7. Sandiwara (yang) Hangat.

643 89 34
                                    

Jisoo menekan tombol panggil. Kemudian menempelkan ponsel di telinganya. Baru satu kali nada tunggu, panggilan darinya sudah diangkat.

"Kamu dimana?" tanya si penerima tanpa basa-basi.

Tanpa sadar Jisoo tersenyum. "Di depan perpustakaan Seoul."

"Baiklah. Aku segera kesana." Panggilan mereka diputus begitu saja. Membuat Jisoo bingung. Ia mengangkat bahunya dan memilih duduk di kursi halte bus menunggu si penerima panggilan menjemputnya.

Sekitar lima belas menit menunggu, akhirnya mobil hitam milik Jinyoung berhenti dihadapan Jisoo. Kacanya terbuka menampakkan sosok Jinyoung duduk dikursi kendali. Laki-laki itu mengisyaratkan Jisoo untuk segera masuk.

"Terimakasih sudah mau menjemputku," ujar Jisoo mencoba sedikit mencairkan suasana dingin. Padahal ia sadar betul suasana tidak menyenangkan ini ia-lah yang sudah membuatnya.

"Hmm. Lagipula kita memang harus datang bersama ke rumah orang tuamu kan." Tutur Jinyoung menepis kebahagiaan yang sedang ia coba bangun sendiri.

Perjalanan tidak berjalan mulus. Jalanan Seoul pada Sabtu malam terbukti padat. Banyak orang berhamburan keluar tempat istirahat mereka dan mencari kebahagiaan setelah satu pekan bekerja ataupun belajar.

Jisoo menoleh pada Jinyoung. "Jinyoung,"

"Hmm?"

"Aku ingin membuat permintaan," ragu Jisoo.

"Apa itu?" Jinyoung meredam rasa bahagia dalam dirinya. Mungkinkah Jisoo perlahan mulai membuka hatinya atau mungkin hanya perasaan Jinyoung saja yang berlebihan.

Jisoo menggigit bibir bawahnya. Kemudian berkata. "Bantu aku bersandiwara didepan kedua orang tuaku."

Jinyoung menoleh pada Jisoo. Kedua manik mereka bertemu sesaat sebelum Jinyoung kembali fokus pada jalanan.

"Tentu," Setuju Jinyoung. "Semua orang hanya perlu tau kita bahagia." Ya kita, bukan hanya aku saja. Kalimat terakhir hanya bisa Jinyoung telan bulat-bulat tanpa terucap.

"Dan juga..."

---

"Selamat malam eomma." Jisoo menyambut pelukan hangat sang Ibu. Nyonya Kim. "Aku merindukanmu." Bisik Jisoo pada sang Ibu yang mengelus-elus lembut punggungnya.

"Akupun sayang." balas Nyonya Kim.

Nyonya Kim melepaskan pelukkannya pada Jisoo dan kini beralih pada Jinyoung yang berdiri disampingnya. "Jinyoung,"

Jinyoung menundukkan badannya memberi salam. "Selamat malam eomma." Sapanya tidak lupa memamerkan senyuman hangat.

"Malam," Nyonya Kim langsung memeluk Jinyoung. Sama seperti pada Jisoo ia mencoba memberi rasa nyaman dan hangat pada sang menantu.

"Jangan terlalu lama berdiri didepan pintu." Suara Tuan Kim terdengar dari balik tembok pembatas ruang tamu dengan ruang tengah rumah bergaya minimalis keluarga Kim.

Bila dibandingkan dengan rumah Jinyoung. Rumah keluarga Kim terbilang jauh lebih sederhana. Ruang tamu yang minimalis dan hanya ada lima kamar. Satu kamar utama dan tiga kamar untuk anak-anak mereka. Sementara satu kamar untuk tamu yang berkunjung.

"Makanlah," Jinyoung memberikan steak yang sudah ia potong-potong pada Jisoo. Tentu saja Jisoo menyambutnya sikap Jinyoung dengan senyuman hangat.

"Terimakasih." Kata Jisoo dengan gembira. Mereka bertukar piring.

"Jangan mengumbar keromantisan." Celetuk Yugyeom diikuti tawa yang lain. Kecuali Yura. Ia hanya tersenyum malas.

Tuan Kim menepuk pundak anak laki-lakinya. "Makannya, carilah kekasih." Canda tuan Kim menambah tawa hangat diruang makan.

STAND by MEWhere stories live. Discover now