Chapter 8 - Bagian 1

2K 189 33
                                    

Rayzel menutup pintu di belakangnya dengan perlahan, ia menyandarkan tubuhnya, tepat dibalik pintu yang sudah tertutup, kepalanya terangkat dengan angkuh.

"Rama Calvander Gerald." Ia mengeja nama Rama dengan lamat. Sudut bibirnya menekuk tajam, sementara pikirannya melayang pada kejadian tadi pagi.

::

::

::


Di tempat itu, di ruangan temaram, sinar matahari menyelinap dibalik tirai transparan. Rayzel duduk dengan kaki menyilang di sofa tunggal favoritnya, sedangkan matanya menatap tajam pada sosok pria yang berdiri di depannya. Iris matanya berubah merah, aura gelap menguar jelas dari tubuhnya.

"Aku sudah mengatakannya berulang kali padamu, Louis, carilah tempat tinggal yang sesuai standarku! Bukan tempat tinggal bar-bar semacam ini!" Suaranya menggelegar, dadanya naik-turun dengan tempo cepat.

Rayzel benar-benar sangat jengkel. Bayangkan saja, di malam pertama dirinya tidur di dunia manusia ini, telinganya haruslah disuguhi desahan-desahan menjijikan, yang disajikan penghuni lain di sebelah kamar apartemen miliknya. Demi Tuhan! Apa gunanya mereka memiliki dinding kedap suara, disaat indera pendengaran Rayzel terbilang sangat peka?!

"Maafkan saya, Pangeran, saya sudah mencari informasi sedetail mungkin, dan tempat inilah yang saya pikir paling memenuhi standar anda." Jawab Louis, ia meneguk ludahnya susah payah.

"Maksudmu, apa yang kita dengar tadi malam itu sesuai standarku?" Rayzel mendelik, ia memijit pelipisnya.

"Se-sekali lagi saya minta maaf."

Rayzel kembali membuka mulutnya, bersiap untuk melontarkan segala macam kata-kata protes kepada pria di sebelahnya, namun baru saja ketika ia hendak berucap, aroma khas yang memabukkan menelusup ke indera penciumannya. Ia menatap Louis dengan pandangan yang sulit diartikan.

"Siapa yang menghuni apartemen sebelah?"

Louis membalas tatapannya sejenak, sebelum kembali menundukkan kepalanya, "Anu... itu— Rama Calvander Gerald."

Rayzel mengangkat alisnya sejenak, "Rama? Saudara kembar gadisku?" Tanyanya dengan serak, membuat Louis menganggukkan kepalanya.

"Saya sungguh tidak tahu jika ia memiliki sifat tercela seperti ini..." Louis merutuki kebodohannya. "Saya sempat berpikir, jika anda tinggal di dekat pria itu, mungkin saja akan lebih memudahkan anda untuk mendekati Nona Shinta, tetapi—"

"Ah, begitukah." Potongnya. Rayzel menyandarkan tubuhnya, kedua tangannya bersedekap di depan dada.

Louis mengangkat kepalanya, ia menatap Rayzel yang tengah menyeringai di depannya. Dahinya mengernyit. Jika Louis tidak salah ingat, bukankah sang Pangeran ini sedang marah? Pikirnya bingung.

Rayzel kembali menatap Louis dengan dingin. Louis tersentak saat merasakan aura gelap mengitari dirinya, ia meneguk ludahnya susah payah ketika teringat jika sang Pangeran bisa dengan mudah membaca pikirannya.

"Ma-maafkan saya." Ucapnya pelan, dan dibahas dengusan oleh Rayzel.

"Hentikan kata maafmu!" Titahnya dingin.

"Ma–" Louis mengatupkan bibirnya saat kata maaf hendak kembali ia ucapkan, dengan gelagapan dia menyambung ucapannya. "M-maksud saya... Baik."

::

::

::


Rayzel bungkam ketika mengingat kembali percakapannya dengan Louis. Siapa sangka jika pria yang mengganggu tidur nyenyaknya semalam dengan desahan-desahan menjijikan itu ternyata adalah saudara kesayangan Shinta? Bagaimana mungkin selama hidup, calon ratunya selalu bersama dengan pria yang suka memasuki sesuatu itu? Rayzel mendadak tidak terima.

The Prince Vampire : Empress Of The Pure BloodWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu