Chp. 2 - The Reason

8 0 0
                                    

Rafa menatap tangan ibunya yang terjulur ke arahnya dengan tatapan bingung. "Apa bu?" Rafa mengernyitkan dahi tidak mengerti.

Apalagi sekarang?

Untuk apa ibunya menjulurkan tangannya bahkan sebelum Rafa sempat mengucapkan salam untuk masuk kerumah.

" Duit lah, Rafa. Kamu udah 22 tahun masih aja bodoh. Kalo orang begini berarti lagi minta sesuatu. Tapi kalo ibu yang begini berarti, 'duitnya mana Rafa'??" ibu Rafa menjelaskan dengan tidak sabar.

"Bu, kan udah Rafa kasih gaji Rafa bulan ini sama ibu. 10 hari yang lalu loh bu." Rafa mengingatkan ibunya.

Ayolah gaji Rafa sudah diambil seluruhnya oleh sang ibu. Dia hanya bertahan dengan uang makan yang selalu dia irit agar tetap memiliki pegangan.

" Ya tapi ga cukup, Rafa. Ibu mau beli baju baru," Ibu Rafa bersidekap. Dia harus tetap kelihatan necis di arisan minggu ini. Tentu saja. Menjadi janda bukan berarti menghalangi pesonanya di umur yang masih dipertengahan 30-an.

"Bu, Rafa kan gajinya bulanan bukan harian. Gaada bu" Rafa menjawab dengan sabar. Dia sudah lelah tapi dia tidak ingin membuat ibunya marah. Efeknya sangat jelek karena ibunya sangat emosional.

"Yaudah. Sini kamu kasih baju kamu aja sama ibu. Kan kamu punya banyak baju bagus hadiah dari mantan kamu yang kaya itu."

Ibu Rafa membalik badan dan berjalan kearah kamar Rafa. Membuka lemari pakaian kecil milik Rafa dan mengacaknya. Memilih atasan yang menurutnya sesuai. Rafa menatap nanar lemarinya. Itu merupakan setumpuk kenangan yang dia punya.

Hadiah dari Ryo.

" Yang ini ya Raf. Bagus," ibunya mendapatkan apa yang ia inginkan. Sebuah atasan berwarna ungu pastel. Rafa mengingat itu adalah baju yang diberikan oleh Ryo saat kencan kedua mereka.
Hadiah dari luar negeri katanya.

Rafa menggigit bibirnya dan mengangguk samar. "Kamu emang anak ibu" ibu Rafa berlalu sambil menepuk pipi Rafa pelan. Dia bersenandung dan berjalan masuk kedalam kamarnya. Tak lama berselang terlihat asap tipis yang dibiaskan cahaya lampu keluar dari ventilasi udara diatas pintu kamar ibunya.

Rafa menatap sedih kondisi kamarnya yang berantakan. Hasil penjarahan ibunya menyebabkan isi lemarinya bertebaran memenuhi lantai dan kasur kecilnya. Rafa menghela nafas dan menjatuhkan tasnya. Tangan kecilnya mulai memunguti pakaiannya, melipatnya ulang sebelum memasukkannya kembali ke dalam lemari. Begitu semua sudah rapi, Rafa duduk diatas kasurnya.

Mengingat kejadian tadi siang.

Mengingat Ryo yang muncul kembali setelah sekian lama menghilang.

Membuat Rafa sadar bahwa Ryo yang dikiranya sudah mati hanya tertidur karena Rafa mematikan lampu disudut hatinya untuk sang pemuda. Dan sekarang lampu itu sudah menyala kembali dan Ryo sudah kembali menggedor hati Rafa. Memaksa masuk dan menginvasi perasaannya lagi.

Rafa menggeleng, aku ga boleh mikirin Ryo.

Ryo mungkin saja sudah bahagia dengan Ayana yang waktu itu berkata akan segera melangsungkan pertunagannya dengan Ryo di Amerika. Keputusan Rafa meninggalkan Ryo tak lain hanya karena orangtua Ayana memaksa gadis itu untuk memilih mempertahankan Ryo atau menerima uang pengganti sebagai biaya pengobatan untuk ayahnya. Walau pada akhirnya ayahnya hanya mampu bertahan 2 minggu paska operasi kanker hatinya. Rafa tak boleh menyesal.

Ryo semakin mempesona, tentu saa. Mata itu semakin tajam dan Rafa secara tak sadar terbuai lagi. Gadis itu segera sadar
dan memukul kepalanya pelan.

Dasar gadis dungu!

Kau mengagumi lelaki milik seseorang, runtuknya.

Sadar Rafa kamu hanya gadis miskin karyawan toko kue.

Rafa menghela nafas lelah dan berbaring telentang dikamarnya. Langit-langit kamarnya perlahan menggelap dan Rafa jatuh tertidur begitu saja.

***
Ryo menghempaskan selimutnya dengan kasar. Dia kepanasan padahal remote pendingin ruangan menunjukkan angka 19 derajat.

Ah bukan badannya yang panas, tapi hatinya.

Pertemuan dengan Rafa membangkitkan seluruh emosi Ryo. Marah, sedih, jengkel, murka, dan ....

Rindu.

Ryo melangkah kearah jendela besar yang menjadi pembatas dirinya dengan dunia luar. Pemandangan dari lantai 20 membuatnya leluasa untuk memandangi keeksotisan Jakarta di malam hari. Pandangannya menerawang. Pikirannya melayang ke pertemuannya dengan Rafa siang tadi.

Rafa-nya.

Gadis itu semakin kurus. Dengan pipi tirus serta tulang selangka yang terlihat dari kerah polo-shirtnya. Rambut Rafa masih saja pendek. Dengan model bob berponi yang sedang populer saat ini. Imut, seperti biasa. Mata gadis itu masih sebulat seperti yang terakhir ia ingat dan masih menampilkan sorot teduh.

Ryo menghela nafas kasar.

Ingin rasanya dia menarik Rafa keluar dari balik counternya dan membawa gadis itu kepelukannya. Tapi mereka sudah bukan siapa-siapa lagi.

Rafajilla.

Gadis yang dengan sialannya memutuskan untuk menyerah bahkan ketika Ryo belum sempat mengikatnya.

Sampai sekarang dia masih belum mengetahui motif Rafa memutuskannya. Pasti bukan seperti yang gadis itu katakan.
Rafa tak pernah perduli dengan latar belakang seseorang. Cukup baik dan tulus, maka gadis itu akan menyambut untuk berteman dengan orang itu.

Lalu kenapa hal itu tidak berlaku untuk Ryo?

Ryo juga anak biasa yang mungkin lebih beruntung dibanding orang lain. Dia lahir dikeluarga yang lebih dari berkecukupan, otak yang pintar, orangtua yang harmonis dan kehidupan yang baik. Dan Ryo selalu memperlakukan Rafa dengan baik dan tulus.

Tapi kenapa Rafa memutuskannya?

Ryo mengusak rambutnya. Menyalurkan seluruh emosinya. Kepulangannya kali ini dia lakukan setelah menyelesaikan seluruh studinya. Kembali ke negara kelahiran setelah dipaksa oleh orangtuanya karena Ryo harus segera masuk kedalam perusahaan menggantikan ayahnya yang sudah tua. Lebih tepatnya sudah mulai bosan bekerja karena ingin menghabiskan lebih banyak waktu luang di usia yang tak lagi muda bersama istrinya dirumah.

Ryo menatap jam di atas nakas sebelah kasurnya. Angka digitalnya berpendar merah dengan angka 03.00 am. Dia harus tidur. Jika tidak, besok dihari pertamanya bekerja dia akan sangat tidak dalam kondisi yang bagus. Tak mungkin Ryo memperlihatkan kesan buruk dihari pertamanya menjabat menjadi General Manager.

Not TwiceWhere stories live. Discover now