#19

2K 121 5
                                    

"Mas, kok bengong! Ayu duduk! Kita mulai acaranya." suara Genta menghancurkan nuansa nostalgia antara aku dan dia. Aku, ibu, dan dirinya, menjadi canggung dalam satu ruang yanh menyesakkan dada.

Bagaimana bisa? Bagaimana bisa acara ini aku lanjutkan.

Katakan padaku, kenapa aku harus melanjutkannya, sementara cinta yang kumau kini sudah ada di depan mataku.

"Saya, mewakili... Bapak yang berhalangan hadir, datang ke sini untuk...."

Ibu terus menunduk. Nggak kuasa harus bertatapan dengan orang yang sudah membuat putrinya seperti orang gila ketika kehilangan dia. Laki-laki itu begitu terbata-bata saat bicara.

"Melamarkan Irrana untuk Genta!" lanjutnya tegas.

Aku memaksakan diri untuk berani menatap mata itu. Meredam tangis agar nggak meledak. Genggaman tanganku pada Indri menguat. Aku butuh kekuatan untuk meredam semuanya.

Untuk Genta katamu? Kenapa tidak untuk dirimu saja? Kenapaaaa kenapaaaaa.....

"Tari pasti kaget ya. Karena ternyata suami Mbak Widia adalah Pak Hasan, guru kita di SMA."

Iya Genta. Aku sanget kaget. Terima kasih kejutannya. Dia bukan cuma guru, tapi juga.... masa lalu yang belum bisa kulupakan itu.

"Semua keputusan ada pada Ira. Saya menyerahkan semuanya pada Ira." ucap ibu padaku.

Aku semakin merasa terpojokkan karena ibu bicara begitu. Tapi aku juga bisa mengerti kenapa ibu melakukannya. Ibu pasti sama sakit hatinya denganku.

"Kalau teteh nggak mau, ditolak aja. Dari pada nyiksa diri sendiri. Jangan bohongin hati teh." Indri berbisik di telinga. Anak kecil ini tahu apa? Tapi apa yang dia bicarakan memang benar adanya. Aku nggak mau membohongi hatiku lagi.

Aku harus...

"Aku nggak bisa menerima lamaran orang lain disaat hatiku masih tertinggal di masa lalu!" ucapku tegas. Menatap ke arah laki-laki yang bicara tadi.

"Kalau nggak bisa hari ini nggak apa-apa. Genta akan nunggu sampai Tari benar-benar siap menerima Genta." ucap Genta gemetar. Dia kelihatan sedih sekali.

"Ya, sudah, kalau begitu. Kita pulang aja." jelas dari kalimat yang ini, aku tahu ibunya Genta sangat merasa tersinggung. Dia memilih keluar meninggalkan rumah. Disusul oleh Mbak Widia. Genta kemudian minta maaf.

"Kalian pulang pakai grab aja ya. Mobilnya masih harus dibawa ke bengkel." ucap suami Mbak Widia.

Mereka setuju. Tak lama setelah pesanan grab datang, laki-laki itu menghampiri ibu. Bersujud di kakinya. Aku minta Indri untuk masuk ke kamar.

"Saya minta maaf,"

"PLAAAAK!" tamparan keras mendarat di pipi Hasan.

"Dari awal saya sudah menduga bahwa kamu ini brengsek! Jangan dekati anak saya lagi!" ibu menarik tanganku masuk, aku bergeming. Aku mau bicara dengan Mas Hasan.

"Masuk!" ibu mengunci kamar dari luar. Sementara aku berteriak dari dalam minta dibuka.

Air mata sudah tak bisa terelakan lagi.

"Ibu... aku mau ketemu Mas Hasan!"

"Bu..."

"Ibu..."

Tapi tak ada tanggapan apa-apa. Aku menghabiskan waktu untuk menangis di dalam kamar. Sampai aku tertidur.

Seharian aku terkurung, aku mendengar tangisan ibu di balik pintu. Dia membawakan makanan.

"Ibu... Ira mau ketemu, Mas Hasan!"

"Dia sudah punya istri! Jangan ganggu hidup dia lagi!"

"Justru itu. Ira harus tahu kenapa dia bisa punya istri, Ira harus tahu kenapa dia ninggalin Ira. Buu... Ira sayang sama Mas Hasan."

Ibu nggak bicara apa-apa. Dia meninggalkanku bersama masakannya. Membiarkan pintu terbuka.

Aku harus pergi. Aku harus ketemu Mas Hasan.

Tapi gimana caranya.

Kemudian, ponselku bergetar. Menampilkan nomor tanpa nama yang pernah menelponku ketika di Lawang Sewu bersama Genta.

"Hallo!"

"Temui saya di kossan Ayuni."

Panggilan terputus ketika ingin kutanya siapa dia. Tapi apakah penting untuk mengetahui siapa dia? Dari suaranya, aku percaya itu suara Mas Hasan.

"Mau kemana?" ibu menahan langkahku.

"Ketemu Ayuni."

Ibu percaya.

Aku menemui Ayuni di kosannya.

Benar.

Ada Mas Hasan dan Ayuni di sana. Sedang duduk di luar.

"Ra..." Ayuni memelukku. Kemudian masuk ke dalam. Meninggalkan kami di luar berdua.

"Maaf kalau saya menghambat hubungan kamu dengan Genta. Seperti yang sudah saya katakan di surat itu, bahwa saya mohon supaya kita tidak saling mengganggu kehidupan satu sama lain. Jangan pikirkan saya lagi, Ra. Genta anak yang baik."

Aku menatap kosong ke arah suara itu. Kok gampang banget ya dia ngomong?

Lupain
Lupain
Lupain

Jika proses melupakan masa lalu adalah sederhana, tentu tidak akan ada luka yang bertahan terlalu lama.

"Jelasin sama aku kenapa kamu pergi?"

Mas Hasan menghela napas dalam-dalam.

"Setelah mengantarkan kamu pulang dari acara ulang tahun Ayuni, saya mendapat telfon dari Pak Sri, ayahnya Genta. Dia guru saya waktu belajar Hidroponik, dulu. Dia bilang lagi sakit, dia takut usianya tak bertahan lama karena sering sakit-sakitan. Sementara anak sulungnya masih belum menikah. Dia menjodohkan saya, karena merasa saya adalah laki-laki yang pantas untuk Widia."

"Jadi kamu menukar cinta hanya untuk ucapan terima kasih? Gimana caranya kamu bisa hidup dengan wanita yang tidak kamu cintai, Mas?"

"Maafin saya. Saya nggak bisa menolaknya. Dia guru saya. Berkat dia, saya bisa membuka usaha saya sendiri."

"Kamu jahat!"

"Saya harus pergi. Widia hamil. Dia sangat ingin ditemani." aku manarik tangannya.

"Nggak, bisa! Kamu nggak bisa ninggalin aku!"

"Ira, tolong memgerti. Mari kita buka lembaran hidup yang baru."

Kutampar dia, "Hidup yang baru bagaimana? Hm? Disaat aku sudah kehilangan harapan untuk melanjutkan hidup karenamu, lalu sekarang dengan gampangnya kamu nyuruh aku untuk membuka lembaran baru?"

Mas Hasan tak merespons. Dia menepis tanganku dan benar-benar pergi.

"Gimana pun caranya, kamu harus nikahin aku!" bisikku dalam hati.

Bukan Wanita Kedua [SUDAH TERBIT]حيث تعيش القصص. اكتشف الآن