PART 44

5.7K 613 49
                                    

"Lusuh banget, sih, lo. Mandi sana."

Tak menghiraukan ucapan Joan. Jeno malah merubah posisinya yang semula terlentang jadi tengkurap.

"Je, ya'elah, mandi sana. Di Bandung kemaren, lo gak mandi-mandi."

"Bodo amat, gue wangi," Jeno menyahut dengan suara menggumam. Tak bergairah sama sekali. Lagian, dia lagi mager sedang tak ingin diusik.

Joan meliriknya. Menghela napas.

Mereka baru pulang setelah lima hari menginap di Bandung. Akhirnya Joan menyetujui jalan tengah. Oma dan saudara-saudaranya yang di Manado terbang ke Bandung, ke rumah sang ayah. Dan Joan membawa Jeno, menemui mereka di sana. Kali pertama Jeno dipertemukan dengan Oma dan 3 saudara ayahnya dengan anggota keluarga mereka masing-masing. Habis Jeno dipeluk sana-sini, dicubit-cubit seperti bocah kecil. Semuanya berkata ... Jeno tumbuh persis sekali seperti ibunya. Jiplakan sempurna dari Reyne, sementara Joan setengah-setengah. Saham Reyne 50  dan Jonathan 50.

Tentang Oma, ternyata dia tak setua yang Jeno pikir. Wanita 80 Tahunan itu masih terlihat muda dan bugar dengan potongan rambut pendeknya yang berwarna hitam legam terlihat rutin diwarnai dan dirawat di salon. Dari hawa-hawanya, bisa dirasa, omanya itu bukan orang sembarang. Yang Jeno tahu, keluarga ayahnya memang keluarga terpandang. Entah punya usaha atau perusahaan apa, Jeno tak paham, dan tak terlalu peduli juga.

Awalnya Jeno canggung, hanya memandang mereka dengan senyum tipis. Oma yang pertama mendekati dengan langkah perlahan dan ekspresi wajah yang tak bisa dijelaskan. Yang pasti setelah menangkup wajah Jeno dengan tangan keriputnya, air matanya menetes satu per satu yang kemudian jadi deras setelah memeluk tubuh Jeno erat. Tak ada yang tak mengucapkan kata maaf. Telinga Jeno rasanya sudah bosan  mendengar kata maaf seharian itu. Jeno tidak pernah merasa harus menerima ucapan maaf. Yang lalu, yaa, sudah berlalu. Jeno tidak pernah memikirkannya. Tapi tetap saja. Mereka terus meminta maaf. Rasanya ingin sekali Jeno buat spanduk.

APA PUN KESALAHAN KALIAN.
KALIAN SEMUA, SAYA MAAFKAN!!!

Agar tidak ada lagi kata maaf dengan suara penuh rasa bersalah yang masuk ke telinganya.

Sehari sebelum Jeno pulang. Oma dan keluarganya yang lain, lebih dulu harus pulang ke Manado dengan berat hati. Belum puas Oma melihat cucunya yang tak pernah dia lihat pertumbuhannya selama 19 tahun lebih itu. Tante dan omnya mengajak Jeno untuk ikut ke sana, tapi dengan senyuman, tentu Jeno menolak, berdalih mungkin suatu saat nanti dia akan ikut bersama yang lain. Sebelum pulang ke Manado. Mereka mengajak Jeno ke gereja. Untuk pertama kalinya lagi, Jeno menapakkan kaki di rumah tuhannya setelah Ellen dan Kiel pergi.

Jeno memakai setelan jas casual. Jasnya berwarna abu-abu tua yang melapisi kemeja putih. Omanya yang membelikan setelan itu, jauh-jauh hari sebelum kepergiannya ke Bandung. Air matanya menetes lagi, melihat sang cucu memakai setelan jas yang baru sempat dia belikan untuk pertama kalinya. Cucunya itu terlihat tampan. Sangat tampan.

Selama proses do'a, tangan Jeno tak lepas digenggam Oma dan omnya, Jodi, adik dari Jonathan. Oh, ya. Saudara ayahnya ada tiga. Jeva, kakak sulung, Javin, adik pertama, dan Jodi, adik bungsu. Ayahnya sendiri merupakan putra kedua. Semua anak Oma itu laki-laki, tapi cucu-cucunya kebanyakan wanita. Hanya Jonathan yang memiliki anak laki-laki. Dan hanya Om Jeva yang sudah punya cucu, tapi tak dibawa ke Bandung karena masih bayi. Makanya Jeno disuruh ke sana, katanya tak mau tahu harus mengecup langsung pipi chubby Baby Milly, keponakan pertamanya.

Pulang dari gereja mereka berfoto bersama di rumah. Lengkap, bersama Jonathan, Joan, Tyana, Leo, Zara, dan Lucky yang masih menggunakan tongkat kruk untuk berjalan. Jonathan menyewa langsung fotografer profesional agar hasilnya paripurna. Ini foto keluarga pertama mereka bersama Jeno. Jonathan akan mengganti foto-foto keluarga yang terpajang dengan foto yang baru ini. Sekarang putranya lengkap.

He's Jeanno (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang