PART 10

10.3K 800 57
                                    

Seperti proses cuci darah yang sudah-sudah. Jeno terbaring dengan selang-selang yang terhubung dengan akses hemodiliasis di lengannya. Seorang perawat dengan hati-hati memasangkan selang-selang kecil itu, mengatur mesin dan sebagainya. Mesin ON. Darah Jeno mulai mengaliri selang, naik ke atas, berputar dalam mesin.

"Makasih, Sus," ucap Joan.

Perawat itu tersenyum. "Saya tinggal dulu, ya," katanya ramah sebelum keluar dari ruangan.

Joan menggeser kursi di samping ranjang. Duduk di sana. Menatap selang-selang yang dialiri darah. Berputar dalam mesin.

"Lo pulang aja deh, Jo. Kemaren juga lo bosen, kan nunggunya?"

"Siapa bilang gue bosen," Joan langsung menyahut.

Jeno menghela napas. Tidak ada yang bilang sih. Hanya ... proses cuci darahkan lama. Bisa sampai 5 jam. Kemarin untuk pertama kalinya Joan menemani. Jeno yang tertidur selama cuci darah. Sesekali terbangun dan melihat Joan yang duduk sambil terkantuk-kantuk.

"Lo udah pernah berapa kali cuci darah?" tanya Joan, memecah suasana hening yang hanya didominasi suara bising mesin hemodialisis.

Jeno menatap ke atas, mengingat. "Berapa kali, ya? Dua puluh kali? Ya, kurang lebih kayaknya. Lupa gue, gak pernah itung."

"Sering absen?"

"Sering lah. Pernah sampe 3 bulan gue sama sekali gak ke rumah sakit sampe  gue drop parah terus dokternya marah-marah, dia bilang, 'kamu 3 bulan lagi gini-gini terus, mati kamu!' Gila tuh dokter nyumpahin gue mati." Jeno tertawa sendiri mengingat ekspresi dokter paruh baya yang dulu mengomelinya habis-habisan itu.

"Kalo sekarang lo kayak gitu. Gue yang bakal marah-marah," kata Joan dengan nada sungguh-sungguh.

Jeno mengulum bibir kemudian terkekeh.

"Gue pasti bakal banyak nyusahin lo, Jo. Nguras duit lo." Lagi-lagi, jadi merasa tak enak hati. Belum sebulan bertemu, Jeno sudah banyak menyusahkan Joan, terutama masalah uang.

Joan menyipitkan mata. "Apa, sih? Lo kira duit gue buat siapa kalo bukan buat lo," ucapnya dengan nada kesal, engah mendengar perkataan itu terus.

Jeno nyengir. Dan lagi-lagi, merasa terenyuh mendengarnya. Jadi pengen beli ferary pake duit Joan, ehe.

--

"Pada nanyain lo masa." Abi berucap sembari melahap spaghetti. Selasa siang lelaki itu kembali dari rumahnya dan langsung mengungsi ke kamar Jeno yang kebetulan Jeno baru pulang dari Lee's membawa spaghetti titipan Joan yang spesial dimasak untuk Abi.

"Pada kangen ya sama gue?" ucap Jeno percaya diri.

Abi berdecak. "Iyee!!" sahutnya sebal. Ingin menyangkal, tapi kenyataannya memang begitu. Hampir seluruh anggota keluarganya menanyakan, 'kenapa Abi tak datang bersama Jeno?'. Baru banget dateng yang ditanyain Jeno!

Jeno terkekeh renyah. "Emang ngangenin sih gue," katanya, pede gila.

"Cihh, najis." Abi memutar bola mata.

"Dih, sirik lo. Jadi, selametan bayinya Dama kapan?" tanya Jeno kemudian.

"Lusa, lo harus ikut."

Keluarga Abi juga mewanti-wanti agar Jeno lusa ikut. Katanya si ibu akan buat banyak lemper ketan spesial, kesukaan Jeno dengan isian yang lebih beragam dan tentu saja lebih enak.

"Pastilah. Gue juga kangen ke rumah lo."

Abi menghentikan kunyahannya. Melirik Jeno yang fokus memainkan handphone.
Rumah Abi satu perumahan dengan rumah Jeno yang dulu. Setiap kali Abi melewati rumah dua tingkat itu. Selalu ada rasa sesak saat teringat dulu. Dia sering main di sana, tertawa di sana, semua kenangan bahagia tercipta di sana. Jeno pasti merasakan lebih dari yang Abi rasakan, makanya selama ini biasanya dia selalu menolak setiap kali Abi mengajaknya untuk ikut pulang ke rumah. Jeno selalu menolak dengan segala alasan, tapi Abi tahu alasan yang sebenarnya, terlihat jelas dari manik mata Jeno yang tak akan berani menatap saat menolak ajakannya.

He's Jeanno (Selesai) Where stories live. Discover now