13. Perbedaan

147 22 23
                                    

Hujan kembali mengguyur kota dengan derasnya. Dingin menguasai seluruh ruang kerja, dimana hanya tinggal aku sendiri yang sedang menyelesaikan monthly report. Abaikan Mba Sisi yang sedang skype meeting dengan cabang Batam. Ia sedang dalam mode tak dapat diganggu.

Bercengkrama dengan layar monitor benar-benar membuatku beku. Perlahan mengambil cangkir di atas meja dan mulai menyeruput kopi hangat buatan mang Jajang dengan nikmat. Aromanya yang begitu wangi membuatku tak sabar ingin segera mencicipinya. Senyum mengembang begitu cairan hangat itu mulai mengelus-elus perutku yang sedikit berlemak.

Mba Sisi seperti biasa, menatap aneh ke arahku. Seakan ia tidak bahagia jika aku bahagia. Bener-bener dah.

"Kenapa Mba? Mau?" Ku tengokkan kepalaku ke arah Mba Sisi tanpa memutar tubuhku.

Tatapan Mba Sisi semakin menajam. Seakan ada sesuatu luar biasa yang terjadi semalam hingga dia merasa perlu memperhatikan detail penampilanku. Matanya menjelajahiku dari ujung sepatu sampai ujung pashmina.

"Kenapa sih Mba?" Aku mulai sebal diperhatikan seperti itu.

"Kamu hari ini beda Ra, tapi apa ya? Sebentar aku cari tahu dulu," Mba Sisi kembali menatapku lekat.

Deg! Jantungku seakan berhenti. Mungkinkah Mba Sisi tahu bahwa semalam aku merasa tidak suka terhadap Haira? Gadis yang ku sangka kekasih Biru? Namun hatiku berbahagia karena kenyataan yang ada mereka bersaudara. Tidak, Mba Sisi tidak akan tahu perubahan moodku hari ini. Tunggu dulu? Aku bilang apa tadi? Tidak suka Haira? Apakah aku ... mmmm ... cem ... buru?

Tatapan Mba Sisi semakin tajam dan menipis, persis silet. Aura keponya menguar, kuat. Matanya mendelik, dengan alisnya yang terus bergerak layaknya cacing kepanasan. Perlahan wajahnya semakin mendekat ke arahku. Rasanya tangan dan kakiku mati rasa. Kaku. Keringat dingin perlahan membasahi seluruh tubuh. Tiba-tiba saja suhu di ruangan ini jadi naik. Aku kegerahan. Mataku tertuju kembali pada monitor yang sudah terkunci. Ingin segera aku kembali menuju pekerjaanku yang tertunda. Namun, genjatan senjata masih terus dilakukan Mba Sisi. Akhirnya aku menyerah. Ku biarkan Mba Sisi menang.

"Ada apa sih Mba?" suaraku akhirnya keluar juga.

"Kamu keringetan gitu, pasti ada apa-apa deh!" Simpul Mba Sisi. Kemeja berwarna kuning dengan corak merah yang menggoda, membuatnya nampak sangat menakjubkan seandainya dibarengi dengan sikap yang normal. Kalian tahu kan bahwa Mba Sisi sedikit yaa ... upnormal?

"Abis minum kopi Mba, jadi anget," jawabku secepat kilat sambil mengibas-ngibaskan work order yang sedang ku input.

"Sampai harus kipas-kipas gitu?" Sebelah alis Mba Sisi mulai terangkat pertanda bahwa ia sedang berusaha mengorek informasi padaku.

"Y-ya enggak sih Mba, cuma ...."

"Cuma apa hayo?"

"Cuma ...."

"Cuma?"

"Kasih tau ga ya?" godaku.

"Wajiiib dooong! Jadi semalam gimana? Pulang jam berapa? Makan dimana?" Mba Sisi memberondongku dengan banyak pertanyaan.

"Banyak amat buk, pertanyaannya!"

"Dikit itu mah, buru jawab!"

Mba Sisi mendelikkan kembali matanya. Aku cuma geleng-geleng kepala lalu melanjutkan kembali pekerjaanku.

"Ra, jawab dong, nanti aku jadi penasaran dan ga bisa tidur gimana?"

"Apaan sih Mba?" aku pura-pura menelurusi angka-angka pada kertas dihadapanku. Namun pertanyaan-pertanyaan Mba Sisi, senyum Biru, perlakuan Biru, dan segala adegan-per-adegan tentang Biru mulai bermunculan. Menari dan memenuhi seluruh pikiranku. Memutar dalam waktu yang bersamaan dan secara serentak membuatku pusing. Belum lagi Mba Sisi yang keponya udah tingkat kelurahan, makin gencar mengirimkan list pertanyaan kepadaku.

Dan hey, lihat, selembar kertas di hadapanku ini, berisikan tulisan, "Apa yang membuat Naura berbeda hari ini?", sungguh membuatku ingin menyeretnya keluar dari gedung ini, mengikatnya di pohon kelapa dan meninggalkannya di sana sendiri.

"Apaan sih Mba?" tanyaku kesal.

"Answered."

"Ini bukan pertanyaan."

"Ra, tunggu deh, beneran lu beda banget hari ini, apa ya yang buat beda?"

Hatiku Mba Sis!

"Ga ada Mba, apa perlu aku berdiri? Biar dirimu puas memandangiku?" Sarkasku.

"Good idea, giiih berdiri."

Aku syooook. Emang sedikit gila wanita di depanku ini. Ini mah ngasih diri ke kandang singa. Help me Umi. Hiks.

Dengan berat hati, ku dorong ke belakang kursiku dengan malas, berdiri sejenak dan membiarkan Mba Sisi memandangku dengan liarnya. Tau kan kalau emak-emak dikasih diskon up to 90%? Nah, seperti itulah kira-kira aku ditatap oleh Mba Sisi saat ini.

Ia bahkan menulis pada selembar kertas, perbedaan Naura. Kampret!
Mulai dari pashmina yang ku gunakan, peniti yang membantu merapatkan pashmina, bros kecil yang selalu kugunakan di dekat telinga, kemeja longgar dengan lengan yang digulung 3/4 dan tak pernah lepas dari gelang dan jam tangan yang melingkar, lalu make upku yang selalu standar, hanya menggunakan sunblock, bb cream, bedak, dan sedikit lip gloss, lalu celana kulot yang ku pakai, bahkan sampai lipatan celanaku pun tak luput dari catatannya. Aku menepuk dahiku. Punya teman satu ruangan, gini amat ya?

"Udah kan Mba? Aku balik kerja lagi ya?" rengekku.

"Tunggu Ra, aku sudah dapat apa yang berbeda dari kamu."

Deg!

"Kamuuuu ... jam tangan baru kan? Digabung bareng gelang anyaman dari Papua sama jam tangan jadi lucu deh, merk apa sih? Fossil! Eh, berapa duit?" Mba Sisi mulai mengeluarkan aura bahagia karena merasa menjawab dengan benar.

Aku duduk kembali sembari membenarkan kakiku yang terbalut stilletto merah yang pernah ku beli setahun yang lalu, namun tak pernah berniat aku memakainya. Sebuah senyum lega terbit menghiasi dinginnya hari yang masih diselimuti hujan. Hingga sore menjelang, stilleto cantik nan menggelora setia bersama dengan langkahku tanpa satu orangpun yang sadar, bahwa ada perbedaan mencolok yang terjadi pada senyumku untuk Biru.

***

Guys,
Need your comment😙

Salam sayang,
Manda

BiruOù les histoires vivent. Découvrez maintenant