07- Night sky

89.6K 6.9K 64
                                    

"Terkadang, sikap lo yang membuat orang orang-orang muak."

-

Zega berdehem sejenak, kemudian melangkah keluar dari kamarnya dengan pakaian rapi, dia memakai tuxedo hitam dilengkapi sepatu berwarna senada. Rambutnya sama. Namun, dia terlihat berkali-kali lebih tampan malam ini.

Hanya ada satu yang tetap sama; raut tanpa senyum itu.

"Wow, kakak mau kemana?" tanya Clea yang berpapasan dengannya di tangga.

"Ke ulangtahun temen, nanti bilang sama mama, ya? Ini buru-buru banget," ujar Zega meraih kunci mobil disana dan meninggalkan Clea.

Bahkan, tak memperhatikan penampilan gadis itu yang juga berbeda, membuat Clea menunduk murung.

Zega masuk kedalam mobilnya, kemudian mengendarainya dengan kecepatan sedang. Ponselnya diatas dashboard berbunyi, nama Ghia tertera disana.

Zega menghela nafas panjang, kemudian menekan tombol hijau dilayar.

"Hallo?" suara perempuan itu mengalun. "Axel?"

"Ya?" Zega menjawab disela mengemudi.

"Kamu jadi datang, kan?" tanya Ghia lagi, suaranya bising, seperti yang diduga Zega. Acaranya sudah dimulai.

"Gue otw." kemudian Zega mematikan sambungan telepon secara sepihak, tanpa peduli Ghia disebelah sana mencak-mencak dengan kesal.

***

Zega tiba didepan alamat yang sesuai dengan diundangan. Lelaki itu mendongak, menatap rumah mewah berwarna putih didepannya yang sudah sangat ramai.

Lelaki itu memarkirkan mobilnya ditepi jalan, bergegas keluar. Memasukkan kunci mobil ke saku celananya dan bergegas melewati pagar hitam yang menjulang itu.

Seseorang menepuk pundaknya, membuat Zega tersentak sedikit dan menoleh. Dibelakangnya, Rio tersenyum.

"Tega amat lo nggak mau gue nebeng," ujar Rio. Namun percuma. Zega sama sekali tak peduli.

Keduanya berjalan sepanjang halaman rumah yang sudah dihias berwarna putih, banyak bunga dimana-mana. Orang-orang berhamburan dimana-mana. Zega bener-bener tak suka. Keramaian justru membuatnya merasa terasingkan.

Lelaki itu menghela nafas panjang. Suara dentuman musik—Charli XCX; after the after party mengema di langit malam ini. Zega tahu, seharusnya ia tak datang kepesta ulang tahun Ghia, kalau saja ia tidak direcoki gadis itu agar datang dan merasa sedikit kasihan pada gadis itu. He is not the type of guy who likes to party.

"Kita langsung ngasih selamat ke Ghia gimana? Dia pasti udah nunggu," saran Rio.

Zega masih belum menjawab, namun sapaan seseorang membuat perhatikan keduanya teralih.

"Hi, Axel, Rio. Kalian udah ngasih ucapan ke Ghia?" tanya gadis itu, dia Jasmine, sedang tersenyum manis dalam balutan gaun glamornya. Dia menjinjing tas berwarna hitam senada dengan gaun-nya. Sedangkan, gadis bergaun brown soft disampingnya tersenyum malu-malu.

"Hi, Jasmine. Baru mau nih," jawab Rio, karena tahu Zega tak akan menjawabnya. Mata lelaki itu melirik gadis disamping Jasmine. "Hi, Ivana." ujarnya dibalas lambaian tangan singkat gadis bernama Ivana itu.

Sedangkan, Zega hanya diam.

"Oh, oke, kita kesana dulu, ya? Buruan kasih selamat ke Ghia, ya?" diakhir kalimatnya Jasmine melirik Zega penuh maksud.

"Ivana! Itu, katanya lo suka sama Daffa, 'kan? Tuh dia disana!" pekik Jasmine heboh suara dia bahkan masih terdengar padahal mereka sudah lumayan jauh.

Sedangkan Rio berdehem. "Ayo?"

Zega menghembuskan nafas panjang. "Lo duluan aja." Rio mengernyitkan keningnya binggung, namun dia tak bertanya lebih lanjut ketika Zega melangkah menjauh darinya.

Zega bergegas duduk diam dihalaman dibelakang, lumayan sepi. Lelaki itu duduk di bangku panjang di bawah pohon. Melirik langit malam dan binggung sendiri dengan tujuannya kesini. Buang-buang waktu. Dia bener-bener merasa tak nyaman.

Zega menghembuskan nafas panjang, lelaki itu bangkit dari duduknya dia harus memberi ucapan pada Ghia dan segera pergi dari sini.

Namun disaat Zega berbalik, dia dikejutkan dengan keberadaan seorang gadis bergaun putih yang sedang mengintipnya.

"Lo ngapain disitu?" tanya Zega. Awalnya sedikit terkejut mengira dia hantu, namun melihat kakinya yang menapak pada lantai membuat Zega merasa sempat berpikir konyol.

Ghea terkejut, saat mengetahui bahwa si objek yang dari tadi ia amati, kini balik bertanya.

"Eum, en-enggak," jawab Ghea cepat.

"Sini." Zega menepuk kursi kayu disampingnya.

Ghea mendekati Zega perlahan, dengan langkah canggung, kemudian ia duduk perlahan disamping cowok itu.

"Lo?" Zega nampak kaget, menatap Ghea binggung. "Lo cewek yang sebulan lalu, gue temuin di pantai kan?" tanya Zega menatap lurus perempuan berambut panjang terurai dengan mata jernih itu.

Ghea mengangguk.

"Kamu ingat sama aku?" Ghea bertanya.

"Inget dong, gue nggak pikun," jawab Zega masih sedikit terkejut.

"Kok lo bisa disini?" tanya Zega lagi ketika hanya hening yang terjadi. Dia menatap wajah Ghea lama, kenapa dia seperti melihat pantulan diri Ghia dalam versi lebih lugu dan polos.

"Tadi aku disuruh Ghia ngambil minum di dapur, terus lihat kamu-" mata Ghea membulat, shock sendiri dengan jawabannya.

Zega mengernyitkan keningnya binggung. "Gue nggak ngerti."

"Aku itu ... Anu, itu, yaudah, kamu lupain aja ya? Aku pergi dulu, bye!" balas Ghea aneh dan berlalu.

Sepeninggalan Ghea, Zega tetap diam sambil menatap langit malam dengan perasaan bertanya-tanya akan diri Ghea yang terasa menyembunyikan banyak rahasia.

***

Ghea [PROSES PENERBITAN]Where stories live. Discover now