TITIK AKHIR IV

36.9K 5K 199
                                    

Ini adalah pagi yang canggung, suasana sarapan yang benar-benar membuatku ingin segera kabur. Satu meja dengan Bayanaka dan Taksa bukanlah hal yang bisa membuatku menikmati makanan, terlebih bocah lelaki itu terus menatapku sedari tadi bahkan saat dia menyendok nasi ke dalam mulutnya.

"Ibu masih di kamar, beliau meminta Non Hira, Den Bayanaka dan Den Taksa sarapan duluan."

Suara Bi Maryam yang kini meletakkan piring putih besar berisi beberapa telur goreng di atasnya membuatku memejamkan mata sejenak. Jika tahu mama tidak akan ikut sarapan maka aku lebih memilih menahan lapar dan makan saat jam istirahat di kantin sekolah nanti.

"Tante Amira kenapa, Bi Yam?"

Suara Bayanaka mendahului pertanyaan yang hendak keluar dari mulutku.

"Ibu kurang enak badan, Den. Tadi saja pas saya mau membereskan kamar Ibu, beliau masih tidur."

Penjelasan dari Bi Maryam membuat rasa bersalah menelusup ke hatiku. Hubunganku dan mama setelah perdebatan kami terakhir menjadi renggang. Aku selalu berusaha menciptakan jarak agar mama tidak mendekat. Ini jelas sesuatu yang salah. Mama sangat terpukul dan masih berkabung, bagaimana pun papa adalah suami dan laki-laki yang sangat dicintai mama, jadi deritanya mungkin lebih besar dari apa yang kurasakan. Hanya saja aku juga membutuhkan waktu untuk menata hatiku. Keputusan mama yang tidak bisa dihalangi tentang keberadaan Taksa di rumah ini membuatku sangat kecewa.

Aku masih melamun saat tiba-tiba Bayanaka meletakkan satu telur goreng ke piringku. Ada senyum di bibirnya, senyum yang terlihat tidak mudah dimengerti. Lelaki itu selalu bertindak tidak terduga dan sesuka hati. Bahkan aku sering gelagapan karena tidak bisa menentukan reaksi apa yang harus kutunjukkan untuk merespon tingkahnya. Seperti sekarang, aku lebih memilih menekuri piringku dan tak berucap apa pun.

"Apa Kakak mau pergi?"

Untuk beberapa saat tanganku yang hendak menyuap makanan tergantung di udara ketika suara Taksa yang jernih terdengar. Aku berusaha semampu mungkin menjaga ekspresi tenangku saat tak sengaja melirik Bayanaka yang kini kembali tersenyum simpul.

"Iya." Berusaha tak menoleh pada Taksa aku akhirnya menjawab singkat. Sedikit terdengar ragu. Bocah ini tidak seperti dugaanku. Sikap tenang dan diamnya yang biasa ditunjukkan pada orang lain langsung hilang jika bertemu denganku. Pernah tak sengaja aku melihat interaksi Taksa dan Bayanaka, bocah itu tak banyak bicara. Tidak bersikap manja seperti kebanyakan anak lainnya pada kakak mereka.

Aku mengira setelah pemakaman papa dia akan sering menangis dan mencari bunda mereka, tapi ternyata tidak, bocah lima tahun itu seolah mengerti tragedi yang terjadi diantara keluarga kami. Terdengar mustahil memang, tapi rasanya tidak wajar jika bocah yang seharusnya masih sering merengek dan manja bersikap lebih dewasa dari umurnya. Bicara seadanya dan bertingkah sewajar orang-orang yang sudah tidak duduk di bangku Taman Kanak-Kanak lagi.

Jadi sekarang ketika dia terus memperhatikanku dan mulai mengajakku bicara, aku diserang gugup luar biasa. Bagaimana harus bersikap pada bocah tanpa dosa yang merupakan anak dari wanita yang paling kubenci di dunia?

"Mengajar?"

"Iya."

"Kakak Ibu Guru?"

Kenapa bocah ini terus bertanya?

"Iya."

"Di mana?"

Ya Tuhan tidak bisakah dia diam?

Kali ini aku tak bisa menahan diri untuk menoleh ke arahnya. Bocah itu menatapku penuh rasa ingin tahu yang apa adanya.

"Di Taman Kanak-kanak."

Alis Taksa terangakat tinggi saat matanya melebar, ada pijar di sorot itu. Apa hebatnya menjadi guru Taman Kanak-Kanak? Bahkan dulu keluarga papa sempat mencemooh keputusanku saat memilih pekerjaan ini. Mereka mengatakan dengan kecerdasan dan kemampuan finansial orang tuaku, menjadi Dokter sekalipun bukan hal mustahil. Ah... bagaimana aku lupa bahwa pandangan orang dewasa dan anak kecil jelas berbeda. Anak-anak jelas memandang segala sesuatu secara lebih sederhana tanpa adanya jabatan dan martabat yang harus dijaga.

"Kakak bisa nyanyi? Bisa nari?"

"I-ya."

Nyatanya jawaban monotonku tak membuat senyum urung merekah di bibir bocah itu.

"Pasti seneng punya Ibu Guru yang cantik, pintar nyanyi dan nari. Ibu Guru Aksa gendut semua dan ada yang tua kayak Bunda dan Tante Amira."

Kali ini aku tidak bisa merespon apa-apa. Lidahku terasa kelu. Demi Tuhan aku terbiasa menghadapi berpuluh anak yang lebih cerewet dari Taksa, tapi dengan bocah ini, semuanya terasa sulit bahkan hanya untuk komunikasi biasa.

"Aksa juga sudah sekolah lho, Kak, tapi sekarang nggak pernah masuk lagi."

Tak sengaja aku dan Bayanaka berpandangan. Secara menakjubkan kami seolah memahami maksud perkataan dari bocah itu. Ia ingin kembali bersekolah, bertemu dengan teman-temannya yang berarti selama ini bocah itu kesepian. Tentu saja berada di rumah asing dengan lingkungan baru tanpa didampingi ibu dan ayah jelas hal sulit untuk bocah berumur lima tahun.

"Nanti Kak Naka coba bicara dengan Tante Amira, semoga Adek bisa ikut sekolah bersama Kakak Hira."

Aku melotot. Tidak percaya pada ide gila yang baru saja dicetuskan Bayanaka. Lelaki itu menatapku tanpa rasa bersalah membuatku mengenggam sendok dan garpu semakin erat.

"Emang boleh?" Ada nada antusias dalam suara Taksa.

"Tentu boleh, iya kan Kak Hira-nya Taksa yang cantik dan baik hati?"

Mata jernih Taksa yang kini menatapku penuh harap membuatku menelan ludah yang terasa pahit. Aku harus menjawab apa?

"Kayaknya nggak boleh ya, Kak?"

Kekecewaan bercampur malu melintas di wajah Taksa sebelum bocah itu kembali menyendok satu suapan besar nasi ke dalam mulut. Aku kesal pada diriku sendiri. Melihat bocah kesepian itu membuat sisi hatiku yang lain terasa pedih.

"Nanti coba tanyakan pada Ma... maksudku Tante Amira."

Jawabanku sontak membuat Bayanaka dan Taksa langsung menatapku takjub bersamaan, buru-buru aku bangun dan menggeser kursi dengan betis belakang. Iyap... aku harus pergi, terlalu lama bersama dua manusia ini hanya akan membuatku sakit kepala.

Mengambil tas yang tadi kuslempangkan di sandaran kursi. Aku bersiap melangkah sebelum suara Taksa yang kini sudah berdiri di dekatku menghentikan niat itu.

"Kakak belum minum kan? Ini Aksa udah minta tolong Bi Yam nyediain minuman bekal buat Kakak."

Untuk waktu yang cukup lama aku hanya mampu menatap botol air minum mungil berbentuk beruang hijau itu, sebelum dengan tangan yang gemetar meraihnya. Berjalan melewati pintu keluar aku menggigit bibir kesal, kenapa tidak mengucapkan terima kasih pada bocah itu membuatku merasa bersalah?

"Terima kasih karena sudah bersikap baik pada adikku, Bu Guru."

Aku memicingkan mata pada Bayanaka yang kini berjalan mensejajarkan langkah denganku. "Aku bukan anak TK yang butuh ucapan terima kasih."

"Sebenarnya lebih mudah jika kamu hanya menjawab 'sama-sama Kak Bayanaka'."

Aku mengehentikan langkah, mensedekapkan tangan dan menatap Bayanaka seolah lelaki itu sudah kehilangan akal.

Iya... dia memang benar-benar kehilangan akal.

Dunia pun tahu bahwa aku lebih memilih memotong pendek rambut panjang kesayanganku daripada memanggilnya kakak.

"Teruslah bermimpi Pahlawan Tanpa Topeng!"

Suara tawa membahana Bayanaka mengiringi langkahku yang akhirnya memilih menumpangi taksi untuk berangkat ke sekolah pagi ini.

Tbc

Love,

Rami

Nasihat part ini adalah :

Ini kisah Hira-Bayanaka. Camkan itu! Muahahahhaha....

Follow ig @ramiamalia

Titik AkhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang