

“Mohon maaf! Bukan maksud saya menyinggung ibu. Perkenalkan .… ” Mas Hasan menyodorkan tangannya pada ibu,” Nama saya Hasanudin Ridwansyah. Guru Biologi di sekolah Ira. Saya tinggal di perumahan yang tak jauh dari sekolah. Usia 33 tahun. Saya adalah seorang duda. Istri saya meninggal ketika berjuang melahirkan anak kami satu tahun yang lalu. Jika ibu meragukan status perkawinan saya, detik ini juga saya siap mengantarkan ibu bertemu istri saya di tempat peristirahatannya.” suara Mas Hasan kali ini benar-benar menyerupai sosoknya ketika rapat di hadapan para guru. Baritonnya berhasil membungkam ibu sekian detik lamanya. Aku tahu ibu gengsi jika harus mengakui kalau pada akhirnya Mas Hasan memang tidak seperti apa yang dia tuduhkan.

Tapi sampai Mas Hasan selesai bicara, ibu masih belum juga membalas jabat tangannya,  maka untuk itulah aku datang, bergabung ke sana. Rasanya nggak terima melihat lelaki yang kusayangi diperlakukan begitu oleh ibu.
“Apa yang bikin ibu nggak suka dengan Mas Hasan, sih? Kenapa rasanya sulit sekali bagi ibu untuk menerimanya? Kenapa, Bu?” di hadapan ibu, aku meledak sekencang-kencangnya.

Aku paham apa yang ibu rasakan, tapi kita tidak bisa terus-menerus menghakimi keadaan yang sudah lama berlalu, kan? Kalau bapak dulu jahat, bukan berarti ibu berhak menilai semua laki-laki itu sama. Ini namanya nggak adil. Nggak adil untukku. Nggak adil untuk Mas Hasan. Nggak adil untuk seluruh laki-laki baik yang masih tersisa di bumi.

“Harusnya kamu bisa belajar dari kesalahan!” ibu menatap kami bergantian. Mas Hasan masih dengan gelombang emosi yang tak bisa kukenali apa arti diamnya itu. Dia menjadi penonton paling menyedihkan dalam acara perseteruanku dengan ibu.

“Kesalahan siapa? Kesalahan ibu yang memilih bapak? Itu urusan ibu! Itu masa lalu ibu! Kenapa aku harus terlibat?”

“Ira, sudah!” Mas Hasan menengahi kami. Aku dan ibu saling tatap dan berusaha meredam gejolaknya masing-masing.

Ibu membiarkan kami bicara di ruang tamu berdua, sementara dia memilih masuk ke kamar, menenangkan pikirannya.

Aku  masih belum puas mengorek masa lalu ibu, bukan bermaksud menyinggung perasaannya, atau membuka luka lama. Kenangan puluhan tahun itu harus kuungkap lagi agar aku tahu apakah penolakan ibu terhadap Mas Hasan ada kaitannya dengan masa lalunya bersama bapak atau tidak. Sebab beberapa kali aku pernah memergoki ibu menangisi album foto yang di dalamnya ada foto bapak. Ibu selalu tertutup jika ditanya tentang kelanjutan pernikahannya. Apakah mereka bercerai? Ataukah ibu dimadu? Aku nggak pernah tahu dan nggak pernah berani bertanya. Aku terlalu takut jika nantinya ibu terluka.

Terakhir bapak datang ke rumah ini ketika pertama kali aku mau masuk SMP. Bapak memberiku uang dan seragam baru beserta peralatan sekolah lainnya. Bapak selalu datang sebentar dan nggak pernah tidur di rumah ini. Ibu selalu bilang, jika dengan uang ibu saja kami masih bisa bertahan hidup, untuk apa masih mempertanyakan keberadaan bapak. Tapi bukankah fungsi ayah bagi kehidupan anak-anaknya tidak hanya sebagai pemberi nafkah lahir semata? Lebih jauh dari itu melibatkan perasaan. Rasanya ghaib, ketika aku masih terus menerima pemberian darinya, tapi tak bisa menyentuh wajahnya. Dimana dia sekarang? Apa dia masih hidup? Benarkah transferan uang setiap bulan di rekening ibu berasal dari bapak? Lalu kenapa hanya uangnya saja? Kenapa dia tidak pernah mengunjungi kami?

“Ra … ” Mas Hasan memanggil. Kami duduk bersampingan, tentu karena ini bukan di sekolah, aku jadi merasa lebih bebas untuk merebahkan kepalaku di dadanya.

“Mas, kamu pernah mikir nggak, sikap ibu ke kamu kayak gini itu karena ada kaitannya dengan masa lalu?”

“Dengan bapakmu itu?” dia menanggapi.
“Iya. Mungkin ada yang belum tuntas di antara mereka.”

“Udah, lah, Ra. Kasihan kalau kau ungkit terus.”

“Gini loh, Mas. Aku jadi punya pikiran untuk mencari bapak.”

“Untuk apa?”

“Ya untuk menyelesaikan masa lalunya dengan ibu.”

“Ra…” dia membelai rambutku penuh kehangatan. Membuatku ingin berlama-lama ada dalam pelukannya.

“Hm?” aku menggumam.

“Saya nggak mau menyakiti ibu. Dia tampak sedih sekali tadi.”

“Aku juga, aku nggak mau menyakitinya.”

“Apa sebaiknya ….” dia kelihatan ragu dengan kata-katanya. Aku masih menunggu dia merampungkan penggalan kalimat selanjutnya.

“Sebaiknya apa?” kutanya dia karena tak kunjung bicara.

“Apa sebaiknya kita berakhir saja?”
Aku tersentak, dan langsung menoleh padanya.

“Kamu sudah gila, ya?” aku berkomentar.

“Dengarkan saya dulu, Ra. Cinta yang baik nggak akan menyakiti siapa pun, termasuk menyakiti hati seorang ibu.”

“Aku nggak menyakiti ibu. Dia yang menyakiti dirinya sendiri karena tidak pernah memaafkan masa lalunya. Kita hanya korban dari rasa takut ibu terhadap pengalamannya bersama bapak.”

“Apa pun itu, kita tetap harus menghormati keputusannya.”

“Jika kamu lelah, katakan sekarang! Tidak perlu mengkambinghitamkan sikap ibu agar kamu bisa ninggalin aku, Mas!”

“Saya nggak bermaksud untuk meninggalkan kamu. Kamu tahu saya sangat sayang sekali padamu.” dia meraih tanganku.

“Kalau kamu sayang sama aku, maka jangan pernah berpikir untuk pergi.”

Kali ini Mas Hasan diam. Waktu sudah mendekati Magrib. Aku melarang Hasan yang ingin pamit menemui ibu. Kubilang nggak usah. Biar aku saja yang mengantarnya sampai depan.

“Jangan ninggalin aku, ya, Mas!” ucapku sebelum dia pergi.

Mas Hasan cuma senyum, setelah itu masuk ke Mobilnya. Senyum yang begitu Abu-Abu di mataku, senyum yang berarti bisa iya dan bisa juga tidak. Seketika perasaan takut kehilanganya muncul lebih kuat mengalahkan rasa sedih karena melihat ibu menangis.
Benar apa kata Sang Pengarang cerita Bukan Dilan, sulit rasanya mencari seseorang yang bisa kucintai sekaligus disukai ibu. Oh ternyata ada yang lebih berat dari rindu. Yaitu? Restu.
Sang Surya perlahan tenggelam mengantar kepergian Mobil Hasan keluar jauh dari pekarangan rumahku. Hati-hati, Mas! Jangan banyak pikiran. Aku mencintaimu.

Bukan Wanita Kedua [SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now