Part 16 - Bayangan

3.9K 397 32
                                    


Malam itu, Satrio kembali lagi ke apartemen di mana Amaya ditahan di sana, membawa tentengan berisi makanan untuk Amaya. Tentu saja Amaya terkejut ketika Satrio muncul dari balik pintu saat ia sedang mengambil air minum, sebab ia ingat Satrio akan datang esok lagi, bukan malam itu juga.

Satrio melirik kotak makanan cepat saji di atas meja yang disediakan bagi Amaya untuk sarapannya oleh anak-anak buah Narendra, masih rapi dan belum terbuka, tampaknya pun Amaya tak menyentuhnya sama sekali. Satrio menghela nafas, kemudian berjalan menghampiri Amaya.

"J-jangan deket-deket!!" pekik Amaya marah, ia mengambil beberapa langkah ke belakang untuk menghindari Satrio.

"Udah gue kira, lo belum makan dari kemarin malam, kan?" tanya Satrio tanpa menghentikan langkahnya.

"Siapa juga yang mau makan!! Apalagi makanannya dikasih sama orang-orang tai kayak mereka!!"

"Amaya... lo harus makan,"

Pemuda jangkung di hadapan Amaya tak berhenti melangkah, hingga akhirnya punggung Amaya menyentuh meja makan. Ia tak bisa melangkah lagi, Amaya hanya menatap Satrio yang tepat di depannya dengan tatapan takut. Jantungnya berdebar-debar, ia menerka hal apa lagi yang akan dilakukan Satrio kali ini.

Satrio menghimpit tubuh Amaya yang jauh lebih pendek darinya ke pinggir meja makan. Ia mengangkat bungkusan makanan yang dibawanya, lalu menyodorkannya ke depan wajah Amaya. Sebuah senyum terukir di wajah gantengnya.

"Dimsum dari tendaan Pak Salim, kesukaan lo," kata Satrio riang.

Amaya menggelengkan kepalanya, matanya tetap menatap Satrio. "Nggak..." ucapnya perlahan sekali, sampai Satrio hampir tak mendengarnya. Tapi, senyum di wajah Satrio tak lekas memudar.

"Lo nggak mau ini? Maunya makan apa, hm?"

Lelaki itu menaruh kedua lengannya di meja, mengapit tubuh Amaya di rengkuhannya sambil terus tersenyum. "Nanti kalau lo udah bebas, gue ajak lo makan di tempat yang lo paling suka, oke? Atau kita jalan-jalan berdua lagi ke Pecenongan, makan di sana sepuasnya kayak malam itu, May? Tapi buat saat ini lo makan dimsum ini dulu, ya?"

Ketika Satrio menyebutkan kata 'malam itu', Amaya terhenyak. Otaknya langsung memutar seperti rentetan film saat ia dijemput Satrio malam-malam untuk mencari makanan dan tiba-tiba ia diajak ke Pecenongan yang lumayan jauh dari rumahnya...

Malam di mana Satrio menyatakan rasa sukanya...

Amaya menangis tatkala rentetan memori itu berputar otomatis diikuti oleh memori pertemanan mereka yang sudah lama terjalin. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya sambil terisak, lalu mendorong tubuh Satrio agar menjauh darinya. Amaya berlari kecil menjauh dari Satrio, namun sayangnya, Satrio menginjak rantai yang masih membelenggu pergelangan kaki Amaya, membuat Amaya terpaksa berhenti melangkah.

"Nggak... Please, Satrio... Gue mohon... Sadar, Satriooo..." isak Amaya pilu saat tubuh kecilnya direngkuh erat dari belakang oleh Satrio. Pinggulnya dipeluk oleh tangan Satrio yang kokoh, dan tangan Amaya digenggam erat oleh Satrio.

"Gue sadar, May. Gue sadar sepenuhnya. Sadar kalau lo seharusnya itu milik gue seutuhnya. Lo belasan tahun sama gue, May. Lo seharusnya yang sadar kalau gue itu yang pantes buat lo, bukan Keenan itu," kata Satrio sambil mengecup punggung tangan Amaya, tangan yang satunya lagi meremas-remas perut Amaya karena gemas.

"Lagian apa yang lo lihat dari Keenan, May? Apa karena dia kaya raya, ganteng? Calon ahli waris perusahaan besar?"

"Nggak, Satrio... Bukan itu... Please, ini gak bener, Satrio!"

Malam yang tadinya sunyi itu tak lagi sesunyi sebelumnya tatkala erangan dan desahan Amaya lagi-lagi memenuhi apartemen itu. Satrio membawa tubuh mungil Amaya ke meja makan dan menaruhnya di sana, menelanjangi lagi tubuh sahabatnya yang masih dibalut kemeja putih kebesaran yang dipakainya tadi siang.

Mr. Tutor !!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang