14. Makan Siang untuk Revan

20.6K 918 26
                                    

Berkali-kali Meira mencoba memejamkan mata, tetap saja sulit. Mata terpejam beberapa detik, lalu membuka lagi begitu saja berulang-ulang hingga sepuluh kali. Ia juga membalik posisi tidurnya, dari kiri lalu ke kanan, telentang, kemudian kembali berbalik ke arah kanan. Tetap saja sulit terpejam. Kali ini bukan karena katakutan seperti malam-malam yang lalu sebelum ia pergi ke psikolog. Kali ini karena ada sesuatu yang sejak tiga jam lalu bergetar lembut dan menghadirkan rasa hangat di hatinya.

Sepertinya perkataan Revan yang mengatakan bahwa ia lebih cantik dari Nadia adalah penyebab ia kini sulit tidur. Kata-kata itu seperti sihir yang membuat hatinya yang membeku pelan-pelan mulai mencair. Ia menggigit bibirnya, kembali pipinya merona.
Kemudian ia merutuki diri yang begitu lemah hanya karena  dikatakan lebih cantik dari wanita itu, sedikit membuatnya melupakan rasa benci pada Revan.

"Kalo ada yang mau kamu tanya soal Nadia, tanya aja!" kata Revan tiga jam lulu di ruang televisi.

Meira hanya menggeleng cepat. Ia buru-buru berpamitan pada Alisha untuk kembali ke kamar. Ia berjalan dengan menunduk tanpa berani menoleh kepada Revan yang berdiri tak jauh dari sofa. Sampai di kamar, ia menyandarkan diri ke pintu sembari memegangi dadanya yang berdebar tak tahu diri.

Sekarang, ia sulit tidur. Ada banyak hal yang berputar-putar di kepalanya. Tentang peristiwa tiga jam lalu, tentang kesehatan Nisa, tentang penyesalannya yang masih membayangi karena telah kehilangan bayinya, tentang pikirannya yang pelan-pelan berubah soal pernikahannya dengan Revan, tentang perasaan aneh yang akhir-akhir ini sering datang tanpa permisi sampai membuatnya sulit membedakan antara benci dan rasa ... nyaman.

Sementara Revan termangu di atas tempat tidurnya. Ia juga sulit memejamkan mata. Bukan karena memikirkan perkataannya tadi pada Meira, tetapi tertuju pada Nadia. Gadis itu begitu menganggu pikirannya hari ini. Ia ingat bagaimana Nadia tadi terlihat begitu terkejut dan berusaha menyembunyikan kegugupannya.

Revan menghela napas. Ia mencoba mengalihkan perhatiannya dengan beranjak dari ranjang menuju mini bar yang ada di sudut kamarnya. Ia hendak mengambil botol berisi whine dari laci meja, tetapi kemudian cepat-cepat menutupnya kembali. Ia merasa dihantui rasa bersalah.

Meira bangun dari ranjang. Membenarkan selimut Clarissa yang sedikit tersingkap sehingga kakinya terlihat. Ia mengecup kening Clarissa dengan lembut.

Meira menghela napas perlahan, lalu melangkah keluar kamar. Sesaat terdiam saat matanya melihat kamar tamu yang tepat berada di ujung kanan ruangan. Kamar yang dulu ia tempati dan sekaligus menjadi saksi bisu peristiwa terkutuk itu. Ia merasa tubuhnya gemetar. Cepat-cepat ia berbalik ke arah kiri ruangan menuju tangga.

Meira melangkah menuju dapur. Ia merasa suasana rumah begitu menyeramkan saat di malam hari seperti sekarang, di saat semua orang terlelap dan hanya lampu duduk yang menyala di beberapa sudut ruangan. Mendadak ia merinding. Ia hendak membatalkan niatnya ke dapur, maka memilih berbalik arah, tetapi ia terpekik karena menabrak seseorang.

"Ini aku, Mei." Revan berujar pelan.

Meira mengatur degub jantungnya yang tadi berdetak cepat. Ia mundur beberapa langkah agar jauh dari Revan.

"Nyalakan saja lampunya. Biar lebih terang!" Revan menekan saklar lampu yang berada di dinding sebelah kanan ruangan. Seketika semua tampak jelas, termasuk wajah Meira yang terlihat tegang.

"Kamu mau ke dapur?"

Meira mengangguk.

"Oke, kamu duluan. Aku entaran aja." Revan hendak berbalik untuk kembali ke kamarnya.

"Anda mau ke dapur juga?"

Revan berhenti melangkah dan menoleh ke Meira. "Tadinya iya. Tapi, kamu aja yang duluan ke sana. Khawatir kalo aku di sana, malam-malam begini bakal bikin kamu ketakutan." Revan melangkah sampai dua langkah, lalu suara Meira menghentikan gerakan kakinya. Ia kembali menoleh.

Bunga Tanpa MahkotaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang