TITIK AKHIR I

56.7K 6.1K 248
                                    

Aku menatap bocah lelaki yang kini meletakkan kepalanya di atas tanah merah itu. Air matanya masih bercucuran membasahi pusara di depanku. Harusnya aku merasa iba karena akan terlihat lebih manusiawi jika aku turut menangis. Hanya saja kelenjar air mataku tak bisa memproduksi apa-apa diakibatkan rasa murka yang mengalahakan segala duka.

Dia yang kini sesenggukan di sana, yang mengambil peran paling menderita telah menghancurkan setiap rajutan kisah manis yang hari ini resmi menjadi kenangan penuh kebohongan dalam hidupku.

Jutaan manusia mungkin akan menghujatku karena mengambil peran antagonis untuk kisah pilu dari sudut pandang bocah lelaki itu, tapi aku tak peduli. Rasa pedih di dadaku tak akan bisa dihentikan hanya karena takut penghakiman. Ini pertama kalinya aku diakali waktu, dipecundangi takdir dan digariskan lelucon paling mengerikan oleh Tuhan. Dan rasanya benar-benar membuat muak.

"Hira... kamu masih ingin tinggal di sini?"

Pertanyaan Rahayu tak membuat aku mengalihkan tatapan dari bocah yang kini dengan jemari mungilnya menggenggam tanah merah itu. Rasa sakitku semakin menjadi. Jika hari ini tiba, seharusnya aku yang bersimpuh di sana, seharusnya aku yang meraung tak rela. Bukan dia, sang putra mahkota yang telah merebut lelaki tercintaku.

"Biarkan saja Hayu, Hira mungkin masih ingin lebih lama bersama Om untuk terakhir kalinya."

Suara Osha menambah sayatan di dadaku. Ini memang terakhir kalinya. Karena sekarang aku telah terpisah dimensi berbeda dengan lelaki terhebat dalam hidupku. Lelaki dengan senyum paling menenangkan, pelukan terhangat dan perlindungan tanpa batas. Lelaki yang pergi tanpa terlebih dahulu mengecup keningku, mengucapkan kata perpisahan penuh kelembutan seperti saat ia akan pergi bekerja. Meninggalkanku dengan sebuah realita mengerikan, bahwa meski aku selalu ia sebut mataharinya tapi ternyata tak pernah cukup untuk merubah fakta, ada manusia lainnya yang memanggilnya papa.

Rasa panas semakin menggelegak di tubuhku. Rasanya aku ingin menyeret bocah yang kini telah duduk dan memeluk nisan di mana nama papaku akan tertera abadi di sana. Bocah yang mereka sebut tak berdosa itu telah mengambil terlalu banyak ruang di masa yang harusnya kuisi dengan tangisan duka cita.

Aku mengepalkan tangan yang bergetar, berusaha sekuat tenaga untuk tidak menggila dan lebih memperburuk suasana berkabung ini. Ujung kakiku menancap pada tanah, berusaha keras agar tak melangkah menuju tempat bocah lelaki itu berada. Usaha yang membuat kepalaku terasa akan pecah, bahkan amarah tak cukup untuk menggambarkan apa yng kurasa sekarang.

"Jangan, Nak, jangan tambah duka Mama."

Menoleh aku menemukan wajah kuyu dengan mata sembab dan pipi yang masih dialiri air mata mamaku. Wanita yang telah melahirkanku ke dunia ini meyusuri kepalan tanganku dengan jarinya yang mulai keriput. Perlahan membuka satu-persatu jariku yang tergenggam erat lalu mengisi celahnya dengan jari-jari rapuh mama. Rasa sakitku semakin menjadi-jadi dan untuk pertama kalinya setelah menghabiskan satu jam lamanya penuh teriakan sakit saat mendengar kematian papa, aku kembali menitikan air mata, menatap hampa nisan pria yang sampai kemarin masih menjadi pusat duniaku, pahlawan terhebatku.

"Lihat, Papa... Papa menghancurkan cintaku dan Mama."

Aku mengapus air mata saat mama mendekatkan tubuh lalu menenggelamkan wajahnya pada lenganku. Suara isakan mama dan lengan bajuku yang basah membuatku mendongak menatap langit. Mempertanyakan kenapa dari berjuta bentuk takdir manusia yang digariskan Tuhan, aku menerima satu ketentuan yang sangat konyol dan mengerikan ini.

Awan yang berarak perlahan dan cakrawala yang mulai berubah warna menjadi jingga adalah pertanda bahwa hari ini harus dicukupkan sampai di sini. Selama apa pun aku menunggu, papa tidak akan pernah kembali untuk memberi seluruh penjelasan yang kubutuhkan. Tubuhnya akan tetep bersemayam dalam pelukan bumi dan jiwanya sekarang telah kembali kepada pemilik segala makhluk di dunia ini.

Jika ini kisah kematian biasa tentu aku akan segera belajar untuk rela, toh papa lelaki baik dan Tuhan mencintai makhluknya yang baik, jadi mempercayai keberadaan papa pada Tuhan jelas adalah tindakan yang tepat, tapi sekali lagi ini bukanlah kisah kematian biasa. Papa meninggalakan dunia tanpa membawa serta bukti rahasia yang coba ia tutupi seumur hidup dariku dan mama, sebuah pengkhianatan dengan bukti berupa bocah lelaki yang masih terus-menerus menangis memanggil namanya.

Aku menundukkan wajah, mengambil napas dalam saat genggaman mama di tanganku semakin mengerat dan isakan bertambah pilu. Butuh dua detik hingga aku akhirnya kembali menegakkan kepalaku, menatap bocah yang entah sejak kapan kini juga melihat ke arahku.

Matanya yang jernih dan bulat bertuburkan dengan manikku yang menajam. Tubuhku bergetar. Aku hampir kehilangan akal saat tiba-tiba tubuh bocah lelaki itu diangkat dan ditenggelamkan dalam pelukan seorang lelaki yang sejak tadi setia berdiri di sampingnya.

Aku menatap punggung kecil bocah itu yang bergetar karena isakannya, sebelum mengalihkan tatapan pada sosok lelaki yang kini menatapku penuh peringatan.

Bayanaka Niscala Danadyaksa, putra tertua dari wanita yang harusnya mati bersama papa sekaligus kakak dari bocah lelaki yang juga baru dunia ketahui sebagai adik kandungku sendiri.

Satu sudut bibirku membentuk seringai menantang. Jika ia mengira aku gentar, jelas itu salah besar. Ada darah Mahawira yang mengalir dalam tubuhku sebagai sebuah bukti bahwa aku tidak akan berhenti. Bahwa kelak wanita yang ia panggil bunda itu harus membayar tuntas atas rasa sakitku dan air mata mamaku hari ini.

Tbc

Love,

Rami

Udah dibilang jangan tegang dolo😂😂

Titik AkhirWhere stories live. Discover now