Part 1

10 2 0
                                    

Namaku Dedi Ule. Aku adalah seorang lelaki yang berasal dari tanah sunda. Kini aku duduk dibangku sekolah dasar di desaku tercinta. Sekolahku terletak di dekat balai desa yang berpalang SDN Panjakarang 80. Aku membenci kasur ringan dan baju hangat. Aku tinggal di sebuah rumah dekat sawah, dan memelihara seekor kucing. Keluargaku terdiri dari Ayah, Ibu ,juga kucing yang kunamai Tikus dan bibi yang siap setiap hari menemani keseharianku. Ayahku bilang kalau aku dapat mengandalkan segala hal ke bibi dan aku pun melakukanya.

Ayahku adalah seorang jaksa yang bertugas di tanah air surgawi kita ini. Ibuku adalah seorang yang tidak pernah ada di hidupku, sebuah kenihilan yang berada di keluargaku. Ibuku selalu mengatakan kebohongan. Apapun yang terjadi ia selalu bertindak berdasarkan kebohongan.Ayahku selalu mengatakan kejujuran. Apapun yang terjadi ia selalu bertindak berdasarkan kejujuran. Kejujuran adalah hal yang paling penting. Kejujuran tidak boleh dilupakan. Itulah hal yang diterapkan ayahku, Eundeung Karta , sejak aku masih bayi. Ia berkata bahwa hal-hal tersebut sangatlah penting untuk diingat , demi mencari arti diri sendiri.

Namun aku masih seorang budak bolon, yang memandang dunia secara naïf. Sehingga duniaku hanya sebesar daun kelor dan aku tidak mengerti hal-hal yang selalu disampaikan ayahku pada saat itu. Hingga suatu hari, aku meminta untuk dibelikan mainan oleh ayahku.

"Abah , belikan Dedi mainan ya ? Teman-teman SD Dedi semuanya punya mainan tersendiri. Dedi juga mau bah, punya mainan seperti mereka", ucapku dengan nada meminta.

Namun ayahku hanya membalasnya dengan senyum tipis yang tidak berarti. Dengan sedih pun aku memutuskan untuk berjalan-jalan mengelilingi desa, dengan segelintir harapan kesedihanku akan menghilang. Aku berkeliling melewati balai desa, SDN Panjakarang 80, lalu berenang di curug berharap menemui tujuh bidadari khayangan yang sedang mandi disana, seperti dongeng Jaka Tarub. Aku pun berenang, meloncati batu dan bermandi ria disana. Sambil berlaga bagai penyelam handal yang melakukan ekspedisi dan melakukan segala tindak kebodohan lainnya yang biasa dilakukan anak kecil. Kesedihanku tentang tidak memiliki mainan pun mulai surut.

Setelah puas berenang di curug itu, aku mengajak temanku untuk bermain petak umpet di dekat sawah Pa Ori. Sawah Pa Ori adalah sawah terluas sedesa ini, sehingga kami leluasa bermain disana. Pa Ori sendiri tidak pernah marah jika kami bermain disana, tidak seperti pemilik sawah yang lain.

Dengan melakukan hompimpa, sebuah kelompok petak umpet pun terbentuk. Kami pun bersenang-senang bermain petak umpet, hingga embun pun mengering terkena terik matahari siang. Pada dasarnya kami semua kelelahan di dalam kesenangan kami, namun seorang budak bolon tenaganya tidak pernah habis. Itu adalah salah satu peraturan tidak tertulis di tiap-tiap benak budak bolon. Senang sekali bermain bercanda tawa bersama teman-teman.

Setelah bermain petak umpet, teman-temanku pada akhirnya bermain dengan mainan mereka. Aku pun hanya bisa duduk diam menunggu seseorang meminjamkan mainanya padaku. Kesedihanku yang semula sudah diobati kini mulai terasa lagi. Rasanya menyesakkan melihat orang lain bermain hal yang tidak dapat kumaini dan hanya kuasa untuk menyoraki mereka. Dalam benakku aku terus menerus memikirkan berbagai cara untuk dapat mendapatkan mainan tersebut, karena ayahku pastinya tidak akan membelikanku mainan tersebut.

Hingga aku memutuskan untuk kembali pulang karena matahari sudah mulai berubah menjadi bulan yang penuh dengan kegelapan. Aku tidak ingin membuat bibi dan ayah khawatir atau berpikir bahwa aku diculik, karena jaman sekarang tentulah penculikan anak-anak sangatlah marak. Disaat perjalanan pulang ke rumah, aku melihat seorang nenek-nenek yang membawa banyak bawaan dipunggungnya ditemani seekor kambing disebelahnya yang tidak kalah membawa banyak barang bawaan. Nenek itu terlihat lelah, air mukanya seperti orang-orang yang telah berkenala sepanjang hari. Bimbang hatiku untuk menolongnya atau tidak.

Mencekau AfeksiWhere stories live. Discover now