Bab 1: Titik Balik

655 26 0
                                    

Adam

Ini adalah prosesi pemakaman pertama bagi Adam. Ia bingung harus bagaimana, harus bersikap seperti apa, serta bagaimana caranya menghentikan air mata yang mengucur deras tanpa bisa dikomando ini? Satu-satunya yang bisa Adam lakukan adalah menopang dirinya pada tubuh Pakde Harlan yang berdiri tepat disampingnya agar tidak jatuh. Entah mengapa, lututnya terasa begitu lemas hari ini.

Dengan tatapan nanar, Adam melihat jenazah neneknya diturunkan ke liang lahat. Sebuah dorongan yang sangat kuat untuk memalingkan wajah menyeruak di hati Adam, namun ia memaksa dirinya untuk tetap tegar dan kuat, karena ia tahu ini adalah kali terakhir ia melihat jasad Nenek.

Tidak akan ada lagi senyum penuh kehangatan yang menantinya setiap pulang sekolah,tidak akan ada lagi obrolan-obrolan santai di teras rumah ditemani pisang goreng buatan Nenek, tidak akan ada lagi yang mengajarinya main piano.

Mendadak saja, ada banyak hal yang ingin Adam tanyakan pada Nenek. Mengapa pisang goreng buatan Nenek begitu renyah dan lezat? Dari mana Nenek belajar main piano?Apakah Nenek sudah bahagia sekarang? Sudah tidak sakit lagi? Sudah bersama Kakek?

Nenek merawat Adam dari ia berusia empat belas tahun hingga usianya hampir mencapai tujuh belas tahun. Dan enam bulan belakangan ini, gantian Adam yang merawat Nenek. Tuanya usia akhirnya menghampiri Nenek, perlahan-lahan menggerogoti tubuhnya, dan akhirnya meniadakan keseluruhan dirinya. Meninggalkan Adam sendirian.

"Dam," suara Pakde Harlan menyadarkan dirinya.

Pemandangan di hadapannya telah berganti menjadi segunduk tanah merah. Yang berasal dari tanah, maka akan kembali ke tanah. Begitu juga Nenek.

"Sampai ketemu lagi, Nek," gumam Adam saat jemarinya menaburkan bunga di atas tempat peristirahatan Nenek yang terakhir.

+++

Empat puluh hari setelah kepergian Nenek, sesuatu yang Adam takutkan pun datang. Suatu malam, selepas Yasinan, Pakde Harlan mengetuk pintu kamarnya. Adam yang sudah menanti-nanti kapan peristiwa ini akan terjadi tidak kaget saat Pakde berkata bahwa rumah Nenek akan dijual.

Nenek selalu bilang, hal pertama yang akan dilakukan oleh anak-anaknya setelah ia meninggal adalah menjual rumah ini. Seandainya Nenek tahu betapa benar dirinya.

"Selama ini yang tinggal di sini cuma kamu sama Ibu. Sekarang setelah Ibu tidak ada, dan seluruh anak-anak Ibu tinggal di luar kota, kami sepakat akan menjual rumah ini."

Adam mengangguk pasrah.

"Tadinya Pakde ingin mengajakmu tinggal bersama Pakde di Bandung," ujar Pakde Harlan.

"Tapi?"

Pakde Harlan menghela nafas panjang, "Bapakmu datang, memintamu untuk tinggal bersama beliau," lanjut beliau dengan suara berat.

Adam menatap wajah kakak ibunya itu dengan pandangan tak percaya. Ayahnya di sini sekarang? Meminta Adam tinggal bersamanya? Laki-laki yang bahkan sudah empat tahun tidak pernah Adam lihat batang hidungnya.

Pakde Harlan memperhatikan keponakannya dengan hati-hati. "Dam," ia memulai sebuah topik yang sedari tadi ia hindari, "seandainya kamu tahu betapa inginnya Pakde agar kamu tinggal sama Pakde saja, tetapi yang paling berhak mengasuh kamu adalah bapakmu sendiri."

"Bagaimana kalau saya menolak?" tanya Adam perlahan.

Pakde Harlan tersenyum iba, "Kamu segitu bencinya sama bapakmu, Dam?" tanya Pakde sambil mengusap rambut Adam.

"Kalau Pakde di posisi saya, apakah Pakde akan senang tinggal dengan orang yang telah membuang Pakde?" Adam balik bertanya.

"Dam, kejadian itu sudah lama berlalu, lagipula kamu masih kecil waktu itu, belum begitu paham apa yang terjadi."

"Semua orang juga bilang begitu. 'Maafkan bapakmu, kamu waktu itu masih kecil, tidak mengerti apa-apa.' Nenek juga sama," cetus Adam dengan suara bergetar sarat emosi.

"Cepat atau lambat, kamu pasti akan tahu yang sebenarnya. Temuilah bapakmu dulu, dia datang jauh-jauh dari Jakarta cuma buat kamu," bujuk Pakde Harlan.

Adam menatap Pakde Harlan dalam-dalam, seolah menyalahkan dirinya atas apa yang sedang menimpa Adam saat ini. Tetapi Adam tahu, apa yang dikatakan oleh Pakde benar adanya. Tidak ada yang lebih berhak melanjutkan tongkat kepengasuhan Adam selain ayah kandungnya sendiri.

"Dam? Ayolah," Pakde Harlan mendesak.

Dengan berat hati, Adam mengangguk. Apa gunanya menunda-nunda? Keputusan sudah tercipta untuk Adam, tugasnya hanyalah mematuhi kesepakatan yang dibuat oleh orang dewasa tanpa melibatkan dirinya sama sekali.

Adam menghempaskan tubuhnya ke kasur, memandang langit-langit kamarnya dengan sedih. Jadi, selain harus mengucap selamat tinggal pada Nenek, ia juga harus berpisah dengan rumah ini dan harus tinggal dengan orang yang Adam benci?

Saat ini, Adam merasa sedang berada di titik balik kehidupannya.

+++

Laluna

Ini adalah turnamen senam artistik entah yang keberapa kali bagi Laluna. Namun kali ini berbeda. Ibarat berjudi, hari ini Lalua mempertaruhkan seluruh harta dan uang yang ia miliki. Ini adalah kesempatan terakhir Laluna untuk bergabung dalam Pelatnas. Jika Laluna gagal hari ini, maka sudah saatnya untuk mengubur mimpi menjadi atlet senam ritmik Indonesia selamanya.           

Dengan gugup Laluna menunggu namanya dipanggil. Jantungnya bertalu-talu, gerahamnya mendadak ngilu saking tegangnya. Tangannya menggenggam pita yang akan dipakainya nanti di atas matras, buku-buku jarinya memutih, menunjukkan betapa grogi dirinya.

"Lun, tenang saja, santai," Kak Hanna, pelatihnya, menyemangati.

Laluna mengangguk singkat, ia khawatir apabila ia membuka mulut, isi perutnya akan keluar.

"Ankle kamu bagaimana? Masih sakit?"tanya Kak Hanna.

Laluna menggeleng.

Dua minggu sebelum pertandingan, Laluna mengalami cedera saat latihan. Pergelangan kakinya keseleo karena pijakannya saat jatuh dari lompatan kurang tegap, yang sampai saat ini kadang masih terasa sedikit nyeri.

Setelah rasanya menunggu berabad-abad lamanya, akhirnya nama Laluna dipanggil. Ia menarik nafas dalam-dalam.

It's show time, batinnya.

Laluna memasuki arena, aroma karpet matras yang begitu akrab menyambut penciuman gadis itu. Ia mengambil posisi tepat di tengah matras, berpose siap beraksi. Sedetik kemudian, musik berbunyi, dan Laluna bergerak.

Seperempat lagu berhasil dilewatinya dengan apik, pitanya berputar-putar mengelilingi tubuhnya dengan indah, gerakan demi gerakan pun dapat dilalui dengan sempurna. Akan tetapi, di pertengahan lagu terakhir, Laluna merasa nyeri pada pergelangan kakinya yang cedera.

Sambil menahan sakit, Laluna melanjutkan gerakannya. 'Jangan sekarang, please, sebentar lagi selesai,' Laluna berkata dalam hati menguatkan dirinya sendiri.

Di detik-detik terakhir, pada gerakan penutup dimana ia harus melakukan putaran yang bertumpu pada kakinya yang sakit, sesuatu yang ia khawatirkan menjadi kenyataan. Peristiwa itu seolah terjadi dalam gerakan lambat, sayup-sayup Laluna mendengar suara derak kakinya, yang disusul dengan rasa sakit yang sangat tajam sejurus kemudian. Laluna terhuyung, ia tidak mampu menjaga keseimbangannya, dan tanpa bisa ia tahan, tubuhnya terhempas di matras.

Seiring dengan jatuhnya pita yang harusnya ia tangkap ke lantai, Laluna sadar, impiannya pupus sudah.

Rasa sakit di kakinya belum seberapa dibandingkan dengan perih di hatinya.

***

The newest chapter 1. Please read, comment, and vote.

Adam dan LalunaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora