Chapter 6

1.5K 69 13
                                    

"Mereka bertanya padaku, hal apa yang tidak pernah aku harapkan saat ini. Jawabku, bayangan masa lalu. Dan mereka bertanya lagi, kenapa? Karena satu-satunya bayangan yang aku miliki adalah bayangan yang membelengguku dalam ketakutan tiada tara."

**

Pertama kali aku membuka mataku yang kudapati adalah langit-langit kamar yang tidak asing lagi bagiku. Hal ini membuatku bernapas lega. Setidaknya bayanganku ketika sadar adalah berada di kamar serba putih dengan aroma obat yang cukup membuatku pusing, tidak pernah terjadi. Dan artinya tadi malam Mas Revan benar-benar memahami isyaratku.

Perlahan aku menyibak selimut yang membungkus tubuhku. Dengan hati-hati aku turun dari ranjang. Selain karena masih merasa sedikit lemas, aku juga tidak mau mengambil resiko untuk membangunkan salah satu titisan David yang tengah lelap dalam tidurnya. Dalam kondisi terlelap seperti ini, wajah Mas Revan bukan hanya tampan tapi juga menggemaskan seperti anak kecil.

Jam dinding masih menunjukkan pukul 4 pagi, masih terlalu pagi untuk membangunkan lelaki tampan ini. Setelah mencuci wajah, perlahan aku meninggalkan kamar dan seperti biasa langsung turun ke dapur untuk membantu Bik Mimin. Namun, sepertinya aku terlalu pagi untuk terbangun dari lelapnya mimpi. Buktinya belum terlihat aktivitas apapun di dapur.

Hah.

Tanpa banyak pikir lagi, aku segera menuju lemari es untuk melihat bahan apa saja yang bisa diolah untuk menu sarapan pagi ini. Dan ternyata persediaan di dalam lemari es cukup lengkap dan mungkin menu pagi hari ini akan berbeda dari biasanya. Tanpa sadar aku tersenyum.

Entah sudah berapa lama aku berkutat di dapur sampai aku tidak tahu sekarang sudah pukul setengah enam pagi. Itu pun aku tahu dari Bik Mimin beberapa detik yang lalu bergegas membantuku menyiapkan sarapan pagi.

Selama kegiatan memasak tidak hentinya Bik Mimin menyuruhku untuk istirahat mengingat kejadian semalam yang membuat Beliau cukup khawatir dengan kondisi kesehatanku. Tetapi pada akhirnya Beliau menyerah untuk membujukku. Aku hanya dapat tersenyum mengingat betapa perhatiannya Bik Mimin padaku. Hal inilah yang menyebabkan diriku secara naluriah sangat menghormati dan menyayangi Bik Mimin dalam waktu yang cukup singkat. Karena bagiku Beliau sudah seperti ibu dan saudara sendiri.

Dan seperti biasa keluarga Atmadja akan melakukan sarapan pagi pukul setengah tujuh. Dan kalau perhitunganku tidak salah masih ada waktu tiga puluh menit lagi. Meskipun begitu semua menu sudah selesai di masak. Dan sekarang aku tengah duduk di salah satu kursi tepat di sudut dapur –tempat biasanya Bik Mimin istirahat sambil menunggu masakannya atau hal lain. Sedangkan Bik Mimin sedang mempersiapkan hidangan di meja makan.

"Loh, Vira!! Kok kamu sudah ada di dapur saja?", ucap Mama heran saat memasuki dapur, "Bagaimana keadaan kamu, Sayang?", tanya Mama penuh sarat kekhawatiran sambil memelukku.

Aku pun tak ayal juga membalas pelukan Beliau. "Vira baik-baik saja, Ma", jawabku.

"Maafin Mama, ya, Sayang. Mama bener-bener minta maaf. Mama lupa kalau kamu...", ucap Mama sedih dengan tubuh yang bergetar.

Aku tahu Mama pasti akan menyalahkan dirinya sendiri karena kejadian semalam. Maka dari itu aku segera memotong ucapan Mama dan segera menenangkan Beliau. Setelah Mama tenang dan sudah tidak lagi menyalahkan diri sendiri, aku izin untuk kembali ke kamar karena sudah waktunya Mas Revan bangun.

Saat memasuki kamar ternyata ranjang sudah kosong dan terdengar suara shower dari kamar mandi. Ah, sedang mandi, pikirku. Pertama kalinya Mas Revan bangun sebelum aku bangunkan sejak dia pulang waktu itu. Sambil menunggu Mas Revan selesai, aku segera merapikan tempat tidur dan kamar seperti biasa. Berhubung hari ini hari libur jadi aku tidak perlu menyiapkan baju kantoran Mas Revan.

MARRY BOY[FRIEND]Where stories live. Discover now