Bab 17

3.1K 172 4
                                    


Hari ini Briana masuk untuk mengambil buku tahunannya, ia sudah meminta kepada wali kelas untuk mengusahakan ijazahnya dipercepat turun sesuai keinginan sang mama.

Saat ia dan Alexa berjalan melewati koridor sekolah, para siswa membicarakannya secara terang-terangan, bahkan mengata-ngatainya, Briana berusaha tak perduli, namun ia merasa sangat sakit.

"Ups, gue kira lo keranjang sampah berjalan, habis mirip sih," cemooh Nancy dan sekelompok anak pemandu sorak lain sambil melemparkan gumpalan kertas ke wajah Briana.

"Jaga ya mulut lo, mulut lo tu yang kayak sampah, suka sembarangan ngatain orang," ucap Alexa emosi, sedangkan Briana, ia hanya bisa pasrah.

"Udahlah Lexa, yuk balik, nggak usah ladenin mereka," ajak Briana sambil menarik tangan Alexa.

"Udah ya Brie nggak usah didengerin, mereka kan nggak tahu kejadian yang sebenarnya tu kayak gimana," ujar Alexa berusaha menguatkan sahabatnya itu.

"Lo bener Lex, sayangnya orang yang gue suka malah nggak percaya ke gue," ucap Briana sedih.

"Sabar, lo pasti dapet yang lebih baik dari dia, mungkin aja jodoh lo Oppa-Oppa Korea kan?" ucap Alexa berusaha menghibur.

"Lo bener, haha, tapi sebenernya itu maunya lo kan" ejek Briana, ia tahu sahabatnya itu pecinta drama korea.

"Tau aja lo," balas Alexa.

Ponselnya bergetar, ada sebuah notifikasi surel di ponsel pintarnya, ia membuka isinya, ternyata balasan dari Columbia University.

"Lexa, gue keterima di jurusan jurnalistik, Lex," ucap Briana senang.

"Ya ampun, gue seneng dengernya, tapi gue juga sedih karena nggak bisa ketemu lo lagi dong," ucap Alexa.

"Lo ikut gue aja, buat temen gue disana," ajak Briana.

"Duh, nggak bisa Brie, mama udah daftarin gue ke sekolah memasak di Prancis, sekaligus kuliah bisnis disana," kata Alexa sedih.

"Lagian lo yakin bakal ninggalin mama lo di Singapura sendiri?" tanya Alexa.

"Iya juga sih, entar gue konsultasi ke mama dulu deh," balas Briana pada akhirnya.

***

"Apa? Mama saya kecelakaan," Briana hampir saja pingsan mendengar kabar jika ibunya mengalami kecelakaan di jalan tol Jakarta-Tangerang.

"Lex, mama gue kecelakaan, gue harus ke rumah sakit sekarang," kata Briana panik sambil menangis.

"Oke, gue anter," kata Alexa.
Setelah kurang lebih satu jam berkendara, akhirnya Briana sampai juga di sebuah rumah sakit umum di Tangerang, lalu bergegas menuju kamar dimana ibunya ditempatkan.

Sudah tiga jam ia mondar-mandir, seperti setrikaan rusak. Ia sangat panik, sambil terisak pelan ia berdoa, semoga mamanya diberi keselamatan.

Seorang dokter baru saja keluar dari ruangan mamanya, dengan segera Briana menghampirinya dan bertanya keadaan mama.

"Dok, gimana keadaan mama saya," tanya Briana masih dengan tangisnya yang sesenggukan.

"Maaf dek, tapi nyawa ibu adek tidak bisa saya selamatkan, benturan dikepalanya sangat keras, hingga merusak hampir separuh syaraf otaknya, ditambah lagi, perdarahannya sangat sulit dihentikan," jelas sang dokter.

Mendengar semua itu, hati Briana mencelos, ia merosot ke lantai, sungguh lemas, seakan bukan hanya mamanya saja yang nyawanya dicabut, begitu juga jantungnya yang seketika seperti dilepas secara paksa, rasanya sangat sakit.

Briana hanya bisa menangis, ia masih tidak percaya mamanya meninggalkannya sendiri, secepat ini, setelah sang ayah meninggalkannya saat ia masih berusia enam tahun.

Briana berlari masuk ke ruang dimana mamanya terbaring tak bernyawa dengan masih bersimbah darah.

"Ma, katanya mama mau ngajakin Briana pindah ke Singapura, kenapa mama malah ninggalin Briana sendirian Ma," ujar Briana menggoyangkan tubuh ibunya sambil menangis sesenggukan.

Alexa tidak berani mengajak Briana bicara, ia takut salah bicara dan membuat sahabatnya itu kalap, alhasil ia hanya mengusap-usap punggung Briana. Berusaha menguatkan lewat usapan tangannya. Alexa tak bisa membayangkan apa yang akan ia lakukan jika ia berada di posisi Briana, keadaannya sungguh sangat sulit.

"Mama, belum tahu kan, Papa itu nggak selingkuh Ma, Mama cuma salah paham, Ma bangun Ma, ayo cari Papa, Briana kangen Papa, Ma,"

"Ma, Briana juga keterima di Columbia Ma, bangun Ma, bilang sesuatu ke Briana Ma,"

"Mama udah janji mau nonton aku siaran berita Ma, mau lihat aku jadi reporter, tapi kalo Mama ingin aku jadi arsitek aku mau kok Ma, asalkan Mama bangun,"

"Ma, jangan bercanda deh, jangan ikut-ikutan Sandy Cheeks yang suka berhibernasi, ini bukan musim dingin Ma, Ma bangun!" ucap Briana meelantur, ia putus asa, ia sudah tak punya siapa-siapa lagi di dunia ini, bisa dipastikan ia hidup sebatang kara setelah ini.

"Ma, Mamaaaa....," Briana histeris, lelah dan  akhirnya pingsan.

Melihat sahabatnya pingsan, Alexa panik, ia langsung memanggil perawat untuk menangani sahabatnya itu.

"Brie, gue bakalan selalu berusaha ada buat lo, karena lo sahabat terbaik gue," ucap Alexa sambil menitikkan air mata.

***

Hampir satu jam Briana pingsan, dan akhirnya gadis itu siuman, kepalanya masih pusing dan matanya bengkak karena menangis. Alexa masih setia menunggunya.

"Gue, turut berduka cita Brie," jawab Alexa sambil menunduk.

"Makasih Lex, makasih lo udah selalu ada disamping gue saat gue seneng maupun susah, lo emang sahabat gue yang paling baik," ucap Briana sambil bercucuran air mata.

"Gue nggak tau lagi mesti gimana Lex, tanpa lo, gue sendirian," ujar Briana.

"Sama-sama Brie," ucap Alexa."Terus rencana lo ke depan apa?"

"Gue nggak tau Lex," ucap Briana.

"Oke deh, gue bakal tetep dukung apa pun yang bakal jadi keputusan lo," kata Alexa.

"Makasih Lexa, gue nggak tau apa gue bakalan tetep nerusin cita-cita gue buat jadi reporter, sekarang udah nggak ada orang yang bisa buat gue banggain dan bahagiakan Lexa, mereka udah ninggalin gue, padahal mama udah bilang mau nonton gue live, nyatanya mama malah ninggalin gue sendirian," ucap Briana sambil kembali menangis tersedu-sedu.

"Cita-cita gue udah nggak penting Lex, mereka ninggalin gue sendirian, mereka tega sama gue," racaunya.

"Hush, lo jangan ngomong gitu, masih ada diri lo sendiri yang perlu lo bahagiakan, lo juga nggak sendirian masih ada gue, kalau lo mau, gue bakal ngomong sama mama biar gue bisa ikut sama lo ke NY, gue bakal ambil kuliah satu univ sama lo, jadi lo nggak bakal ngerasa sendiri, selama masih ada gue disisi lo," ucap Alexa.

"Gue gapapa Lexa, lo harus turutin maunya Tante Allesia, jangan korbankan kebahagiaan lo demi gue, lagi pula lo harus buat Tante Allesia bangga selagi dia masih ada disamping lo," ucap Briana sambil menunduk.

"Gue cuma khawatir Brie, sama keadaan lo, tapi jika itu mau lo, gue bakal turutin, karena lo udah gue anggep saudara yang nggak pernah gue punya,"kata Alexa.

"Sekali lagi makasih Lexa," ujar Briana.

"Kenapa ya Lexa, Tuhan ngasih cobaan berat ini buat gue, satu per satu orang yang gue sayang ninggalin gue gitu aja," ujar Briana masih dengan bercucuran air mata.

"Mereka nggak ninggalin lo kok Brie, karena mereka selalu ada disana," kata Alexa sambil menunjuk letak jantung Briana.

"Dan lo juga akan selalu berada disini, meski nantinya gue nggak bisa ada di deket lo, lo tetep bakalan jadi sahabat sehidup semati gue," ucap Alexa sambil menunjuk letak jantungnya sendiri.

Mendengar ucapan itu, Briana langsung memeluk Alexa, dia sangat merasa berterima kasih memiliki sahabat seperti Alexa.

Between Love and Dream (END)Where stories live. Discover now