Chapter 9 - Bagian 1

2K 184 21
                                    

Note : sebenernya hari ini aku ulang tahun, jadi aku up 3x, semoga kalian seneng♡

*****

Shinta membuka matanya perlahan, tangannya terangkat memegang kepalanya yang terasa berdenyut. Matanya menerjab, pandangannya menatap ke sekeliling, matanya memutari ruangan temaram bercat putih yang nampak asing. Dengan susah payah, ia mendudukkan tubuhnya. Rasa mual di perutnya menusuk hingga ke dada, tubuhnya terasa kram. Ia menundukkan kepalanya sejenak, demi menghentikan rasa pening yang menimpanya.

"Kenapa kau menculikku?" Shinta membuka mulutnya, kepalanya kembali terangkat. Matanya menatap tajam sosok pria yang duduk disofa coklat sudut ruangan. Sinar rembulan, menelusup dibalik tirai putih, menyorot sedikit pada wajah datar sang pria. Penerangan yang cukup gelap membuat Shinta memfokuskan pandangannya yang masih buram.

"Menculik? Aku hanya menjemput calon pengantinku." Rayzel menjawab dengan tenang. Ucapannya membuat rasa mual Shinta bertambah.

"Sebenarnya kau itu siapa?" Gumamnya. "Kau ada di mimpiku, datang tiba-tiba di kehidupanku, merebut ciuman pertamaku, menggangguku— tidak! Lebih tepatnya menerorku! Lalu sekarang kau membawaku ke tempat antah berantah, yang entah dimana! Kau ini mahkluk apa?!" Shinta hampir memekik dengan jengkel. Segala pertanyaan tidak masuk akal di kepalanya ia cetuskan.

"Aku bahkan ragu jika kau itu manusia!" Tepat setelah celotehan terakhir itu meluncur mulus dari bibir Shinta, matanya menangkap jelas rupa Rayzel yang juga sedang menatapnya.

Mata merah itu. Shinta membatin. Bukankah iris matanya berwarna hitam? Apa dia menggunakan lensa mata?. Pikirnya bingung. Shinta mengernyit sejenak, ia menatap Rayzel dengan raut wajah yang sulit diartikan. Sedangkan Rayzel mengangkat samar sudut bibirnya.

"Kapan aku mengatakan bahwa aku manusia?" Rayzel menyahut, iris matanya berubah semula.

Hitam.

Shinta tersentak, matanya bahkan terbelalak, "Kau—" Gadis cantik itu kehabisan kata-kata, ia meneguk ludahnya susah payah, "Tunggu... matamu?"

"Sebentar lagi..." Rayzel berbisik, suaranya yang tidak terlalu pelan membuat Shinta bisa mendengarnya dibalik kesunyian malam. Rayzel menatap Shinta sejenak, lalu mengalihkan tatapannya pada jam dinding kuno di sampingnya. Pria itu mendirikan tubuhnya perlahan.

Shinta mengikuti arah pandang Rayzel, ia menatap aneh jam kuno itu. Pukul 23.59. Gumamnya dalam hati, satu menit lagi menuju jam tengah malam. Sejenak, dahinya mengernyit dengan bingung, matanya kembali teralih, menatap waspada pada pria yang berjalan pelan kearahnya. Ia mendelik sesaat, ketika sosok Rayzel semakin mendekat.

"Mau apa kau?" Shinta mendesis, ia menyeret kedua kakinya, lalu memundurkan tubuhnya dengan susah payah hingga punggungnya membentur kepala ranjang di belakangnya. Shinta mengumpat dalam hati, ketika merasakan kakinya kram dan mati rasa. Sialan. Batinnya. Ia ingin kabur dari sini, tetapi, jangankan untuk berlari, bahkan untuk menggerakkan kakinya saja Shinta merasa kesulitan. Entah apa yang sudah pria itu lakukan pada tubuhnya ketika ia tengah pingsan.

Rayzel mengamati Shinta yang tengah panik di depannya, sudut bibirnya terangkat. Seringaian itu memperlihatkan gigi taringnya yang runcing, tidak panjang memang, tetapi tetap saja aneh untuk ukuran manusia normal. Shinta berpikir sejenak.

Mengapa ini terlihat familiar? Batinnya. Melihat gigi taring itu, entah mengapa ia jadi pada gigi taringnya sendiri.

Shinta merasakan bayangan seseorang menutupi penerangan lampu yang temaram. Gadis itu tersentak lalu mengangkat kepalanya. Matanya membelalak ketika mendapati Rayzel sudah berdiri menjulang di hadapannya. Tatapan Shinta tenggelam, terperangkap pada dua iris mata merah yang balas juga menatapnya. Shinta meneguk ludahnya dengan kasar, ia merinding ketika mata merah itu menelusuri tubuhnya dari atas hingga bawah. Ia bergerak dengan kaku.

Shinta sungguh ingin melawan, menendang pria itu lalu berlari keluar sejauh-jauhnya, namun kondisinya tidak cukup menguntungkan. Pria ini benar-benar berhasil untuk membuatnya terpojok.

"Menjauh dariku!" Shinta terpekik nyaring, gadis itu membuang tatapannya ke sembarang arah.

Rayzel bergeming ditempatnya, ia bungkam, matanya terpaku pada leher putih yang dihiasi helai rambut indah sang gadis. Beberapa saat kemudian, dentingan lonceng dari jam kuno yang menempel dinding menggema, memecahkan kesunyian.

Pukul 00.00, tengah malam.

Shinta tertegun sejenak ketika ia mendengar suara jam, namun ia kembali tersentak saat merasakan sesuatu menyentuh lehernya. Shinta meneguk ludahnya susah payah, napasnya tercekat. Lidah itu menjilatnya lalu meninggalkan jejak-jejak basah yang mendingin. Tubuh Shinta bergetar bergairah. Darahnya meluap, hawa dingin menyelimuti kulitnya. Sentuhan itu menenggelamkan akal sehatnya hingga ke dasar.

"Entah berapa lama aku menantikan saat ini, Shinta..." Bisikan intim itu terdengar, pria itu menyebutkan nama Shinta dengan suara seraknya yang indah, "Berhentilah menjauh, Ratuku... Datanglah sekarang padaku, jadilah milikku, biarkan aku menandaimu sebagai belahan jiwaku."

Ucapan itu berputar di kepala sang gadis, berulang-ulang hingga membuat dirinya hampir gila. Shinta membuka mulutnya, namun tak ada satupun kata yang terucap, hanya hembusan napas panas bergantian yang menerpa wajah pria tampan di hadapannya. Tubuhnya bergetar, darahnya berdesir dengan cepat. Ia menarik tangan kanannya dengan cepat, lalu mencengkeram baju kaosnya tepat di bagian dada. Napasnya terengah, Shinta merasakan jantungnya akan pecah. Sial. Umpatnya. Kenapa hal ini terjadi lagi! Shinta meraup oksigen sebanyak yang ia bisa, ketika merasakan dadanya teramat sesak.

"Ugh, sa...sak-hit!" Shinta memekik kesakitan, ia merasa seperti jantungnya diremas begitu kuat dari dalam.

"Jangan menolaknya, Sayangku... Memaksakan dirimu hanya akan menambah penderitaanmu." Rayzel mengusap intim tengkuk sang gadis, membuat gadis itu menatapnya dengan napas tercekat.

"A-ku... Aku kena-pa?" Tanyanya susah payah. Tenggorokannya terasa kering, ia berkali-kali meneguk ludahnya dengan kasar. Rasa haus tiba-tiba menyerangnya hingga Shinta kepanasan. Shinta haus! Ia benar-benar sangat haus! Matanya memejam sejenak kemudian kembali terbuka dan menatap Rayzel. Shinta merasakan pandangannya berubah dan memburam. Sekilas ia melihat Rayzel mengamatinya dengan sorot mata terpana.

"Indah..." Gumamnya. Rayzel menjalarkan telapak tangannya yang dingin ke wajah Shinta, "Warna merah itu menjadikan matamu semakin indah...."

Shinta tersentak, tubuhnya menggigil. Perlahan, ia menatap kaca rias yang berada dibalik tubuh Rayzel, kemudian membelalakkan matanya dengan lebar. Iris mata itu. Iris mata Shinta berubah menjadi merah. Beberapa saat kemudian, napasnya kembali tercekat, ia mendesah dengan lemah. Rasa haus kembali membuat tenggorokannya seakan terbakar.

"Rayzel, a-ir...air..." Tangannya menggapai tangan Rayzel yang masih menempel dipipinya, "Haus—hah...hah... Astag-ha...ini menyak-kit...kan—ugh...."

Napas Rayzel menderu, seiring gigi taringnya yang semakin panjang. Kedua tangannya terangkat, membuka satu persatu kancing kemeja yang ia kenakan, lalu melemparkan baju itu ke sembarang arah. Disela kesakitannya yang mendera, mata merah Shinta menatap dada bidang yang terpampang tanpa sehelai kain. Bulir-bulir keringat yang mengkilap, menghiasi kulit putih nan mulus. Pandangan Shinta jatuh, terpaku pada leher dan rahang tegas yang menyita segala perhatiannya.

Shinta meneguk ludahnya susah payah. Desiran darah tak kasat mata itu memenuhi indera pendengarannya. Keharuman yang asing menelusup ke dalam penciuman, hingga membangunkan hasrat aneh yang harus tersalurkan. Lidah Shinta terjulur sekilas, membasahi bibir bawahnya dengan saliva, seakan mengundang Rayzel untuk melumat habis bibir itu. Tangan putih sang gadis merangkul pada kedua pundaknya, wajah cantik itu bahkan semakin mendekat. Rayzel memiringkan kepalanya, mengakses permukaan lehernya agar lebih leluasa terlihat. Pria tampan itu menyeringai, mengundang Shinta untuk mengikuti instingnya.

"Lakukan, Ratuku... Datang dan serahkan dirimu padaku..." Ia berbisik dengan bergairah.

*****

Next : Chapter 9 - Bagian 2

Vote dan komentar ya, makasih^_^

The Prince Vampire : Empress Of The Pure BloodWhere stories live. Discover now