Tujuh

1.1K 163 92
                                    

Misteri hilangnya kabar Edward selama dua tahun akhirnya terpecahkan. Ternyata selama dua tahun itu, Edward melanjutkan studi ke Arab Saudi, memperoleh beasiswa untuk kuliah jurusan Ushul Fikih di salah satu universitas di sana. Dan yang membantu serta mengurusi semua proses administrasinya adalah Rais, sepupu satu kaliku.

Lo beruntung Ed. Tulisku.

Edward membalas chat-ku dengan mengutip satu ayat dari Al-Qur'an,

Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. (Q.S. Muhammad : 7)

Aku tersenyum membaca ayat itu. Sungguh Allah Maha Adil.

Dan sekarang, aku harus siap menghadapi kenyataan yang mendebarkan. Rapat telah selesai, berarti giliran Om Harry untuk bertemu langsung secara empat mata dengan Tuan Arif Rahman--alias Edward. Hatiku berkecamuk. Apa yang akan terjadi nanti? Apakah Om Harry mampu mengenali Edward setelah lima tahun lamanya berpisah? Jika iya, Bagaimana respon beliau begitu mengetahui bahwa mitra bisnisnya itu adalah putranya sendiri? Ah, aku tidak berani membayangkannya.

***

"Selamat siang." Om Harry menjabat tangan Tuan Arif.

"Siang." Jawab Tuan Arif sambil tersenyum.

Congratulations Om. Om baru saja bersalaman dengan orang yang paling Om benci. Batinku.

Aku ada di situ, diam seribu bahasa. Tuan Arif menjabat tanganku, masih sambil tersenyum. Awkward.

Setelah itu, Om Harry mulai masuk ke topik utama pembicaraan. Tuan Arif mendengarkan dan menanggapi semua pertanyaan Om Harry dengan tenang.

Aku masih diam. Hatiku tak karuan. Aku menantikan momen di mana Om Harry akhirnya sadar bahwa pemuda tampan yang ada di hadapannya itu adalah Edward, darah dagingnya sendiri.

Tapi semua itu tidak terjadi.

Empat puluh menit lamanya mereka berdiskusi, belum ada tanda-tanda kalau Om Harry ngeh dengan wajah anaknya sendiri. Dan Edward masih bersikap seakan-akan dirinya adalah orang asing bagi Om Harry.

Aku ingin besuara, tapi mulutku seperti terkunci. Aku ingin berteriak dengan lantang, tapi semuanya tertahan di kerongkongan. Ada apa denganku? Tiga tahun lamanya aku mencoba membujuk Edward agar kembali ke Jakarta untuk bertemu Om Harry, siang dan malam. Berusaha mengembalikan teman baikku itu ke habitat aslinya. Tapi semua selalu sia-sia. Edward bersikukuh untuk tetap di Papua. Dan sekarang, mereka berdua duduk di hadapanku, bercengkrama dengan akrab, dan aku hanya butuh satu kalimat saja untuk menjelaskan semua kekonyolan ini!

How stupid i am!

Akhirnya pertemuan selesai. Om Harry dan Tuan Arif berdiri.

"Terima kasih banyak Tuan, saya mendapat banyak pencerahan dari diskusi singkat kita tadi." Wajah Om Harry tampak berseri.

"Ah tidak. Justru sayalah yang harus banyak belajar dari Bapak." Balas Tuan Arif merendah.

"Saya berharap kita bisa bertemu lagi secepatnya." Lanjut Om Harry.

"Saya pun berharap demikian."

"Saya permisi dulu."

"Silahkan."

Om Harry berjalan menuju pintu keluar, aku mengikutinya dari belakang, berjalan pelan-pelan. Kepalaku menoleh ke arah Tuan Arif. Tuan Arfi masih berdiri di tempatnya sambil tersenyum. Aku balas tersenyum, senyum yang dipaksakan. Tuan Arif mengedipkan sebelah matanya.

Lo emang udah gila, Ed.

EDWARDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang