Dua puluh

4.2K 405 53
                                    

jika hati suda bicara
akal sehat tak lagi berguna

Jam-jam sibuk mempengaruhi keadaan dan kondisi lalulintas. Banyaknya kendaran yang berlalu-lalang, membuat mobil yang dikendarai oleh Eza, tidak bisa berjalan cepat.

Di tengah kegelisahannya, Eza teringat akan tanggung jawabnya di kantor. Pemuda itu tidak bisa lari begitu saja meninggalkan pekerjaannya. Selain itu, ini adalah hari pertamanya masuk kantor--setelah libur selama beberapa hari. Ia tidak ingin menimbulkan tanya, dari orang-orang kantor atas ketidakhadirannya bersama Arga dan juga Tias.

"Ga, tolong ambilin HP ku di kantung celana." pinta Eza pada pemuda yang duduk di sebelahnya. Kedua tangan nya sedang sibuk mengemudi. Jalan yang terlalu padat membuat ia tidak ingin melepaskan pegangannya pada stir mobil.

Tanpa banyak bertanya, Arga merogoh kantong celana milik Eza--mengambil HP yang terselip di sana.

"Cari nomor kantor ya, telfon bagian resepsionis."

Lagi-lagi tanpa banyak berbicara, Arga melakukan sesuai perintah. Setelah menemukan nomor telfon yang dimaksud, Arga menempelkan HP itu ke telinga kekasihnya.

"Halo Dewi," ucap Eza setelah panggilannya tersambung. "Saya Reza Ramadhan manager bagian pemasaran. Tolong sampaikan sama pak direktur, hari ini saya, Arga dan Tias datang terlambat. Ada urusan mendadak yang harus diselesaikan."

"..."

"Terima kasih Wi."

Arga menjauhkan phonsel dari telinga Eza, lalu memasukan kembali pada saku celananya.

"Jangan panik," ucap Arga mencoba menenangkan kekasihnya.

Eza membuang napas gusar. Jalanan yang semakin macet membuat pemuda itu semakin terlihat gelisah.

***

Tias masih duduk bersilang di kursi taman, kedua tangannya ia lipat diparut, dan tatapan nya kosong menghadap ke arah depan.

"Ti-tias."

Suara berat dan sedikit terbata dari arah belakang, membuat Tias memutar tubuh, lalu mendapati dua pemuda yang sedang berdiri sambil merundukkan kepalanya.

Arga dan Eza tidak berani menunjukan wajahnya di hadapan Tias.

Tias menghela napas panjang sebelum akhirnya ia beranjak dari duduknya, lalu berjalan perlahan mendekati dua pemuda itu.

Gadis itu mematung, menatap secara bergantian wajah pemuda yang terlihat salah tingkah. Melihat jakun mereka yang terlihat naik turun, sepertinya dua pemuda itu sedang menelan ludah.

"Tias."

Plak...!!

Tamparan keras yang mendarat kuat di pipi Eza, membuat Arga tersentak kaget. Ia menatap kasihan pada pemuda yang sedang memegangi jejak tamparan di pipinya.

Arga dan Eza kembali merunduk, seolah takut menatap wajah Tias. Wajah yang biasanya selalu terlihat ceria, imut dan menyenangkan, namun hari ini wajah itu terlihat sangat menyeramkan.

Manik mata Tias melirik telapak tangannya yang baru saja ia gunakan untuk menampar sahabatnya. Tamparanya sangat kuat, membuat ia juga merasakan sedikit sakit pada telapak tangannya.

Lalu bagaiman dengan Eza? Pasti lebih sakit. Rasa penyesalan terlihat jelas di raut wajah Tias. Ini adalah kali pertamanya ia memberikan tamparan pada sahabat yang paling disayanginya.

Mengabaikan rasa penyelasanya, Tias menatap marah pada sahabatnya.

"Sejak kapan...?" Pertanyaan itu Tias tujukan untuk sahabatnya. "Sejak kapan kamu kayak gini Eza...?"

TERBIASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang