×20°

2.5K 450 52
                                    

Minho membawa piring dan gelas kotor menuju ke tempat pencuci piring untuk dicuci oleh Woojin. Berlanjut dengan membersihkan permukaan meja-meja kafe yang kotor akibat pengunjung.

Hari ini dia tidak ada kelas, jadi seperti biasa sebagian besar waktunya Minho habiskan di kafe milik Chan. Minho berhenti membersihkan meja ketika menyadari hujan deras turun secara tiba-tiba.

Kakinya otomatis melangkah menuju ke pintu kaca kafe. Menatap pemandangan di luar sana, dimana air jatuh dari langit menghujam begitu deras. Dia teringat akan Jeongin, tiap kali melihat hujan. Ini sudah jam pulang sekolah Jeongin dan sekarang hujan deras, pastilah dia terjebak hujan di sekolahnya.

Minho khawatir.

Ah, kenapa dia begitu memikirkan Jeongin? Sejak pertemuan mereka di halte dekat stasiun, dia jadi terus memikirkan Jeongin. Jeongin adalah segalanya baginya. Minho jatuh cinta padanya.

Lucu memang.

Bertemu dibawah hujan dan sering bertemu dengannya sejak hari itu. Minho jadi teringat akan kisah cinta masa SMA Chan dengan seorang pemuda manis bernama Kim Seungmin, mereka juga bertemu ketika hujan deras. Andai kisah cinta Minho bisa semanis kisah cinta Chan.

Ah, kenapa Minho jadi galau sendiri?

"Ho, antarkan pesanan ini ke meja nomor 6!"

Panggilan Woojin menyudahi pergulatan batin Minho tentang hujan yang menjadi sebagian dari hidupnya. Lelaki bermarga Lee itu segera mengerjakan apa yang sahabatnya perintahkan. Melupakan sejenak tentang hujan deras dan juga Jeongin.

***

"Kamu lagi! Apa kamu enggak bosan ketemu aku terus?" Tanya Hyunjin sewot.

Jeongin yang duduk di sampingnya hanya memberikan cengiran lucu. Tangan rampingnya begerak untuk mengambil jaket di tas ranselnya. Mengenakannya segera setelah diambil.

"Kamu enggak bosan ya, muncul tiba-tiba di dekatku dan bersikap sok akrab begitu?" Tanya Hyunjin yang jujur tidak senang dengan kehadiran Jeongin di sampingnya. Dia lelah. Meski pergi ke ujung dunia pun sepertinya Jeongin akan menemukannya.

"Karena aku tahu Kak Hyunjin pasti kesepian, makanya aku temani," balas Jeongin dengan santai membuka sebuah novel yang dia ambil bersama jaket dari dalam tas tadi.

Hyunjin berdecih. Omong kosong apa yang baru dia dengar dari mulut Yang Jeongin.

Hening.

Hanya keheningan yang menemani keduanya. Suara gemericik air dan tetesan air hujan tidak ada pengaruhnya untuk menghilangkan keheningan ini.

Hyunjin sibuk menatap lurus ke depan atau sesekali dia melihat langit kelabu yang masih setia menangis hingga air matanya membasahi permukaan bumi. Sekali-sekali dia melirik Jeongin yang masih terpaku pada novel yang dia baca.

Dia suka novel, huh? Pikir Hyunjin menerka-nerka. Sepertinya Jeongin memang suka membaca, begitu isi pikiran Hyunjin. Dan lagi, novel romansa? Jinyoung juga punya segudang novel jenis-jenis seperti itu.

"Kau suka membaca?" Tanya Hyunjin basa-basi, bosan juga diam tanpa melakukan apapun.

Jeongin berhenti membaca, dia menoleh ke arah pemuda di sebelahnya itu. "Kakak bisa lihat sendiri, bukan? Bisa menyimpulkannya sendiri juga, bukan?"

"Hm." Hyunjin memutar bola matanya malas.

Sesekali Hyunjin melirik Jeongin. Sepertinya si anak pertukaran pelajar itu masih sibuk dengan novel yang dia baca. Hyunjin kembali merenung. Memikirkan soal apakah dia akan menerima Jeongin sebagai temannya atau tetap teguh pada ideologinya. Dilema masih menyertainya. Dia bingung. Dia tidak pernah merasa sebingung ini. Semuanya menjadi beresiko.

Berteman dengan Jeongin. Ide konyol macam apa itu? Hyunjin tidak pernah bisa membayangkan dirinya berteman baik dengan si anak pertukaran pelajar dari Busan itu.

"Aku enggak butuh teman kayak kamu," ujar Hyunjin tiba-tiba.

Jeongin mengalihkan pandangannya ke arah Hyunjin. "Yakin? Memangnya teman seperti apa yang kamu butuhkan, Kak?"

"Heh! Aku tahu kau ini cuma mau aku masuk ke tim proyek bodohmu itu! Tidak usah berbelit-belit!" Hyunjin berdiri, mengacungkan jarinya tepat di depan wajah Jeongin. Dia kesal. Dia muak. Dia benci pada Yang Jeongin.

"Bisakah Kak Hyunjin berhenti berburuk san--"

"Nyatanya kamu memang punya alasan lain untuk berteman denganku," potong Hyunjin cepat. Dia melangkah menerobos hujan ketika sebuah bus berhenti tepat di depan halte.

Jeongin yang menyadarinya buru-buru menyusulnya. Tidak peduli jaket barunya akan basah karena air hujan.

Ketika Jeongin memasuki bus, dia hanya menemukan satu kursi kosong, tepat di samping kursi yang diduduki oleh Hyunjin. Lagi. Mereka akan duduk berdampingan lagi.

Hyunjin menghela napas kasar. Sepertinya dewi fortuna sedang tidak berpihak padanya. Hari ini benar-benar hari terburuk. Entah Hyunjin yang terlalu emosional atau memang hari ini adalah hari yang sial. Mood Hyunjin bertambah buruk ketika Jeongin duduk di sampingnya. Jeongin tersenyum kecil, sebelum memusatkan seluruh atensinya pada novelnya.

Hening lagi menyelimuti keduanya. Hanya keriuhan penumpang lainnya yang menemani hening di antara keduanya.

Hyunjin sesekali mencuri-curi pandang pada Jeongin yang masih sibuk dengan buku fiksi tersebut. Dia ingin berbicara pada Jeongin, tapi gengsi mengalahkan keinginannya. Sampai akhirnya Hyunjin mencoba melawan gengsinya.

"Jeong," panggilnya.

"Hm?" Jeongin merespons, namun masih tidak mengalihkan atensinya dari buku fiksi favoritnya.

"Terimakasih buat payungnya hari itu, aku belum bisa kembalikan, kapan-kapan saja, ya," kata Hyunjin tanpa memandang sedikit pun ke arah Jeongin. Dia memilih menatap keluar jendela bus, dimana dia bisa melihat jalanan dan rintik-rintik air.

Tidak terdengar jawaban dari mulut Jeongin, hanya suara cekikikan Jeongin. Dia tertawa kecil dan itu mengganggu Hyunjin.

"Ada yang lucu?"

Jeongin masih dengan kikikan kecil, menjawab, "Tentu saja. Kak Hyunjin ini lucu. Kakak terlihat manis jika bersikap baik seperti itu, sering-seringlah seperti ini, Kak. Aku menyukainya."

Jantung Hyunjin berdetak begitu cepat ketika mendengarnya. Jeongin suka padanya. Suka dalam artian apa? Hyunjin tidak mau terlalu percaya diri. Dia ingin jauh-jauh dari Jeongin, sebisa mungkin, tetapi hal itu jelas tidak akan mudah.

"Kak Hyunjin jangan terlalu percaya diri, aku suka sikap baiknya Kak Hyunjin, bukan suka sama Kak Hyunjin," lanjut Jeongin disusul tawa kecilnya.

Hyunjin merengut. "Kenapa kau jadi sok akrab begitu, hah?"

"Entah, mungkin agar kita bisa akrab," balas Jeongin enteng.

Hyunjin kesal sendiri. Jeongin ini sama seperti Minho, sama-sama pandai bermain kalimat. Sialnya, Hyunjin harus berurusan dengan manusia-manusia seperti itu tiap harinya.

"Aku mengantuk," celetuk Jeongin menutup novelnya sebelum dimasukkan ke dalam tas. Beberapa kali dia mengucek mata dan menguap, tanda dia cukup lelah menunggu hingga tiba di destinasinya. Chan memintanya untuk pulang ke kafe saja, sebab kunci apartemennya dibawa Chan.

Entah baru disambar petir atau apa, tiba-tiba Hyunjin menuntun kepala Jeongin untuk bersandar di bahunya. Jeongin tentu terkejut bukan main.

"Kak?"

"Anggap saja bahuku ini tiang sebagai sandaranmu," ucapnya tanpa menoleh sedikit pun ke arah Jeongin.

Jeongin tersenyum. "Terimakasih, Kak."




~TBC~

Cloudburst | hyunjeong ✔Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora