2. Mimpi yang Sirna

39.2K 1.3K 13
                                    

Meira membuka pintu ruangan di mana sselama tiga hari ini dirawat. Matanya memindai ke sekitar lorong yang sepi. Sekali lagi ia memperhatikan sekitar untuk memastikan bahwa keadaan memang aman.

Sebelum pergi, Meira menoleh ke toilet dimana terdengar suara air mengalir. Bik Armi masih berada di sana. Meira pun pergi setelah mengambil ponsel dan dompetnya di meja. Dua benda berharga itu dibawakan oleh Revan tiga hari lalu. Tentu saja tidak membuatnya berterima kasih. Ia memilih diam saat pria itu menaruh kedua benda tersebut ke atas nakas.

Segera Meira melangkah. Ia harus segera pergi sebelum Bik Armi ke luar dari toilet. Wanita itu menutup rambutnya dengan topi hoodie, lalu berjalan dengan cepat.

💔💔

Bik Armi yang sedari tadi menunduk kini semakin dihantui rasa bersalah mengetahui Meira tidak bisa dihubungi. Tadi ia terlalu lama di toilet akibat perutnya yang tidak bisa diajak kompromi. Berkali-kali wanita berkerudung cokelat itu meminta maaf pada Revan yang kini sibuk mondar-mandir sambil menelepon ke nomor ponsel Meira yang tidak aktif.

Revan mendengkus dan meremas ponselnya. Dua hari yang lalu, ayahnya menawarkan agar Meira  dijaga orang bayarannya. Namun, Revan menolak karena ia yakin wanita itu tidak akan kabur. Kini, ada sesal menelusup perasaan pria itu.

Rasanya Revan putus asa karena sudah lima kali menelepon Meira, tetapi tetap tidak terhubung. Ia juga menghubungi Nisa--sepupu Meira. Mungkin saja istrinya pulang ke rumahnya, tetapi jawaban gadis itu membuat hati Revan makin ketar-ketir.

Revan mematikan ponselnya, lalu  melihat kepada Bik Armi yang masih menunduk. Semarah apa pun saat ini, ia tidak semestinya menghakimi wanita yang telah 25 tahun bekerja di rumahnya.

"Sekali lagi saya minta maaf, Mas." Bik Armi memberanikan diri mengangkat wajahnya.

Revan hanya mengangguk lemah. Ia melangkah cepat di lorong rumah sakit yang sepi. Di benaknya hanya ada Meira.
Pikirannya mengarah pada hal-hal buruk. Ia harus segera menemukan Meira sebelum sesuatu yang tidak diinginkan terjadi.

Tadi selesai bekerja, ia langsung ke rumah sakit karena memang hari ini Meira sudah boleh pulang. Namun, di tengah jalan Bik Armi meneleponnya dengan suara panik.

Revan sudah menelepon pembantu di rumahnya dan meminta segera mengabarinya jika Meira pulang. Ia kemudian menyetir dengan pikiran yang kacau dan tidak tahu harus ke mana. Pria itu benar-benar bingung  harus mencari Meira di mana. Revan memang tidak begitu mengenal dekat sosok istrinya, apalagi tempat favorit wanita itu. Memang sudah dua tahun mereka kenal, tetapi sebatas urusan kerja dan jarang berinteraksi.

Sebuah pesan masuk dari Nisa. Revan menepikan mobilnya, membaca isi pesan WA gadis itu yang memberitahukan barangkali Meira pergi ke tempat favoritnya yaitu pantai yang ada di daerah pusat kota. Segera Revan melajukan Pajero Sport-nya menuju tempat yang Nisa informasikan.

Saat menyetir, pikiran Revan melayang saat-saat Meira di rumah sakit. Ia hanya bisa melihat wanita itu dari celah pintu. Betapa setengah matinya Bik Armi membujuk Meira makan dan juga meminum obat. Sering kali ia menangkap kesedihan begitu dalam di kedua mata Meira.

"Pergi saja. Saya tidak ingin Anda di sini. Saya tidak butuh dijaga, apalagi dengan Anda!" usir Meira saat Revan mengatakan akan menjaganya selama dirawat.

Demi menghindari suasana yang tidak nyaman, Revan pun pergi dan meminta pembantunya yang menemani Meira selama dirawat. Ia tetap datang, tetapi hanya bisa melihat dari celah pintu.

💔💔

Meira berdiri di atas pasir memandangi laut lepas. Aroma laut selalu mampu mengobati hatinya jika sedang dirundung kesedihan. Ia menghidu aroma laut sembari memejamkan mata sejenak, membiarkan telinganya dipenuhi deru suara ombak. Cara itu barangkali mampu mengeluarkan sedikit duka yang bersemayam dalam hatinya.

Bunga Tanpa MahkotaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang