"Dahh, Kak Jeee!!!"
Jeno melambaikan tangannya, membalas lambaian tangan Zara yang menongol dari jendela mobil. Lalu matanya melirik Jonathan yang duduk di depan, di samping Joan yang mengemudi. Jeno tersenyum sembari menganggukan kepala pelan.
Setelah Mobil melaju meninggalkan kawasan kosan. Jeno berbalik, melangkah menuju pintu kamar.
... TIDDDD ...
"GOBLOKK!!! Paan, sih, Bi?! Kaget gue!"
Abi membuka helmnya. Memperlihatkan cengiran lebar.
"Yang abis temu kangen keluarga. Cieee ... gimana, nih?" tanyanya setelah turun dari motor, menghampiri Jeno yang berdiri, masih beberapa langkah lagi menuju teras kosan. Jeno tak menghiraukan pertanyaan Abi, hanya mendengus, lalu melanjutkan langkahnya. Merogoh kunci kamar, memasukannya pada lubang knop pintu.
"Ya anjir, gue tidak dihiraukan."
Abi mengikuti Jeno yang masuk ke dalam kamar begitu saja, tanpa menghiraukan Abi. Dia menjatuhkan tubuh ke atas ranjang, tanpa melirik Abi sedikit pun. Setelah berbaring Jeno malah membuka handphone dan sekarang terfokus pada benda persegi panjang itu.
"Nyokap tiri lo jahat, ya? Atau sodara-sodara lo pada rese? Ah, bokap lo galak?"
Abi berdecak. Tidak juga mendapat respon.
"Lo sih yang rese!" katanya lama-lama jadi kesal. Abi beringsut menyalakan televisi, menyambungkan kabel PS pada LCD ukuran sedang itu. Mendingan main PS.
"Lo abis dari mana?" Setelah beberapa lama, Jeno baru bersuara. Bukan menjawab ke kepoan Abi tadi, malah bertanya.
"Maenlah," Abi menyahut seadanya. Fokusnya sedang tidak ingin terbagi. Setengah pundung.
"Gue kangen Mama-Papa, dah, Bi."
Tapi suara lirih yang terdengar. Membuat Abi kemudian menekan tombol pause secara refleks. Menoleh ke arah Jeno yang berbaring menyamping, sok menatap handphone yang Abi yakini hanya menampilkan menu yang digeser-geser saja.
"Udahlah, Je. Mau lo kangenin sampe gimana juga udah gak bisa ditemuin. Mending lo doain aja kalau kangen. Jangan lo galauin gini."
"Lo gak ngerti, sih, Bi!"
Abi menghela napas. "Lo mau ke makamnya sekarang? Ayok, gue temenin," ajak Abi beneran.
Sekarang sudah pukul 20.30 sebenarnya, tapi jika memang itu yang sedang Jeno inginkan. Ayokk. Abi tidak takut tengah malam sekalipun.
"Sok banget lo, anjir! Sore-sore lewat makam satu aja lo ngibrit."
Abi berdecak melirik Jeno. "Baik gue tuh. Buat lo ... apa sih yang nggak."
"Cih, najis!" Jeno tersenyum. Sudut bibirnya jadi terangkat tinggi.
"Pusing gue, tuh," keluhnya kemudian. Random banget kan seorang Jeno. Tadi nyerocos apa, sekarang apa.
Abi yang baru saja mau melanjutkan gamenya. Menoleh sekilas.
"Lo itu kalo gak ngeluh pusing ya, encok," katanya dengan mata yang kini fokus kembali pada layar tv.
"Capek dah gue, badan gak pernah bener sehari aja."
Abi melirik. Jeno sudah berubah posisi. Sekarang meringkuk memunggunginya.
"Udah minum obat belom lo?"
"Hm." Jeno menyahut dengan gumaman.
"Hm, apa?! Hm udah, ato hm belom?" tanya Abi dengan nada sewotnya yang mulai terpancing.
Jeno bergerak mengambil handphone. Lalu terdengarlah dentuman musik dengan volume sedang dari handphonenya.
"Gue mau tidur. Lo jangan berisik!" katanya menutup mata sembari mendengarkan musik dari handphone yang diletakan di samping bantalnya.
"YA-YA, SERAH LO!"
Kesel banget Abi kalau Jeno udah gak jelas gini. Bertaruh, seratus ribuan. Manusia satu itu pasti belum meminum obatnya.
--
KAMU SEDANG MEMBACA
He's Jeanno (Selesai)
General Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** "JE-JE, JEN, JENO, ANJIR, JANGAN KENCENGAN!!" Teriakan dan suara tawa menggema di parkiran supermarket yang sepi. Hanya ada seorang pria berjas abu-abu yang hendak menyalakan mesin mobil, tapi urung saat mend...