04: six degrees of separation

940 226 48
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pertama kalinya Jingga menyukai seorang gadis adalah saat umurnya baru menginjak dua belas.

Namanya Anisa, anak perempuan kelas sebelah. Rambutnya diikat ekor kuda, bergoyang-goyang pelan seiring langkah kecilnya. Jemarinya lentik. Wajahnya merona merah tipis. Jika kau melihatnya, anak perempuan itu tampak seperti boneka di dalam lemari kaca. Hampir semua anak-anak lelaki memandang Anisa penuh kekaguman, termasuk Jingga.

Semua anak, kecuali Fajar.

Kali pertama Jingga menceritakan soal Anisa kepada Fajar (dengan pipi bersemu, kikik geli, dan bisik-bisik sekretif), Fajar hanya mengerjapkan mata dan mengangguk sebagai reaksi. Mata Jingga dan Fajar bertemu, di saat itulah Jingga menyangka bahwa adiknya berbeda. Jika ia menceritakan Anisa pada teman-teman laki-lakinya yang lain, adalah gelak tawa atau ledekan atau tubuh yang didorong-dorong untuk segera menembak. Berbeda dengan Fajar. Anak lelaki itu hanya diam mengerjap, memandang kakak kembarnya seolah kakak kembarnya tengah menjelaskan rumus matematika dalam bahasa planet sebelah.

Fajar tidak mengerti.

Dan Jingga saat itu hanya merangkul adiknya penuh sayang. Dipikirnya, itu karena adiknya terlalu sering membaca buku dan belajar sampai tidak tertarik dengan anak perempuan manapun (mungkin nanti adiknya akan mengerti, mungkin adiknya nanti akan tertarik dengan seorang gadis, itu yang Jingga pikir). Tangannya menggelitik rusuk sang adik—membuat tawa mereka merekah membuat suasana yang semula suram cair.

.

.

.

Dua tahun kemudian, barulah Jingga mengerti jika adik kembarnya memang berbeda.

Adik kembarnya mimpi basah lima bulan setelah mimpi basah pertama Jingga. Tidak ada yang aneh. Mimpi basah adalah hal yang alami terjadi jika kau anak lelaki yang hendak beranjak dewasa—itu yang selalu Papa katakan. Fajar tidak mengatakan apapun setelah itu—barulah saat sore mulai menjelang, adiknya mengetuk pintu kamarnya, jemari mengepal dan menutup, bibir bawah digigit seakan tengah melakukan pengakuan dosa.

"Bang, aku—"

Ucapan itu terhenti di tengah-tengah. Menguap, Fajar tengah mengumpulkan keberanian lebih.

"Kenapa, Jar?"

Dan tangan Jingga terulur, mengelus-elus punggung adik kembarnya. Dilihatnya Fajar menyandarkan wajahnya di bahu sang kakak, dengan suara sesenggukan kecil.

"Aku mimpi basah sama cowok—" Tercekat, dirinya saat berbicara, "Aku—aku enggak inget mukanya. Di mimpi itu aku ditindih terus—terus aku dipegang—"

Belum selesai pengakuan itu, Jingga menarik Fajar ke dalam sebuah dekap hangat.

"Terus kenapa? Kan Ajar tetep Ajar."

Dikatakan Jingga seraya mengelus-elus punggung adiknya, menepuk-nepuk bahunya menguatkan. Mengakui kalau kau berbeda dengan yang lainnya bukanlah hal yang mudah, berlaku juga jika kau mengakuinya pada saudara kembarmu yang jelas berbeda. Dan Jingga masih kecil saat ia menyadari bahwa dunia tidak sebaik itu pada orang yang berbeda. Membayangkan dunia akan melakukan apapun untuk menghancurkan adik kembarnya yang berbeda mengusik Jingga. Tidak, tidak boleh. Dunia harus melewatinya lebih dahulu.

"Mau kamu suka sama cowok, cewek, atau bahkan banci sekalipun—" sang kakak tersenyum, "—Ajar tetep adek kembar Abang. Dan Abang tetep sayang banget sama Ajar."

Pelukan itu dilepas. Jingga memandang adiknya penuh sayang sebelum mendaratkan kecupan di pipi Fajar. Adiknya terkikik geli, membalas kecupan di pipi dengan kecupan di kening. Gestur kecil saling menyalurkan afeksi.

"Jadi Ajar udah naksir cowok?"

"... belum sih, Bang. Tapi Ajar suka ngeliatin cowok." Setelah itu, adik kembarnya menunduk dengan wajah memerah malu, "Apalagi yang ganteng. Kayak Kak Dimas. Atau Dira."

"Kalau nanti ada yang benci Ajar karena Ajar suka cowok, lapor Abang, ya?" Jingga sekali lagi menepuk-nepuk bahu adiknya. "Ajar berhak bahagia, mau sama siapapun. Yang ngehalangin kebahagiaan Ajar bakal Abang tinju."

Saat itu, yang disuguhkan Fajar hanya secercah senyum.

Di depan makan malam ruang keluarga, Fajar mengaku takut-takut pada orang tua mereka. Ibu mereka memeluk erat Fajar, ayah mereka mengecup puncak kepala Fajar penuh sayang. Didengarnya sang ibunda berkata, "Enggak apa, Nak. Kamu tetap anak Papa sama Bunda. Kalau Bunda bilang Bunda juga suka cewek, apa kamu percaya?" Makan malam mereka berubah menjadi sesi membahas kotak Pandora bernama seksualitas. Bahwa tak apa jika kau menyukai siapapun—lelaki, perempuan, keduanya, selain keduanya, atau bahkan tidak dapat menyukai siapapun, bahwa tidak ada yang salah dengan perbedaan. Bukankah mereka pada hakikatnya adalah sesama manusia? Bunda berkata, di negeri ini masih banyak orang-orang yang tidak suka jika kau berbeda. Tidak apa, janganlah dibalas. Jangan lupa dengan ajaran utama untuk selalu menjadi lembut dan menjadi baik pada semua makhluk, bukan?

Jingga remaja mengangguk. Menatap adiknya yang menangis terharu dan sang ayah yang memeluk. Di dalam hatinya ia berjanji, apapun yang terjadi nanti, Jingga akan melindungi Fajar dari dunia yang jahat pada mereka yang berbeda.

.

.

.

Saat Jingga menoleh ke belakang, disadarinya bahwa ada banyak retak yang memisahkan antara dirinya dan Fajar.

Dulu mereka sama—sepasang anak lelaki kembar, lahir di waktu yang bersamaan, selalu bersama seperti monster dengan dua kepala, satu badan, dua pasang kaki tangan. Mulai dari bintik-bintik pigmentasi yang menyapu pipi adiknya, jerawat yang selalu tumbuh di tempat berbeda, kemudian tinggi yang bertambah beberapa senti lebih dulu dibandingkan dirinya, dan suara yang jatuh dalam—kontras dengan suara Jingga yang masih lengking seperti dulu kala. Sampai pada pengakuan adiknya yang menyiratkan bahwa ketertarikan mereka pun berbeda. Belum lagi tangan Fajar yang lebih sering menggenggam tangan Dira dibandingkan tangan Jingga, atau Jingga yang lebih sering bermain bola dengan anak-anak sekolah dibandingkan menemani Fajar bermain sepeda. Mungkin, proses pendewasaan seperti separator yang membelah tubuh yang semula sama. Awalnya tidak ada yang memisahkan mereka berdua, dalam konteks apapun. Sekarang, mereka terpisah sejauh enam orang seperti sebuah teori sains.

Kembar yang dulunya sama sekarang tidak lagi sama.

[1/3] jingga dan fajar.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang