Pintar menasehati orang. Pintar menenangkan orang. Pintar meyakinkan orang. Pintar membuat orang merasa lebih baik. Tapi ... tak pintar menasehati diri sendiri. Susah rasanya menenangkan diri. Sering ragu dan malah membuat makin frustasi. Dan saat diri kacau, kadang tak juga bisa membuatnya merasa lebih baik. Ada orang seperti itu? Ada.-
Suara deru halus tapi menggeram perlahan menjauh meninggalkan sunyi di halaman. Membuatnya menyatu dengan deru-deru lain di jalanan. Inilah kebebasan, yang tak bisa lagi dipungkiri. Iya, dia rindukan.
Sejak kepulangannya dari rumah sakit, nyatanya semua sama saja.
Merasa semakin lelah, dengan pusing yang selalu mendera, tubuh tak berdaya, dan melihat orang-orang yang mengorbankan waktu untuk mengurus dirinya.
Merasa diri semakin tak berguna.
-
"Woah, siapa, nih? Gile-gile, ke mana aja lo?"
Terhalang meja bar, Yongki memberikan tos rindu pada salah satu teman terngeheknya itu.
"Dari dulu rambut lo gak rubah, anjir. Warna lain napa."
Yongki mengusap rambutnya yang berwarna pirang. Terkekeh.
"Males gue ganti-ganti. Lagi mentok udah, rambut gue rusak," sahutnya.
"Nah'kan, bener si kampret satu. Apa kabar lo? Sombong bener gak pernah mampir."
Jeno kembali menerima tos rindu dari orang yang baru menghampirinya itu, sama-sama ada di balik meja bar. Andrew atau yang biasa disapa Dew, si bartender, sohib Yongki.
"Sibuk gue." Jeno terkekeh lebar.
"Ya'elah, sok sibuk lau." Dew mendelik.
"Eh, ngomong-ngomong lo berantem ya sama si Abi??? Ke sini gak pernah barengan, kek pasangan lama di ambang perceraian," ucap Dew yang diangguki oleh Yongki.
"Cara ngomong lo gak pernah berubah, ya, masih resek!" sahut Jeno.
Dew tertawa. "Jawab dulu napa. Lo berdua beneran berantem?"
"Kagak elah. Jadwal kitanya aja yang beda." Jeno duduk nyaman di kursi putar bar.
"Nih, mix kesukaan lo." Yongki menyodorkan gelas bulat lebar berukuran sedang berisi minuman berwarna kecoklatan dengan es batu kotak dan irisan lemon di dalamnya.
"E'Bangsat! Gue ke sini bukan mau mabok." Jeno melirik sekilas gelas itu.
"Anggap aja ini salam penyambutan dari gue, gratis dah, atau lo mau yang lain? Bilang aja, gue kasih gratis."
Minuman yang perbotolnya bisa seharga jutaan ditawarkan gratis. Godaan setan.
"Heh! Dikira klub punya bapak lo," ucap Jeno.
"Ya kagak apa-apa, gue yang bayar," kata Yongki.
Dew mengangguk. "Gue ikut bayarin juga deh," tambahnya.
"Baek banget lo pada, tumbenan."
"Kapan lagi lo ke sini. Manusia sok sibuk, anjir!" Dew melirik dengan ujung mata.
"Ah, bangsat, nih! Gue pengen ngobrol, tapi banyak banget manusia." Dew berlalu, kembali melayani orang-orang yang datang, memesan minuman.
Ngomong-ngomong, ini mereka ngeluarin suara pake urat karena suara musik edm terputar dengan nyaring.
"Pada nanyain lo, Je, sama si Abi. Katanya, kok gak pernah maen, kangen digoyang sama lo pada."
Jeno menatap sekeliling. Cahaya remang- remang dan musik keras. Orang-orang terlihat begitu menikmatinya. Tempat ini memang selalu hanya diisi dengan tawa. Pertunjukan utama belom dimulai karena klub baru saja buka. Biasanya puncak rame itu tengah malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
He's Jeanno (Selesai)
General Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** "JE-JE, JEN, JENO, ANJIR, JANGAN KENCENGAN!!" Teriakan dan suara tawa menggema di parkiran supermarket yang sepi. Hanya ada seorang pria berjas abu-abu yang hendak menyalakan mesin mobil, tapi urung saat mend...