Part 4

9 0 0
                                    

Namaku Dedi Ule. Aku adalah seorang lelaki yang berasal dari tanah sunda. Kini aku telah menjadi polisi di ibu kota Indonesia, Jakarta. Setelah melewati DIK selama lima tahun, aku akhirnya berhasil menjadi polisi yang seutuhnya. Hingga saat ini aku masih membenci kasur ringan dan baju hangat, walaupun tidak sebenci dahulu kala ketika aku masih seorang bocah bolon. Aku tinggal di sebuah apartemen di Jakarta Selatan bersama ayahku, dan ingin kembali memelihara seekor kucing. Keluargaku terdiri dari Ayah, Ibu , seekor kucing yang kini sudah wafat, dan seorang mantan bernama Keila Lazunardi yang sangatlah pengertian dan menyayangiku. Kini ayahku dan aku hidup berdambingan disuatu lingkungan yang harmonis.

Ayahku adalah seorang jaksa yang bertugas di tanah air surgawi kita ini. Ibuku adalah seorang yang tidak pernah ada di hidupku, sebuah kenihilan yang berada di keluargaku. Ibuku selalu mengatakan kebohongan. Apapun yang terjadi ia selalu bertindak berdasarkan kebohongan. Ayahku selalu mengatakan kejujuran. Apapun yang terjadi ia selalu bertindak berdasarkan kejujuran. Kejujuran adalah hal yang paling penting. Kejujuran tidak boleh dilupakan. Itulah hal yang diterapkan ayahku, Eundeung Karta , sejak aku masih bayi. Namun kini aku mulai meragukan ucapan itu. Ia berkata bahwa hal-hal tersebut sangatlah penting untuk diingat , demi mencari arti diri sendiri. Namun dirinya sendiri tidak memegang teguh perkataan itu. Betapa ironis.

Dan kini akibat dari kata-katanya yang ia tidak pegang teguh, aku melihatnya duduk diam di balik jeruji. Aku melihatnya yang terlihat bangga padaku. Aku melihatnya yang tersenyum lega dan tenang. Iya , dia adalah aku. Aku yang bergelar polisi, aku yang nyatanya membunuh ayahku.

Bagaimana ini bisa terjadi ? Saat itu aku pun mengambil borgol dan seluruh perlengkapanku, lalu menyusul ayahku dan tersangka utama. Aku berlari dan berlari, hingga mata kami berpapasan aku pun mengucapkan kata perpisahan dan senapan SS1 pun mengarah pada jantungnya. Terjatuhlah sebuah jasad dan sisa dari peluru yang kutembakan. Sang tersangka utama yang kaget pun langsung berteriak sekencang mungkin. Aku pun hanya diam dan menatap dengan seksama pada jasad ayahku. Lalu karena suara senapan yang bising dan teriakan sang tersangka utama, pasukanku berkumpul mencari arah sumber suara dan ditemukanlah aku di samping jasad ayahku yang sedang mendekapnya layaknya ia seorang bayi dan menangis tersedu-sedu. Bersamaan dengan keluarnya jasad ayaku, keluar pulalah aku dengan borgol ditanganku. Sedih sekali ketika mimpiku untuk bekerja sama denganmu malah diawali dan diakhiri dengan kematian Sangat disayangkan, sangat disayangkan.

Maka berakhirlah cerita Dedi Ule dan Eundeng Karta. Cerita tentang anak yang membunuh ayahnya agar ia tetap menjadi ayahnya. Bukan seorang koruptor, namun seorang ayah yang selalu menegakkan keadilan. Seorang ayah yang selalu mengingatkan anaknya tetang kejujuran. Seorang suami dari keluarga yang bahagia. Seorang suami yang mengayomi keluarganya dan mati menewaskan dengan dibunuh oleh tangan anaknya sendiri yang nyatanya adalah polisi berdarah dingin. Oleh seorang anak yang tidak rela ayahnya akan dicap sebagai koruptor. Oleh anak yang ingin tetap menjaga figur ayahnya yang baik di benaknya dengan cara membunuhnya sedingin- dinginya. Kini seluruh hidup Dedi pun diisi dengan figur ayahnya yang jujur dan julukan pembunuh berdarah dingin serta dinginya sel tahanan sepanjang hayat. Namun tidak satu pun rasa penyesalan di benaknya. Ia yakin telah melakukan hal yang tepat.

"Aku selalu mencintaimu Abah. Jika kau merasa sendirian di alam sana, ingatlah selalu bahwa aku akan tetap mencintaimu, walau kau pernah sekali mengecewakanku. "

Mencekau AfeksiWhere stories live. Discover now