#4

2.8K 135 2
                                    


Tepat pukul lima sore Mas Hasan mengantarkanku pulang sampai ke depan rumah, tapi nggak ikut turun karena aku melarangnya. Nggak usah ketemu ibu. Aku nggak mau mereka berdebat lagi. Awalnya Mas Hasan memaksa, tapi akhirnya mengalah juga. Dia setuju. Karena memang hari sudah sore.

Ibu mematung di pintu depan. Dia melihat Mobil Mas Hasan berlalu. Aku menenteng barang belanjaan hasil berburu tadi bersamanya. Belanja baju untuk digunakan ke pesta Ulang Tahun Ayuni Minggu nanti.

“Tadi kamu nggak pamit mau pergi sama Hasan?” kata ibu
Menghentikan langkahku.

“Aku nggak pergi sama Mas Hasan aja, Bu. Tadi ada Ayuni sama pacarnya juga.”

“Ra, kamu paham perasaan ibu nggak, sih, Ra?”

“Kenapa lagi, sih, Bu? Kemarin ibu mengeluh karena takut Mas Hasan masih punya istri, tapi kenyataannya dia benar-benar duda, kan? Sekarang apalagi yang ibu takutkan?”
“Ibu takut kamu ketahuan. Ibu takut sekolah mengetahui hubungan kalian. Ibu takut nama kamu jadi korban, Ra.” ibu menyentuh bahuku, suaranya bergetar.

“Ira nggak akan seceroboh itu, Bu. Ibu tenang aja.”

“Ra, ibu merasa ada yang nggak beres dari si Hasan itu. Ibu merasa dia nggak cocok jadi pilihanmu.”

“Ibu tahu apa soal karakter seseorang? Bagaimana mungkin ibu bisa menasehatiku bagaimana cara memilih laki-laki yang baik, sementara ibu sendiri gagal menyelematkan pernikahan ibu dengan bapak!”

Aku capek. Ibu selalu begitu. Selalu menjadikan masa lalu sebagai cermin dari segala galanya.

“Kamu benar. Ibu nggak pantas menasehatimu lagi. Sekarang terserah. Jika Hasan bisa membuatmu bahagia, maka jalani lah!”

Ibu berbicara seperti itu sebelum aku masuk ke kamar. Setetes air mata menjatuhi pipi. Aku nggak bermaksud menyakiti ibu. Aku ingin ibu paham bahwa masa lalunya adalah hak diriku juga. Aku berhak bertemu bapak. Aku nggak mau jadi korban atas luka-luka mereka.

***

Minggu yang kutunggu akhirnya tiba juga. Pagi-pagi sekali Mas Hasan sudah menjemput. Padahal aku belum siap-siap. Alhasil dia harus menunggu di ruang tamu, tentu saja kau tahu bagaimana sikap ibu padanya, kan? Tidak ada air minum tidak ada sapaan. Ibu juga menolak menemuinya. Ah, terserahlah.
Lipstick nude tipis-tipis kuoleskan sedikit, mengukir alis dengan warna hitam, juga taburan bedak di seluruh pipi.

Ah, Perfect.

Sudah.

Aku sudah siap. Gaun panjang menyapu lantai berwarna Abu-Abu dengan kerah tinggi menutup leher, dan sedikit ketat di bagian pinggang. Senada dengan Kameja Mas Hasan yang warnanya sengaja kami samakan.

“Cantik.” ucapnya, ketika aku keluar kamar.

“Makasih.” aku tersipu.

“Berangkat sekarang?”

Aku mengangguk, “Ayo!”

Sudah menunjukkan pukul 08.00 pagi. Acaranya dimulai jam 10. Kalau nggak macet kurang dari dua jam sudah bisa sampai, sih.
“Bu!” aku mengetuk pintu kamarnya.
Ibu menyahut dari dalam tapi tak kunjung membukakan pintu, “Hati-hati. Jangan pulang malam-malam.”

Kami langsung berangkat. Sementara sampai Cibadak, jalanan masih cukup lancar. Ada lagu Yovie N Nuno melengkapi perjalanan ini.

“Selera kamu lagu-lagu ost FTV kayak gini?” aku bertanya. Mas Hasan fokus nyetir.

“Apa aja, sih, selama liriknya cocok.” jawabnya.

Aku akhirnya memilih bungkam. Menikmati intro dari lagu yang sebenarnya aku nggak tahu judulnya apa, tapi terdengar familiar.

Aku akan datang lagi meski ibumu melarang
Kutunjukkan kesungguhan untuk milikku dirimu

Itu adalah lirik pembuka dari lagu ini. Kata Mas Hasan judulnya Sampai Akhir Waktu.
Aku dibuat merenung olehnya. Nggak tahu lagi bagaimana caranya harus menahan air mata agar nggak merusak Mascara.

Jujur, ini kali pertama aku menginjak rumah Ayuni. Karena biasanya yang kutahu hanya kossannya saja. Meski hanya mengikuti arahan Google Maps dan arahan jalan dari Ayuni saja tapi alhamdulillah kami nggak nyasar dan tiba di tujuan dengan selamat.

Tepat sepeti dugaanku. Ayuni orang kaya. Rumahnya benar-benar bukan tandinganku.

“Mas, pulang lagi aja, yuk!” kami baru turun dari Mobil.

“Kenapa?”

“Minder, ih. Orang kaya semua kayaknya yang datang.”

“Kamu selalu menganggap orang lain lebih baik darimu. Percaya diri dong! Kamu kan sahabatnya! Masa mau mengecewakan, sih. Kita kan sudah janji mau datang.”

Kutarik napas dalam-dalam. Aku nggak bisa membayangkan apa yang terjadi di dalam. Pesta ulang tahun saja sudah semewah ini apalagi pesta pernikahan nanti. Beruntung ya, jadi Ayuni. Lengkap harta lengkap kasih sayang. Kadang aku iri. Bukan kadang, tapi setiap hari. Tiap kali Ayuni bercerita bahwa keluarganya seringkali melewatkan waktu bersama tiap bulan untuk jalan-jalan, tentang bapaknya yang penyayang dan seorang Pengusaha sukses. Sementara bapakku? Dia ada dimana?

“Ayo, ah masuk!” Mas Hasan menyeret tanganku.

Benar saja. Begitu pintu terbuka, kami langsung diarahkan oleh Security.

“Sahabat Mbak Ayuni, ya?” Manusia berpostur tubuh tinggi kekar dengan pakaian serba Hitam itu mencocokan wajahku dengan foto pada genggamannya.

“Iya.”

“Mari saya antar!” kami akhirnya memasuki rumah bertingkat itu dengan pengawalan para Security. Acara ulang tahunnya digelar di dekat kolam renang bagian samping rumahnya. Kami hampir telat, tapi syukurlah Ayuni belum mau acaranya dimulai kalau aku belum datang. Banyak sekali yang datang, tapi dari sekolahku cuma aku yang dia undang. Kebanyakan tamu undangan berasal dari rekan kerja orang tuanya, dan teman-teman Ayuni waktu SMP.

Seperti acara ulang tahun anak orang kaya di Tv Tv. Tiup Lilin, Potong Kue, jelas-jelas itu bukan budayaku. Aku nggak pernah melakukannya.

“First Cake nya buat siapa nih?” tanya para tamu undangan. Aku diam saja, setia menggenggam tangan Mas Hasan diantara banyaknya manusia glamour di sini. Aku takut. Aku ingin pulang.

“Karena Papah belum datang, dia masih dalam perjalanan pulang dari Jakarta, Potongan pertama ini mau gue kasih ke Mamah.”

Dan terjadilah tontonan super romantis antara ibu dan anak yang saling menyuapi Kue. Diiringi sorak tepuk tangan orang-orang dan cipika cipiki. Benar-benar ini bukan lingkunganku.

“Selamat, ya, sayang.” ucap Sang Mamah.

“Potongan ke dua, ini buat orang yang berarti banget dalam hidup gue, dia yang selalu ada disaat gue lagi ada masalah. Dia sahabat terbaik gue, Irrana.” Ayuni menyerahkan Kue itu padaku. Tanganku bergetar, canggung menerimanya.

“Kasih kado nya.” bisik Mas Hasan.
Sumpah aku malu sekali. Apakah orang seperti Ayuni masih harus menerima kado? Bukankah dia bisa membeli apa saja yang dia mau? Bagaimana kalau kadoku ini nggak ada harganya di mata keluarga mereka.

“Ra ...” Mas Hasan berbisik lagi.

Akhirnya dengan sangat terpaksa aku menyerahkan bungkusan berwarna Biru Langit itu padanya. Kupeluk Ayuni erat-erat.
“Selamat ulang tahun.” ucapku terharu. Aku sayang sekali pada manusia gila ini.

“Thanks ya. Gue sayang banget sama lo, Ra.” balas Ayuni menitikkan air matanya.

Gantian, setelah aku, kini giliran Markho yang mendapat Kue dan pelukan mesra dari Ayuni.

Setelah acara penuh haru itu selesai, kami dipersilakan mencicipi hidangannya. Aku hanya minum saja. Bingung juga, entah merasa nggak enak hati terus. Ingin pulang terus. Tapi acaranya belum selesai.

“Hai semuanya! Gue mau memperkenalkan satu lagi orang yang paling special dalam hidup gue.” semua mata kini tertuju pada suara Ayuni, termasuk aku.

“Sorry banget karena dia terlambat datang, soalnya baru pulang bisnis gitu. Langsung aja yah, ini dia papah gue!” muncul lelaki ber Jas diapit dua orang berpakaian serupa di sampingnya. Mereka memasuki pintu yang menghubungkan antara ruang tengah dengan area kolam renang.

Semua orang ramai bertepuk tangan. Pria itu tersenyum lebar pada semua tamu undangan. Sementara diriku, memerhatikan dengan sepasang mata yang berkaca-kaca.

PRAAAAKKKK!” gelas dalam genggaman tanganku pecah. Menjadi ribuan keping kaca yang aku tahu pasti tak ternilai harganya.

“Mas, ayo kita pulang!” aku menarik tangan Mas Hasan dan berlari melewati para tamu.

“Ra, mau kemana?” Ayuni mencegahnya.

“Lepas!”

“Ra!” Ayuni mengejar.
Pintu dijaga ketat oleh Security, aku benar-benar nggak bisa berkutik. Ayuni, Mas Hasan, Ibunya Ayuni, dan laki-laki itu mendekatiku.

“Ada apa ya ada apa.” semua orang bertanya hal yang sama.

Aku memberanikan diri menatap wajah lelaki yang berdiri tepat di samping Ayuni.

“Kamu ingat siapa saya? Lima tahun bukan waktu yang terlalu lama untuk melupakan seseorang. Saya masih mengenali kamu.” laki-laki itu balas menatap, kemudian pelan-pelan menitikan air matanya.

“Saya ...” dia berusaha menyentuh tanganku, aku menepisnya.

“Jangan sentuh hidup saya lagi! Saya bukan ibu yang bisa kamu sentuh dan bisa kamu campakkan seenaknya!”

“Ra! Lo ngomong apa sih? Lo kenal soal bokap gue?” Ayuni ikut bersuara.

“Lo tanya aja sama pahlawan lo ini! Dosa apa yang udah dia lakukan di masa lalu!”

“Pah, sekarang papah bilang sama aku, papah kenal Ira dari mana?” sekarang giliran Ayuni yang bertanya.

Lelaki tua itu enggan menjawab, dia masih dengan air mata dan kebisuannya.

“Pah! Jawab aku!”

“Dia bukan laki-laki!” aku mendengus kesal sembari melangkahkan kakiku ke luar. Tapi genggaman tangan seseorang mencegahnya.
“Dia anak, papah!”

Aku tercengang. Tak percaya dia bisa mengakui ini.

Ayuni tercekat. Ibunya pingsan. Para asisten rumah tangga itu membawa ibunya kemudian ke dalam kamar.

“Anak?” Ayuni menegaskan pernyataan Bapak.

“Terima kasih karena masih menganggap saya anak. Benar kata ibu, harusnya saya nggak perlu mencari-cari kamu lagi.” aku melepas genggaman tangannya. Menarik tangan Mas Hasan pergi ke luar.

“Ra ... jangan membuat saya terlihat seperti orang yang nggak berguna, dong! Harusnya kamu cerita sama saya.” ucap Mas Hasan setelah kami tiba di halaman.

“Aku mau pulang!”

“Ra, yang tadi belum selesai.”

“Aku mau pulang!!!”

“Ra ...” Mas Hasan mencoba bicara dan terus bicara.

“Aku mau pulang!!!!!!! Aku nggak mau di sini!!!!! Mereka jahat!!!!!” Mas Hasan menenangkanku melalui pelukannya. Aku menangis di bahu itu. Sekencang yang aku bisa.

“Saya mengerti. Tapi bukan begini cara menyelesaikan masa lalu, Ra.”

Aku nggak mau dengar nasehat apapun dari siapapun. Aku hanya ingin menangis dan terus menangis. Mendamaikan jiwaku. Bahwa benar kata ibu, masa lalu sebaiknya tak perlu dicari-cari lagi, sebab nantinya hanya luka yang akan kau dapat.

“Ira ...” bapak menyusulku ke luar, sudah tentu bersama Ayuni mengekor di belakangnya.

“Dimana rumah kalian sekarang? Ibumu sehat, kan?”

“Papah ngapain, sih?” Ayuni protes.

“Saya nggak butuh bapak lagi!” aku melepas pelukan Mas Hasan.

“Dia ini siapa, Ra? Pacarmu, ya?” tanya bapak sok ramah.

Mas Hasan menyodorkan tangannya, bermaksud bersalaman tapi aku menepisnya.

“Nggak usah kamu merendahkan dirimu di hadapan dia!” ucapku pada Mas Hasan.

“Bapak harus ketemu ibu, Ra!”

Dendam dan rindu bercampur menjadi larutan air mata. Merembes merusak Mascara. Aku ingin memeluk bapak, tapi aku benci melihat kenyataan bahwa hidupnya lebih bahagia dari pada aku. Aku benci bahwa ternyata aku dan ibu nggak bisa menikmati kesuksesan bapak. Aku benci kenapa Tuhan lebih memihak Ayuni.

Jika cinta bisa memilih, ibu pasti memilih untuk tidak melabuhkan hatinya pada bapak.
Ibu pernah mengalami kasus penipuan terbesar dalam hidupnya. Laki-laki yang kupanggil bapak itu ternyata bukan hanya bapakku saja, ada orang yang lebih dulu berhak mengakui bapak sebagai miliknya. Bapak lebih sering menghabiskan hari-harinya di rumah itu, datang kepada kami hanya sesekali. Ibu pernah bercerita, delapan belas tahun ke belakang, ibu bertemu bapak di sebuah pusat perbelanjaan. Saat itu, ibu baru lulus sekolah dan bekerja sebagai Kasir. Bapak tidak hanya hadir sebagai pembeli langganan, tapi juga mendadak jadi tamu yang memenuhi kepala ibu setiap hari. Entah bagaimana detailnya, yang kutahu mereka jatuh cinta. Atau mungkin ibu saja yang cinta, bahwa sesungguhnya bapak hanya melarikan diri dari rumah yang penuh kekacauan dan dari istrinya yang tempramental.

Kalau saja ibu tahu bapak sudah berkeluarga, ibu tidak akan sudi jadi madu kedua. Ibu bukan jenis perempuan seperti itu, aku tahu.
Satu tahun aku lahir, bapak kembali ke rumahnya terdahulu. Bersama istri dan anak-anaknya lagi. Ibu cukup tahu diri. Merasa hanya sebatas istri kedua, ibu membiarkan bapak pulang dan melewati masa kecilku sendirian.

Segala bentuk cacian untuk bapak berubah menjadi tangis yang tak bisa kuredam lagi. Membiarkan air mata merusak Mascaraku, membiarkan bapak melihat betapa rapuhnya aku selama ini.

“Saya rindu kamu, Nak” tak kuasa aku menolak pelukan itu. Kusambut dengan penuh suka cita. Kurasakan lagi apa yang dulu hilang itu. Seketika kurasakan hangat merasuk ke dalam jiwa.

“Kenapa bapak nggak pernah datang ke rumah lagi?” tanyaku akhirnya.

“Papah nggak akan pernah datang ke rumah lo lagi!” Ayuni menarik paksa bapak dari dekapanku.

“Gue nggak akan membiarkan lo merebut papah lagi.” bentak Ayuni.

“Dia juga anak papah! Kamu nggak pantas bicara begitu padanya.” ucap bapak pada Ayuni.

“Dia memang pantas diperlakukan seperti itu! Harusnya lo dan nyokap lo tahu diri, wajar bila suatu hari nanti selingkuhan akan ditinggalkan, dan papah memilih kembali sama keluarga gue lagi. Ketika mamah sedang mengandung gue, papah ninggalin kami demi menikah dengan nyokap lo! Kalau harus ada pihak yang paling menderita, itu harusnya gue! Bukan lo! Dasar wanita penggoda!”

PLAAAAK!!!!" lima jari mendarat keras di pipi Ayuni. Mas Hasan menatap tajam ke arahnya. Bapak tak melakukan perlawanan, aku terkejut.

“Saya memang tidak boleh ikut campur dalam urusan keluarga seperti ini, tapi jika ada orang yang melukai hati Ira, maka itu akan jadi urusan saya!”

Ayuni meringis kesakitan dan langsung berlari masuk ke rumah. Kilatan amarah masih berkobar di matanya. Pesta ulang tahunnya jadi kacau balau. Para tamu menonton kami bagaikan Ftv di siang bolong.

“Ayo kita pulang!” Mas Hasan menyeretku masuk ke mobil, sementara dia memilih menemui bapak.

Jelas aku penasaran dengan apa yang mereka katakan, maka aku mengabaikan perintah Mas Hasan untuk masuk, dan memilih berdiri tak jauh dari tempat mereka bicara. Suaranya masih bisa tertangkap telinga. Syukurlah.
Dalam pendengaranku yang samar, kira-kira ini yang Mas Hasan katakan.

Dengan santun dia menyalami bapak, “Tanpa mengurangi rasa hormat saya, terlepas dari masalah yang terjadi, saya harus tetap menghormati bapak sebagai orang tua Ira. Jika bapak tidak bisa mempertanggung jawabkan kesedihan Ira selama belasan tahun ke belakang, ada baiknya bapak tidak perlu menyentuh dunianya lagi. Selama ini, saya melihat ibu dan Ira baik-baik saja. Saya nggak suka melihat Ira menangis. Saya pacarnya, mohon izin agar saya bisa melindungi dia dari apapun yang membuatnya bersedih.”
Setelah itu dia pamit. Kita masuk Mobil bersamaan.

Aku memilih memejamkan mata dan menghabiskan perjalanan dengan diam.

“Saya nggak suka kalau ada orang yang nyakitin kamu.” ucapnya serius.

“Kamu nggak pernah nyakitin aku, makanya aku suka sama kamu.” ucapku sambil terpejam.

“Saya serius, Ira! Ibu kamu benar, bahwa ada masa lalu yang nggak perlu dicari tahu kebenarannya, agar kita tidak terluka semakin dalam.”

Ragaku kini mulai menjauh dari tempat itu. Tapi hatiku masih terpatri di sana. Di tubuh bapak. Ingin rasanya membawa dia kembali ke rumah, tapi aku mengerti siapa aku.

“Ayuni selalu menang.” ucapku lirih, bersamaan dengan jatuhnya air mata ini.

Bukan Wanita Kedua [SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now