Prolog - Goodbye

17 0 0
                                    

Angin dingin pertanda musim hujan sudah mulai berhembus. Memainkan helaian pendek seorang gadis dihadapan seorang pemuda yang menggenggam tangannya erat dengan mata memerah dan raut wajah tegang. Tapi tak ada kata-kata yang mampu terucap dari dua belah bibirnya. Sementara sang gadis menatap sendu seolah menahan perasaan yang bergemuruh dari dalam dadanya. Mereka saling menatap satu sama lain dalam diam disekeliling taman yang hanya dihiasi lampu jalan.

" Coba kamu ulang lagi apa yang kamu bilang tadi?" suara lirih dari pemuda itu sukses membuat sang gadis menghembuskan nafasnya pelan. Matanya menatap lansung ke lensa cokelat tua nyaris hitam yang dimiliki pemuda itu. Dia menggeleng berusaha menyadarkan diri, takut sekali akan kembali jatuh hati. Maka dengan gerak perlahan gadis itu berusaha melepaskan genggaman. Tak ingin menyakiti si pria tapi tak ingin memberi harapan pula.

"Iya Ryo. Aku udah ga bisa nemenin kamu lagi. Aku melepaskan kamu ke Amerika sebagai seorang pria single. Ya?" gadis itu masih berusaha tersenyum. Tangannya sudah tergantung di sisi tubuhnya. Air matanya masih coba ia tahan. Ia tak ingin sang pemuda semakin sedih.

Ryo menatap tangannya yang dilepaskan.

Kini dia menggenggam udara.

Kosong.

"Tapi kenapa Raf? Kamu ga ngasih aku alasan," Ryo masih berusaha mendapatkan informasi atas pernyataan yang keluar dari bibir gadis didepannya, Rafa. Ada rasa sedih dan marah yang terselip di dadanya.

Tentu saja.

Gadis yang selama ini menjadi pusat kehidupannya memutuskan untuk menyerah berdiri disampingnya. Mana janji yang dulu mereka ucapkan saat malam puncak pensi dulu.

"Kamu bilang mau tetep bareng aku, Raf. Kamu kenapa ngelanggar janji yang kamu buat sendiri?" Ryo menahan gejolak dada dan tangannya yang ingin menjulur untuk mengguncang pundak kecil Rafa. Membuat gadis itu sadar bahwa dirinya yang sedang tersakiti disini dan mungkin bisa mengembalikan kerja otak sang gadis agar bisa berpikir lebih waras.

"Karena..." Rafa menggantung jawabnya. Menatap lantai dibawahnya, mengumpulkan keberanian yang sudah semakin menipis. Ia merasakan amarah di udara sekelilingnya. Ryo tak pernah sebegini marah.

Rafa harus berani, serunya dalam hati.

Dia mengangkat wajahnya kehadapan Ryo, tersenyum lembut. "Kita emang seharusnya ga bersama, Ryo. Kita itu beda banget. Dan aku udah ga bisa berusaha baik-baik saja. Kamu terlalu jauh dalam jangkauan aku, Ryo" Rafa tersenyum sedih. Ya dia sedih karena menyakiti laki-laki dihadapannya. Ryo adalah kebahagiannya.

Ryo meraih tangan Rafa. Menyentuhkan telapak kecil yang dingin itu -dingin karena Rafa menyerap udara dingin disekitarnya- ke pipinya. "Aku dijangkauan kamu, Raf. Aku hanya ke Amerika untuk kuliah, dan tiap tahun pasti akan kembali. Apa sulitnya menunggu?" Ryo putus asa. Gadis itu adalah segalanya bagi Ryo.

"Karena kamu adalah ketidakpastian, Ryo. Aku harus realistis" Rafa menarik tangannya pelan.

" Goodbye, Ryo" Rafa berbalik. Mengabaikan Ryo dan teriakan frustasi pemuda itu. Mengabaikan airmatanya yang mengalir dipipinya, mengabaikan nafasnya tersangkut didadanya karena melepaskan Ryo.

Not TwiceDonde viven las historias. Descúbrelo ahora