Part 2

5 0 0
                                    

Namaku Dedi Ule. Aku adalah seorang lelaki yang berasal dari tanah sunda. Kini aku duduk dibangku sekolah menengah atas di ibu kota tanah air, Jakarta. Sekolahku terletak di Jakarta Selatan yang berpalang SMAN 03 Jakarta. Aku membenci kasur ringan dan baju hangat. Aku tinggal di sebuah apartemen di Pancoran, Jakarta Selatan, dan dahulu memelihara seekor kucing. Keluargaku terdiri dari Ayah, Ibu ,juga kucing yang kunamai Tikus namun kini sudah menghembuskan napas terakhirnya.

Ketika kami sampai di Jakarta, Tikus menjadi sangat stress. Ia menolak segala makanan yang kami berikan padanya, dan ia keseharianya hanya duduk diam di pinggi jendela menatap kemacetan dan hiruk pikuk kota Jakarta. Saat kita memeriksa Tikus ke rumah sakit hewan, ternyata ia mengidap radang usus dan kita terlalu terlambat untuk memeriksanya. Alhasil tidak ada hal yang kita dapat lakukan, selain kita berdoa yang terbaiknya untuk Tikus. Dan atas kehendak Tuhan , setelah 4 bulan kita pindah ke Jakarta, Tikus pun kini tak lagi bersama kita. Ayahku bilang kalau aku harus belajar merelakan hal-hal yang memang penting bagi kita. Dan ia benar, walaupun sulit, aku kini mencoba menjadi orang yang ikhlas.

Ayahku adalah seorang jaksa yang bertugas di tanah air surgawi kita ini dan kini ia sedang mendapat surat tugas di Jakarta. Ibuku adalah seorang yang tidak pernah ada di hidupku, sebuah kenihilan yang berada di keluargaku dan itu dalah fakta yang terjadi. Ibuku selalu mengatakan kebohongan. Apapun yang terjadi ia selalu bertindak berdasarkan kebohongan.Ayahku selalu mengatakan kejujuran. Apapun yang terjadi ia selalu bertindak berdasarkan kejujuran. Kejujuran adalah hal yang paling penting. Kejujuran tidak boleh dilupakan. Itulah hal yang diterapkan ayahku, Eundeung Karta , sejak aku masih bayi. Ia berkata bahwa hal-hal tersebut sangatlah penting untuk diingat , demi mencari arti diri sendiri. Dan itu memang terbukti benar.

Daridulu hingga sekarang, aku tetaplah Dedi anak tunggal Eundeung Karta. Kini suaraku semakin berat, jakunku tumbuh , kumisku mulai terlihat walau samar. Iya, kini aku bukanlah seorang bocah bolon lagi. Kini Dedi Ule sudah tumbuh menjadi seorang remaja enam belas tahun yang dianggap telah bernalar dan sudah dewasa. Bagai kupu-kupu yang bermetamorfosis ,aku pun kini telah menjadi peribadi yang berbeda. Namun, walalupun kupu-kupu kini memiliki sayap, ia tetaplah memiliki bentuk menyerupai ulat . Sama sepertiku, walaupun mungkin bentuk fisik dan psikologiku berubah, namun tetap ada hal-hal tentangku yang tidak berubah daridulu.

Dari dulu hingga kini, aku selalu membenci kasur ringan dan baju hangat . Memang kebanyakan orang sangat menyukai kasur ringan dan baju hangat. Namun hal tersebut merupakan tabu bagiku. Bagaikan ular dan garam, aku sangat menjauhi hal tersebut. Mungkin orang-orang bertanya mengapa aku membenci kedua benda tersebut. Namun sama seperti mencintai, kita tidak mungkin membenci tanpa alasan sama sekali.

Semenjak aku pindah ke Jakarta, ayahku semakin hari semakin sedikit meluangkan waktunya untukku. Walaupun aku menganggap diriku sebagai orang yang mandiri, karena tidak ada orang dirumah, aku terbiasa melakukan segalanya sendiri. Dari mulai mencuci baju, menyetrika , dan memasak. Aku paham ayahku selalu meninggalkanku karena pekerjaanya sebagai jaksa, ayahku tidak dapat selalu hadir untukku karena ia sibuk melawan kejahatan diluar sana. Iya, aku pun sebagai seorang remaja sadar akan hal itu. Namun momen-momen seperti saat aku sakit ia tidak ada dirumah, saat aku pulang tidak ada yang menyapaku, saat aku sedih tidak ada yang menyemangati aku. Dibalik diriku ini yang mandiri, terdapat suatu bentuk kesepian yang tidak dapat di gambarkan. Aku merasa kosong dan merasa rindu. Layaknya oksigen bagiku, cinta ayahku selalu kucari dan kubutuhkan dan kini ia tidak ada lagi disekeliling membuatku setengah gila.

Alasanku membenci kasur juga, karena setiap kali aku tidur bersama dengan ayahku, aku dapat merasakannya pergi dari kasur dan membuat kasur itu menjadi ringan. Seolah menanggalkan beban namun nyatanya menambahkan beban batinku. Dan perlahan hatiku menjadi pun berubah menjadi kasur. Berubah menjadi sebuah kasur yang tua, yang akan sewaktu- waktu lapuk dimakan usia dan rapuh. Menjadi sesosok yang goyah dan rapuh, bagai kaca yang retak. Bukankah kaca yang retak tidak punya refleksi ?

Mencekau Afeksiحيث تعيش القصص. اكتشف الآن