Part 3

6 0 0
                                    

Namaku Dedi Ule. Aku adalah seorang lelaki yang berasal dari tanah sunda. Kini aku telah menjadi polisi di ibu kota Indonesia, Jakarta. Setelah melewati DIK selama lima tahun, aku akhirnya berhasil menjadi polisi yang seutuhnya. Hingga saat ini aku masih membenci kasur ringan dan baju hangat, walaupun tidak sebenci dahulu kala ketika aku masih seorang bocah bolon. Aku tinggal di sebuah apartemen di Jakarta Selatan bersama ayahku, dan ingin kembali memelihara seekor kucing. Keluargaku terdiri dari Ayah, Ibu , seekor kucing yang kini sudah wafat, dan pacarku bernama Keila Lazunardi yang sangatlah pengertian dan menyayangiku. Kini ayahku dan aku hidup berdambingan disuatu lingkungan yang harmonis.

Ayahku adalah seorang jaksa yang bertugas di tanah air surgawi kita ini. Ibuku adalah seorang yang tidak pernah ada di hidupku, sebuah kenihilan yang berada di keluargaku. Ibuku selalu mengatakan kebohongan. Apapun yang terjadi ia selalu bertindak berdasarkan kebohongan. Ayahku selalu mengatakan kejujuran. Apapun yang terjadi ia selalu bertindak berdasarkan kejujuran. Kejujuran adalah hal yang paling penting. Kejujuran tidak boleh dilupakan. Itulah hal yang diterapkan ayahku, Eundeung Karta , sejak aku masih bayi. Hingga kini pun aku masih memegang teguh ucapan itu. Ia berkata bahwa hal-hal tersebut sangatlah penting untuk diingat , demi mencari arti diri sendiri dan hal itu terbukti telah membentuk diriku yang saat ini hidup secara dewasa dan mandiri di Jakarta.

Setelah melalui DIK selama lima tahun lamanya. Kini aku pun berhasil menjadi polisi sesungguhnya. Dedi Ule yang dahulu hanyalah seorang bocah asal sunda, kini telah berkembang menjadi seorang pria dewasa bernalar yang bekerja sebagai polisi. Sebuah ending yang indah , namun happy ending tidaklah mudah digapai. Dunia tidak semudah itu, dunia tidak senaif itu.

Cita- cita yang dahulu kuidamkan, ternyata tidak seindah ketika aku sudah kencapainya. Keseharianku sebagai polisi ternyata sangatlah sulit dan aku sadar ternyata hanya menjadi polisi tidaklah cukup bagiku. Menjadi polisi hanyalah satu langkah awal dari mimpiku. Mimpiku untuk menegakkan keadilan, peraturan dan kesejahteraan. Sehari- hari aku menenukan banyak sekali pelanggaran yang masyarakat lakukan. Padahal peraturan itu sendiri dibuat demi kebaikan mereka dan kami , polisi yang mencoba mengingatkan mereka, ironisnya malah dihina- hina akan melakukan gratifikasi. Memang mungkin polisi yang nakal itu tak terelakkan, namun bukan berarti semua polisi seperti itu nyatanya. Semua orang cendrung membuat peraturan diri mereka sendiri tanpa memikirkan orang lain. Hal ini menunjukkan betapa tidak pekanya masyarakat terhadap hukum.

Karena seheharianku yang melihat kejahatan disana sini. Aku pun kini merasa bahwa ternyata dunia itu tidaklah baik, namun bukan berarti dunia juga tidak jahat. Dunia ini berisi dengan hitam, putih, dan abu- abu. Karena terdapat kejahatan dalam kebaikan dan terdapat kebaikan dalam kejatahan , seperti konsep yin dan yang. Dan hal ini sangatlah terasa ketika aku mulai bekerja di bidang kemanan dan ketahanan negara, yaitu polisi. Darimulai tidak memakai helm , tidak memiliki sim namun menyetir , mabok miras, narkoba, hingga seks bebas. Semua orang kerap melakukan kesalahan demi kesalahan yang sama dengan alasan yang sama pula. Dan ironisnya kejahatan tersebut sangatlah marak di ibu kota. Aku sebagai polisi melihat orang- orang dengan sangat sedih.

Pernah sekali aku ditugaskan untuk menertibkan lalu lintas, dan itu merupakan bidang paling sulit dalan kepolisian ini. Bayangkan beberapa polisi, ditugaskan untuk menertibkan lalu lintas , dimana tingkat pelanggarnya enam ratus lima puluh kali lebih banyak daripada polisi dan orang-orang yang patuh. Kami paham bahwa hiruk pikuk dijakarta tidaklah menyenangan, tapi tidak ada salahnya bersabar sedikit dan menuruti peraturan lalu lintas . Setidaknya lalu lintas kota Jakarta masih lebih baik daripada harus diam di apartemen itu dengan kasur ringan dan baju hangat. "Iya, ini masih lebih baik daripada kasur ringan dan baju hangat", ucapku dalam hati.

Bagaimana nasib Eundeung Karta dan Dedi Ule ? Ternyata nasib kita tidak bertemu, harapanku yang dapat bekerja didekatnya ternyata salah. Kami tidak pernah sekalipun bertemu saat bekerja. Ayahku sibuk dengan urusannya dengan masalah perhakiman , aku pun sibuk mengurusi orang- orang yang melanggar ketertiban. Bagaikan rel kereta api, kami maju bersama dengan maksud tujuan yang sama , namun tidak pernah bertemu dalam nyatanya. Kalau boleh jujur, memang nyatanya sedikit kecewa dengan kenyataan. Namun sekali lagi, aku harus mengingat bahwa tujuanku menjadi polisi adalah menegakkan kebenaran dan kejujuran. "Mengapa aku tidak bekerja sebagai jaksa saja ga ?", sesekali aku berpikir demikian. Namun tidak pernah sekali pun terpintasi di benakku untuk berganti pekerjaan, karena aku mencintai pekerjaanku sebagai polisi. Walaupun bekerja dengan ayahku merupakan hal yang paling kuidamkan, namun aku tidak sanggup merelakan pekerjaanku. Biarlah ayahku dan aku hidup damai sebagaimana keadaanya sekarang. Aku tidak pernah meminta hal lebih daripada apa yang ada sekarang. Aku sudah cukup bahagia, tidak lagi perlu apa- apa lagi. Tidak akan aku tukar apapun didunia ini untuk mengubah nasibku. Aku bahagia.

Mencekau AfeksiWhere stories live. Discover now